Sabtu, 24 November 2012

WORLD SOCIAL FORUM SEBAGAI GERAKAN GLOBALISASI ALTERNATIF: SUMBANGAN PERSPEKTIF GRAMSCIAN[1]


Oleh. Rijal A. Mohammadi

Kemunculan Gerakan Globalisasi Alternatif
Gerakan anti globalisasi acapkali dikenal dengan berbagai istilah. Beberapa dipahami sebagai gerakan sosial global (global social movement), yang lain disebut-sebut sebagai gerakan global untuk keadilan sosial (the global movement for social justice) atau gerakan keadilan gobal (the global justice movement). Gerakan-gerakan tersebut juga seringkali diasosiasikan secara ideologis sebagai gerakan anti kapitalisme ataupun anti neoliberalisme. Ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan globalisasi alternatif. Dari sekian banyak istilah diatas, pelabelan yang paling populer adalah gerakan anti globalisasi. Namun demikian, penulis dalam makalah ini sepakat dengan el Chamsy el-Ojeili dan Patrick Hayden (2006) yang lebih memilih menyebut gerakan-gerakan tersebut dengan gerakan globalisasi alternatif dari pada gerakan anti globalisasi (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Istilah gerakan anti globalisasi seringkali dianggap sebagai sebuah konsep yang ambigu karena kata “anti” menyiratkan bahwa gerakan-gerakan tersebut mendekonstruksi dan menentang secara total substansi dan atribut-atribut yang menyertai proses globalisasi. Namun pada kenyataannya, hampir setiap gerakan gelombang balik melawan globalisasi memanfaatkan produk–produk nonidoleologis dari globalisasi seperti internet dan kecanggihan teknologi transportasi sebagai sarana untuk menyebarkan id -ide resistensi ke seluruh dunia. Perlawanannya diwujudkan pada resistensi terhadap bentuk-bentuk globalisasi hegemonik yang dijiwai oleh ide-ide neoliberal kapitalisme. Gerakan-gerakan ini memperjuangkan reformasi sosial dan politik untuk mengubah wajah globalisasi dari model top-down globalisasinya neoliberal ke arah kemungkinan terciptanya globalisasi akar rumput ( grass-roots globalization) (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Gerakan-gerakan ini tidak menentang globalisasi secara umum, namun mempersoalkan bentuk -bentuk globalisasi yang dianggap tidak adil. Dari sudut pandang tersebut, penulis lebih condong menggunakan istilah gerakan globalisasi alternatif untuk merepresentasikan fenomena di atas.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, raison detre dari GGA adalah respon kritis masyarakat terhadap implementasi globalisasi neoliberal beserta dampak-dampak negatifnya. Argumen utama kaum neoliberal berakar pada asumsi dasar teori liberal klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith yang menekankan pada privatisasi dan perdagangan bebas. Mereka berpendapat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran global akan dapat terwujud apabila perdagangan international berjalan menurut logika prinsip-prinsip pasar bebas yang menekankan pada ketiadaan hambatan perdagangan sehingga faktor-faktor produksi, distribusi, dan konsumsi dapat bergerak bebas. Pasar bagi mereka, memiliki mekanismenya sendiri yang bersifat universal dan natural (the invisible hand) yang apabila dibiarkan bergerak bebas akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh stake-holders yang terlibat, mengabdi pada optimalisasi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan mewujudkan kondisi “full employment”  (Saad-Filho 2005, 41). Perbedaan mendasaran antara ide liberal klasik dan neo liberal terletak pada peran negara. Yang pertama menolak keterlibatan negara dan segala unsur di luar ekonomi dalam proses ekonomi, sementara neoliberal percaya bahwa untuk mewujudkan idealisme pasar bebas dalam tataran praksis, negara adalah aktor yang signifikan dalam memfasilitasi dan menerapkan mekanisme pasar bebas secara luas (Polanyi 2001, 258). Ide neoliberal banyak diterapkan pasca perang dingin oleh negara-negara maju yang percaya pada deregulasi pasar, institusi-institusi internasional seperti IMF dan World Bank dengan program structural adjustment-nya, WTO dengan kebijakan perdagangan bebas, serta aktor-aktor swasta internasional seperti perusahaan multinasional, bahkan lembaga-lembaga non pemerintah.
GGA mengklaim bahwa penerapan ide neo liberal tersebut hanya menguntungkan dan membawa dampak positif bagi sebagian kecil penduduk bumi, dengan menyisakan kerugian dan dampak negatif lainnya bagi sebagian besar umat manusia. Kebijakan deregulasi yang diadopsi oleh negara-negara berkembang justru membuat mereka meninggalkan salah satu fungsi utamanya sebagai penyelenggara pelayanan publik serta jaring pengaman sosial bagi kaum miskin. Structural Adjustment Policy (SAP) yang dikeluarkan IMF ternyata tidak mampu membebaskan negara-negara dunia ketiga dari perangkap hutang luar negeri. Kebijakan tersebut justru memperparah struktur lingkaran kemiskinan dan dilema hutang dunia ketiga dengan diterapkannya poin-poin kebijakan SAP yang incompatible seperti deregulasi perbankan, privatisasi perusahaan milik negara, dan liberalisasi perdagangan (el-Ojeili dan Hayden 2006, 197). Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas WTO juga acapkali dituduh memperparah persoalan tersebut. Seperti apa yang dikatakan oleh Walden Bello, pemimpin Focus on the Global South, salah satu GGA terkemuka: “WTO adalah lembaga yang tidak representatif dan tidak demokratis yang didasarkan pada ideology pasar bebas yang tidak menciptakan suatu kondisi kecuali kesenjangan sosial ekonomi dan problem kemiskinan yang semakin besar.” Lebih jauh, ia juga mengklaim bahwa WTO bukanlah organisasi yang independent, melainkan representasi hegemoni Amerika dan aktor-aktor swasta (Bello 2004a). Perusahaan multinasional dengan sepak terjangnya diberbagai pelosok dunia sering kali dipandang sebagai raksasa-raksasa ekonomi yang mengejar keuntungan semata, mengabaikan tanggung jawab sosial, mengeksploitasi dan merusak lingkungan hidup, serta mengabaikan hak-hak kaum pekerja.
Globalisasi neoliberal juga dituduh telah memperburuk ketidakmerataan distribusi pendapatan dunia. Kesenjangan ekonomi antara kelompok the have dan the have not semakin lebar dari waktu ke waktu . Sebagai contoh, pada 1960, rasio kesenjangan antara kaya dan miskin adalah 30:1, namun 30 tahun kemudian rasionya meningkat tajam menjadi 61:1 (Thomas dalam Baylish dan Smith 1997, 450). Pada 1999 tercatat jumlah total kekayaan dari 200 orang terkaya di dunia mencapai US$ 1,1 trilyun, sedangkan jumlah total pendapatan mayoritas kaum miskin di dunia ketiga adalah US$ 146 milyar. Pendapatan tahunan dari 45 persen orang-orang termiskin di dunia setara dengan pendapatan 358 milyarder (Keane 2003, 90). Banyak orang percaya bahwa tidak adanya kajian teoritik yang komprehensif tentang mekanisme redistribusi pendapatan dalam pemikiran neoliberal turut menjadi kontributor utama munculnya persoalan tersebut. Salah satu mekanisme yang ada, yakni model “trickle down-effect” dianggap sebagai mekanisme redistribusi pendapatan yang semu dan banyak mengalami kegagalan dalam realisasinya.
Dalam konteks tersebut, GGA dapat dilihat sebagai antitesis atau gelombang balik globalisasi yang muncul sebagai reaksi atas relasi eksploitatif kapitalisme global yang membawa dampak negatif bagi sebagian besar warga dunia . GGA berupaya untuk melakukan delegitimasi hegemoni neoliberal dengan menggalang kekuatan-kekuatan sosial global untuk melakukan perlawanan non kekerasan. Politik resistensi terhadap globalisasi neoliberal semakin lama semakin terorganisir dan kemunculannya dapat dilacak pada paruh kedua dekade 1990-an. Pada masa itu, terjadi intensifikasi protes dan resistensi sosial dibeberapa belahan dunia memprotes praktek-praktek neoliberal. Sangatlah penting di sini untuk melihat meningkatnya resistensi terhadap globalisasi dari perspektif historis guna memahami kemunculan GGA.
Kemunculan GGA dapat dilacak sejak berkembangnya gerakan Zapatista di Meksiko. Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari penandatanganan The North American Free Trade Agreement (NAFTA) pada Januari 1994 yang dikhawatirkan akan mengancam proteksi dan subsidi untuk produksi kopi dan jagung lokal, disamping kekhawatiran ekonomi domesti Meksiko terhadap ancaman kebijakan-kebijakan neoliberal secara umum. Gerakan Zapatista dianggap telah berhasil membawa isu-isu perjuangan lokal pada level global. Kunci utama dari keberhasilan gerakan Zapatista terletak pada strategi komunikasi politiknya yang secara cerdas mampu mengoptimalkan penggunaan internet untuk membentuk jaringan global sebagai media utama untuk mentransmisikan dan mendiseminasi ide perlawanan lokal dalam arena global. Hingga saat ini, tercatat tak kurang dari 45.000 website berbasis di 26 negara yang terkait Zapatista dengan memuat pidato-pidato pemimpin mereka yang tersedia dalam 14 bahasa. Strategi tersebut terbukti efektif dalam mengangkat isu lokal ke ruang global, membangun jaringan simpati moral yang berskala massif sehingga mampu menarik perhatian banyak media dan NGO internasional. Kondisi ini tidak hanya membuat gerakan Zapatista semakin solid tetapi juga menutup ruang bagi pemerintah Meksiko untuk menekan gerakan tersebut dengan cara-cara represif (Castell 2000).
Kemenangan gerakan Zapatista pada akhirnya mampu menginspirasi revitalisasi GGA lainnya dengan muatan isu yang bervariasi, mulai dari HAM, feminsime, penyelamatan ekologi, hingga gerakan akar rumput lainnya yang mengidentifikasi dirinya sebagai korban globalisasi neoliberal. Bersatunya gerakan anti-neoliberal untuk pertama kalinya disimbolkan dalam satu perlawanan “Battle of Seattle” pada 1999. Momen monumental tersebut berhasil menarik banyak aktivis yang datang dari berbagai latar belakang; dari mahasiswa hingga ekolog, dari petani hingga aktivis feminisme, dari serikat buruh hingga aktivis hak asasi manusia. Mereka memiliki tujuan perlawanan dan resistensi atas efek buruk globalisasi neoliberal yang beragam satu sama lain , namun mereka disatukan oleh nilai emansipasi yang sama, yakni protes terhadap keberadaan dan efek buruk WTO. Banyak pihak percaya bahwa momen tersebut menjadi: “…momen pembaptisan atas semangat dan konsolidasi skala besar dari berbagai macam gerakan baru melawan ketidakadilan.” (Ramos, n.d.).
Sejak saat itu, berbagai gerakan yang memprotes globalisasi neoliberal bermunculan di seantero dunia dalam skala besar. Selama tahun 2000, tercatat delapan gelombang protes mulai dari Davos (Swiss) ke Nice (Prancis) (el-Ojelli dan Hayden 2006, 192). Tiga demonstrasi dilakukan pada tahun 2001; pertama pada bulan April bertempat di Quebec (Kanada) memprotes keberadaan AFTA (American Free Trade Agreement), yang kedua demonstrasi memprotes EU (European Union) Summit di Gotenberg (Swedia), dan yang terakhir gerakan memprotes pertemuan G-8 di Genoa (Italia) pada bulan Juli di tahun yang sama (el-Ojelli dan Hayden 2006, 192). Tahun selanjutnya, terdapat protes terhadap pertemuan puncak Uni Eropa di Barcelona (Spanyol) pada Maret 2002 serta protes terhadap IMF/WTO di Washington DC pada September 2002. Pada September 2003, sebuah demonstrasi terjadi di Cancun (Meksiko) saat sidang WTO dan pada Juli 2005 di Edinburg (Skotlandia) saat sidang G-8 (el-Ojelli dan Hayden 2006 , 192).
GGA menjadi simbol perlawanan yang semakin mengkristal di saat berbagai gerakan yang berbeda tersebut melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan diselenggarakannya Forum Sosial Dunia (World Social Forum / WSF) yang pertama di Porto Alegre (Brasil) pada tahun 2001. Forum tersebut menghasilkan ‘Charter of Principle’ yang menjadi landasan dasar gerakan di mana “WSF mentasbihkan dirinya sebagai arena untuk bertemu dan bertukar pengalaman, untuk mendialektikakan ide secara terbuka dan mengartikulasikan proposal aksi bagi berbagai level civil society guna melawan globalisasi neoliberal.” (http://www.worldsocialforum.org , n.d.). WSF bukan hanya media pertemuan tahunan GGA, namun juga sebuah proses yang permanen dan global yang berusaha menemukan suatu bentuk alternatif dengan tujuan utama mengonstruksi model “globalisasi baru” yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan toleransi atas perbedaan (Santos 2003). Seperti Forum Ekonomi Dunia, WSF menghasilkan sedikit ide praktikal. WSF lebih berkonsentrasi pada kritik yang bertentangan dengan arti yang umum dan samar tentang neoliberalisme danimperialisme, dan memperbaiki ide komunis lama. WSF juga menyatakan tidak setuju dengan isu globalisasi, namun karena globalisasi sudah menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan, hampir tidak ada yang membicarakan tentang bagaimana mengatasinya. WSF juga mengangkat kritik yang sama seperti gerakan anti/alternatif globalisasi, bahwa globalisasi dan kapitalisme yang mereka tentang tidak bisa diacuhkan, atau kapitalisme dan globalisasi itu adalah alat yang paling efektif menujukan pemiskinan global. Peserta WSF sudah menanggapi gagasan yang 'penting untuk diperhatikan' dari globalisasi hanyalah suatu dongeng ideologis, sehingga mereka memakai semboyan, "Another World is Possible".
Another world is possible”. Slogan ini bagi sebagian orang bisa menjadi sebuah harapan atau bahkan hanya ide utopis dalam melihat perkembangan hubungan internasional dewasa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa ide neoliberal telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari baik disadari atau tidak. Flacks menyatakan bahwa model market driven menyebabkan manusia terikat pada proses produksi hingga kehilangan waktu tidur. Tatanan produksi global ini didukung keberadaan perusahaan multinasional dan lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF yang menyebabkan manusia tidak bisa terlepas dari jerat kapitalisme. Beberapa pertemuan tingkat dunia juga sering diadakan sebagai upaya melanggengkan jerat neoliberal seperti World Economic Forum, pertemuan tahunan WTO dll. Kenyataan bahwa liberalisme telah mengakar dalam kehidupan masyarakat banyak memberikan implikasi baik positif maupun negatif. Dalam pandangan kaum liberal, proses liberalisasi ditujukan untuk memberikan kemakmuran. Namun, pembangunan di negara ketiga dengan segala dimensinya telah menyebabkan kesenjangan dan keterbelakangan. Kritik dan resistensi baik yang terjadi dalam lingkup lokal dan internasional terhadap tatanan dunia yang dimonopoli oleh ide  liberal mendorong munculnya gerakan sosial global, sebut saja World Social Forum (WSF). WSF dianggap sebagai sebuah gerakan sosial mengacu pada pendapat Buechler, gerakan sosial diartikan,” intentional, collective effort to transform sosial order. WSF dibentuk di Porto Alegre, Brazil pada tahun 2001 sebagai respon atas tumbuh kembangnya gerakan sosial internasional dalam menentang globalisasi dan dampak pembangunan ekonomi neoliberal diberbagai negara. Ide pembentukan WSF berawal dari tim aktivis dari Brazil dan Prancis yang memiliki jaringan dengan aktivis nasional yang ada di Prancis dan Brazil, sepertihalnya kelompok internasional ATTAC ( The Assosiation pour la Taxe Tobin pour l’Aide aux citoyen ). Inisiatif ini mendapatkan dukungan dari partai buruh yang ada di Brazil. Munculnya WSF sebagai gerakan sosial global dianggap sebagai ‘perjuangan demokratik baru’ yaitu keseluruhan bentuk-bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam masyarakat kapitalisme. Gerakan sosial sebagai bentuk perjuangan menentang globalisasi atau biasa disebut gerakan “anti globalisasi” yang selanjutnya disebut deglobalisasi. Penggunaan istilah ”deglobalisasi” merujuk pada istilah yang digunakan oleh Walden Bello. Walden Bello mengembangkan konsep deglobalisasi sebagai strategi alternatif menentang globalisasi yang ditawarkan oleh neoliberal. Deglobalisasi bukanlah anti-globalisasi dan visinya dalam tatanan dunia baru lebih identik dengan globalisasi demokratis. Menurut Bello, “deglobalisation celebrate global ties while seeking to expand the freedom and choice local communities have about they will live”. Lebih lanjut, Bello menjelaskan bahwa deglobalisasi terdiri dari usaha berkelanjutan untuk mengkonstruksi kembali institusi yang telah ada yang mendukung neoliberal dalam rangka menciptakan ruang membangun tatanan baru untuk mengorganisir kehidupan ekonomi dalam prinsip menghargai keanekaragaman. Selama ini tradisi neoliberal memaksakan homogenitas dan terpusat. Upaya membangun tatanan baru dalam menentang neoliberal dimungkinkan melalui koordinasi global dengan jaringan globalisasi demokratis. Elemen kunci dalam deglobalisasi adalah pemberdayaan kapasitas local, kemandirian dan partisipasi.
Dalam pertemuan berikutnya, WSF juga berhasil menarik keikutsertaan masyarakat yang heterogen. Pertemuan WSF yang kedua diadakan pada Januari hingga Februari, berhasil mengumpulkan  5 .000 delegasi resmi dan peserta dari 131 negara dengan jumlah berkisar antara 50 .000 hingga 80.000 orang. Pertemuan WSF ketiga tahun 2004 diselenggarakan di Mumbai (India) dengan melibatkan tak kurang dari 100,000 delegasi. Pertemuan WSF yang terakhir diadakan pada 2005 di Porto Alegre melibatkan hampir 150 .000 delegasi dan berhasil mendeklarasikan “Porto Al egre Manifesto” (el-Ojelli dan Hayden 2006, 194).
Paparan di atas menjelaskan kemunculan gerakan sosial baru yang ingin mengubah tata dunia saat ini. Praktis diperlukan sebuah kerangka teoritis untuk memahami fenomena-fenomena tersebut.
Teori Civil Society dan Counter -Hegemony
Pada bagian ini, penulis mengulas kembali salah satu varian teori neomarxis, yakni pendekatan Gramscian sebagai dasar teoritis untuk menjelaskan definisi dan strategi dari GGA. Keunggulan konsepsi Gramscian terletak pada aplikasi praktisnya serta kemampuannya untuk menjelaskan proses transformasi politik. Beberapa konsepsi penting Gramsci seperti konsep civil society dan teori hegemoni adalah proposisi utama yang dapat menjelaskan fenomena GGA.
Civil Society dan Hegemoni
Antonio Gramsci adalah seorang pemikir serta pendiri Partai Komunis Italia. Ia telah berhasil membangun sebuah teori praktis untuk memahami formasi tertib dunia (word order) maupun transformasi historis atas perubahan tertib dunia. Teorinya muncul dari pengalaman pribadinya melihat kegagalan partai komunis yang dipimpinnya dalam proses transformasi politik di Italia. Gramsci berusaha  memahami mengapa fasisme dapat meraih kemenangan dan memantapkan status-quo politiknya. Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pijakan awal untuk menemukan strategi yang tepat dalam upayanya meruntuhkan hegemoni fasisme (el-Ojelli dan Hayden 2006, 214). Civil society adalah sebuah wilayah yang berbeda dari negara dan pasar. Konsep civil society dalam pemikiran Gramsci memiliki dua peran yang berbeda, bahkan berbenturan satu sama lain.
Civil society adalah agen yang pada saat bersamaan mampu melindungi dan mempertahankan order (pemerintah yang berkuasa) sekaligus juga dapat bertindak sebagai agen yang mengikis status quo dan menciptakan orde sosial yang baru. Di satu sisi, civil society berkolaborasi dengan negara untuk menghegemoni rakyat dan mengontrol perjuangan kelas, namun di sisi lain civil society dengan posisinya yang independen dari negara juga mampu menciptakan perjuangan kelas itu sendiri dengan melakukan gerakan counter-hegemony. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Gramsci membuat formula formasi negara yakni “state = political society + civil society, dengan kata lain, negara adalah entitas hegemonik yang berbaju zirah” (Gramsci 1971, 263). Artinya, negara dalam konsepsi Gramsci dapat eksis karena mempertahankan dua hal, yakni koersi yang diwakili oleh masyarakat politik ( political society) dan hegemoni konsensual yang dijalankan oleh masyarakat sipil ( civil society). Hegemoni, dalam definisi Gramsci, adalah serangkaian dominasi atas sebagian besar aspek kehidupan manusia, dari ekonomi, sosial, politik, hingga moral dan intelektual, dengan mengedepankan aspek-aspek konsensual nonkoersif (Simon 1982, 21). Dalam kaitannya dengan masyarakat politik dan masyarakat sipil yang melindungi kekuatan status quo negara dalam jangka waktu yang lama, Gramsci cenderung menekankan pentingnya hegemoni yang mengedepankan faktor–faktor nonkekerasan dimana peran masyarakat sipil adalah faktor determinan. Sebagaimana dikatakannya: “Sangat mungkin untuk membayangkan elemen memaksa dari negara menjadi layu sedikit demi sedikit, sejalan dengan munculnya elemen yang menonjol dari masyarakat sipil.” (Gramsci 1971, 263).
Saat kekuatan hegemoni mampu diraih, hubungan antara pemerintah dan yang diperintah berjalan dalam wilayah hubungan yang kompromistis dan konsensual. Dengan kata lain, kelompok subordinat menerima dengan dengan sadar dominasi para hegemon. Mereka yang diperintah telah menerima ide dan nilai utama dari mereka yang memerintah (para hegemon) sebagai nilai dan ide mereka sendiri (Cox 1993, 61). Memahami orde sosial yang ada dalam relasi hegemonik yang nyata di mana peran civil society menonjol, pada akhirnya mampu membuat Gramsci memahami dua hal penting, yakni kegagalan revolusi komunis Italia dan strategi yang tepat untuk melakukan “serangan balik” dan menciptakan orde sosial yang baru.
Dari War of Movement menuju War of Position
Di Rusia sepanjang tahun 1917, ketika kondisi masyarakat sipil lemah (ditandai dengan bentuk masyarakatnya yang masih tradisional dan primordial ), sebuah revolusi komunis dengan serangan yang frontal, yang disebut Gramsci sebagai war of movement dapat meraih kemenangan. Di Italia, sama seperti di negara industry maju Barat yang lain di mana masyarakat sipil memiliki posisi yang mapan, fenomena seperti yang terjadi di Rusia tidak akan pernah terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Gramsci (1971, 238):
“In Russia the State was everything, civil society was primordial and gelatinuous; in the West, there was a proper relation between State and civil society, and when the State trembled a sturdy structure of civil society was at once revealed. The State was only an outer ditch, behind which there stood a powerful system of f ortresses and earthworks; more or less numerous from one State to the next, it goes without saying -but this precisely necessitated an accurate reconnaissance of each individual country”. (Gramsci 1971, 238)
Strategi politik war of movement yang lebih dikenal sebagai revolusi fisik dengan mengimplementasikan penaklukan yang cepat dan akurat atas negara jelas tidak berhasil diterapkan di negara-negara kapitalis maju. Sebuah strategi baru perlu untuk diterapkan. Gramsci mencetuskan war of position yang menekankan gerakan counter-hegemonic untuk memenangkan pertarungan pada wilayah masyarakat sipil terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan frontal kepada negara. Melakukan war of movement sebelum memenangkan dominasi war of position akan berujung pada kegagalan. Memenangkan war of position memerlukan penaklukan atas masyarakat sipil ( civil society) dan memenangkan dominasi atas civil society membutuhkan gerakan untuk mengubah common sense masyarakat dari melindungi hegemoni menjadi mendukung gerakan counter-hegemony (Cox 1993, 53). Dalam hal ini, Robert Cox memberikan komentar bahwa strategi tersebut adalah strategi revolusioner yang sulit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang (Cox 1999, 5). Strategi yang mengharuskan kelas pekerja tidak hanya mengonsolidasikan kekuatan didalam kelompoknya, namun juga harus mengambil peran dalam sistem “fortress and earthworks” mendukung gerakan counter-hegemony yang ada dengan membangun aliansi dengan semua gerakan sosial sehingga menumbuhkan motivasi untuk mengubah relasi antar masyarakat sipil. Upaya-upaya tersebut dapat diraih dengan berbagai syarat yang disebut Gramsci sebagai “ organic crisis”. Ia menjelaskan kondisi di mana krisis dan pembangunan dapat muncul:
If the ruling class has lost its consensus, i.e. is no long er “leading” but only “dominant,” exercising coercive force alone, this means precisely that the great masses have become detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they used to believe previously, etc. The crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born. (Gramsci 1971, 275-276)
“Organic-crisis” oleh Gramsci digambarkan sebagai kondisi dimana kelas yang berkuasa telah kehilangan kepercayaan dari kelas yang dikuasainya. Posisinya bukan lagi sebagai “leader”, tetapi hanya sebagai “kelas dominan” dimana instrumen kekuasaan atas kelas yang dikuasai hanya menyisakan mekanisme koersif saja. Rakyat tunduk karena kekuatan militer negara, sementara mereka telah terlepas dari ikatan-ikatan ideologis dan emosional yang sebelumnya mengikat hubungan hierarki antara mereka dengan negara. Sekalipun demikian, kekuatan koersif negara dengan sistematis mencegah munculnya perlawanan. Frase terakhir “the old is dying and the new cannot be born” dengan tepat menggambarkan krisis tersebut.
Ia lebih jauh menjelaskan tentang kondisi yang memungkinkan terjadinya krisis
And the content is the crisis of the ruling class's hegemony, which occurs either because the ruling class has failed in some major political undertaking for which it has requested, or forcibly extracted, the consent of the broad masses (war, for example), or because huge masses (especially of peasants and petit-bourgeois intellectuals) have passed suddenly from a state of political passivity to a certain activity, and put forward demands which taken together, albeit not organically formulated, add up to a revolution. A “crisis of authority” is spoken of: this is precisely the crisis of hegemony, or general crisis of the State. (Gramsci 1971, 349)
Krisis tersebut dapat secara otomatis menciptakan lingkungan yang kondusif dimana war of position dapat diraih dan dipertahankan dan pada akhirya mampu menciptakan sebuah gerakan yang spesifik, bersatu dan solid untuk melawan hegemoni status quo. Gramsci menyebutnya sebagai blok historis counter-hegemony (Gramsci 1971, 275-276), sebuah struktur ideologis solid yang dengan terbuka melawan blok historis hegemonik.
Pendekatan Gramscian atas Gerakan Globalisasi Alternatif
Menggunakan kerangka berpikir Gramsci, penulis menjelaskan fenomena gerakan globalisasi alternatif dalam hal ontologi dan strategi gerakan yang digunakannya.
Kaitannya dengan ontologi gerakan, Gramsci mendefinisikan gerakan globalisasi alternatif sebagai bagian dari masyarakat sipil di luar negara dan pasar di mana fungsi utamanya adalah mentransformasikan tata dunia yang ada saat ini menjadi tata dunia alternatif baru. Cox mendefinisikannya menjadi sebuah “proses dari masyarakat sipil yang bottom-up yang dipimpin oleh suatu strata dalam masyarakat yang dirugikan dan terabaikan oleh tatanan kapitalis dengan membangun gerakan counter-hegemony, yang memiliki aspirasi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dan untuk mengganti tatanan hegemonik” (Cox 1993).
Raison deter-nya bukan hanya merupakan perlawanan langsung terhadap globalisasi neoliberal dengan menolak proposisi dan prakteknya, namun juga memenangkan war of position melawan hegemoni atas masyarakat sipil yang disebut Cox sebagai proses masyarakat sipil yang top-down dimana globalisasi neoliberal telah dirancang secara cermat untuk menguntungkan tatanan hegemonik. Dilihat dari sejarahnya, kemunculan masyarakat sipil yang top-down, yang diperlihatkan oleh perkembangan yang cepat atas NGOs, dimulai pada awal pasca perang dingin di bawah bendera “Agenda Kebijakan Baru (New Policy Agenda).” Agenda tersebut terdiri atas dua kebijakan utama, yakni implementasi ekonomi neoliberal seperti privatisasi, pasar bebas, dan deregulasi ekonomi serta penyebarluasan demokrasi (Edward dan Hume 1996, 961).
Di sisi strategi, GGA cenderung menggunakan strategi nirkekerasan dan diseminasi ide, dan bukan strategi koersif dengan membangun basis kekuatan material. Strategi-strategi tersebut sejalan dengan pemikiran Gramsci, yakni war of position. GGA menghindari strategi war of movement dengan konfrontasi fisik secara langsung melawan hegemoni neoliberal. Cara tersebut pernah dipakai sekali dalam battle of Seatle dan hanya berujung pada kegagalan (Ayres 205, 22). Dengan meminjam bahasa Karl Marx, strateginya yang digunakan adalah menggulingkan neoliberal di level supra struktur (ide dan substansi utamanya) dengan membentuk dan mempromosikan ide alternatif dan bukan pada level struktur (basis materialnya) dengan melakukan revolusi fisik. Dengan kata lain, untuk meruntuhkan hegemoni neoliberal, faktor utama dan pertama yang didekonstruksi adalah kesadaran ide ( consciousness) dan ‘common sense’-nya neoliberal yang salah satunya mengatakan bahwa pasar bebas bermuara pada harmony of interest; aliran modal, produksi, dan distribusi yang bebas hambatan dalam perdagangan dunia pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran global yang menguntungkan semuanya. Kesadaran ide bahwa agenda neoliberal membawa manfaat bagi dunia harus di-counter dengan memperlihatkan motif dan dampak negatif yang diproduksi oleh kapitalisme global. Perdebatan mengenai dampak negatif dari globalisasi neoliberal dan kebutuhan untuk menemukan alternative yang lebih baik harus secara intensif diwacanakan dan disebarluaskan.
Satu contoh yang telah disebutkan di bagian pertama adalah kemenangan gerakan Zapatista yang menggunakan internet dan media global lainnya untuk menyebarkan dan mengkampanyekan dampak negatif NAFTA ke seluruh penjuru dunia. Contoh lain adalah perdebatan yang semakin intensif mengenai MAI yang melibatkan banyak aktivis diberbagai penjuru dunia. Sebagaimana pernyataan Michael Corbin, salah seorang aktivis GGA: “Alasan mengapa oposisi terhadap MAI dapat berhasil adalah bahwa perjanjian tersebut muncul sebagai sebuah perjanjian yang terburu-buru, ceroboh dan mengancam sebagian besar individu dan kelompok yang beragam” (Kobrin 1998, 106-107). Sehingga, kunci sukses utama GGA yang menentang NAFTA dan MAI serta dampak buruk lain dari proyek globalisasi neoliberal adalah kemampuannya mengonstruksi dan membangun citra perjuangan dalam bahasa common sense yang populer, dimana individu dan masyarakat awam dapat memahaminya dengan mudah (Ayres 2005, 9-10). Fenomena tersebut dapat dianggap sebagai kemenangan pertama war of position yang secara moral mampu memicu gerakan sosial yang lain untuk memenangkan war of position. Sejak saat itu, berbagai jenis war of position yang dilakukan oleh GGA mulai banyak bermunculan yang secara massif dan terang-terangan melawan hegemoni neoliberal. Proliferasi berbagai war of position ini juga dipicu oleh apa yang disebut Gramsci sebagai krisis organik (organic crisis). Para hegemon masih memegang kekuasaan dalam arti material, namun kekuatan dalam bentuk soft power dan legitimasinya telah terkikis secara signifikan. Berkaitan dengan persoalan ini, Thomas J. Butko memberikan komentar: “dalam konteks kapitalisme liberal, massa masih dapat percaya pada justifikasi teoritis dan etis yang lebih besar mengenai kebebasan sistemik, individualitas, rasionalitas, namun tidak sepakat atau tidak lagi percaya dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai pemilik ‘kebenaran’ (sebagai contoh adalah blok neoliberal yang ada saat ini)” (Butko 2006, 87). Dalam prakteknya, krisis tersebut lebih condong dihasilkan oleh kesenjangan atas kekayaan yang dijanjikan oleh neoliberal dengan keadaan bertolak belakang yang makin hari makin meningkat yang merupakan dampak dari neoliberal itu sendiri. Sebagai contoh adalah meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin (sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama), degradasi lingkungan, kegagalan program pengentasan kemiskinan, dan bentuk-bentuk lain dari alienasi dan dehumanisasi manusia.
Krisis, sebagaimana gerakan Zapatista yang berfungsi sebagai counter-hegemony war of position melawan tatanan hegemonik telah memicu tumbuhnya gelombang war of position yang terjadi di berbagai penjuru dunia dari Davos hingga Genoa.
Saat war of position bermunculan dan terkristalisasi, ia mengonstruksi bentuk final resistensi yang disebut dengan blok counter-hegemony. Berbagai GGA telah berkolaborasi dan berkoordinasi satu sama lain untuk mempersatukan dan memperkuat gerakan mereka menuju tercapainya transformasi tertib dunia. Transformasi yang mereka idealkan ini hanya dapat dicapai dengan mempersatukan gerakan dan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai collective man:
“An historical act can only be performed by “collective man” and this presupposes the attainment of a “cultural-socio unity” through which a multiplicity of dispersed wills, with het eregenous aims, are welded together with a single aim, on the basis an equal and common conception of the world.” (Gramsci 1971, 349)
Dalam konteks GGA, perkembangan WSF pada 2001 sebagai pertemuan tahunan seluruh gerakan resistensi neoliberal dapat dianggap sebagai konstruksi atas blok counter-hegemony yang tidak hanya melawan pembentukan neoliberal WEF, namun juga sebagai sebuah tindakan perlawanan nyata terhadap proyek–proyek neoliberal yang lain. Meskipun peserta WSF datang dari berbagai macam latar belakang dengan tujuan yang berbeda-beda, namun secara umum mereka memiliki consciousness dan common sense emansipatif sama yang disebut Gramsci sebagai “a cultural-socio unity” atau sebuah kesatuan yang melintas batas sosial budaya untuk mewujudkan mimpi “another world is possible” sebagai tujuan ideal bersama. WSF sebagai “ collective man” mempersatukan gerakan resistensi untuk berkolaborasi dan berjuang guna membentuk dunia alternative yang lebih baik.
Kesimpulan
Globalisasi adalah fenomena yang membawa banyak perubahan dalam pola interaksi antarmanusia. Dalam posisi demikian, globalisasi menciptakan paradoks dalam dirinya sendiri; sebagian adalah “organ” yang diuntungkan oleh proses globalisasi ekonomi, sementara sebagian yang lain adalah kelompok mayoritas yang cenderung dirugikan oleh gerusan cepat aktor-aktor globalisasi. Salah satu dari kelompok yang terakhir adalah Gerakan Globalisasi Alternatif, sebuah entitas korban globalisasi ekonomi yang cenderung mengambil jalan tengah dengan membentuk tertib dunia alternatif yang lebih bermartabat dan humanis. GGA adalah gerakan perlawanan unik yang tidak sepenuhnya menentang globalisasi, dimana kesuksesan gerakan ini di dalam menentang globalisasi ekonomi ditentukan oleh efektivitas penggunaan internet –salah satu produk globalisasi– untuk menggugah konsen penduduk dunia akan arti pentingnya perubahan. GGA merupakan agen perubahan penting yang mulai menguat di akhir 1990-an hingga awal 2000-an ini perlu dipahami dari perspektif teoritis. Salah satunya adalah dengan menggunakan konsepsi Gramsci tentang hegemoni dan civil society yang tidak hanya mampu menjelaskan ontologi gerakan dan strategi GGA secara mendetail, tetapi juga struktur dominasi yang terjadi dalam arena globalisasi.
Melihat struktur dominasi yang ada, pendekatan Gramscian membacanya sebagai struktur dunia yang hegemonik, dimana dominasi neoliberal kapitalisme atas dunia dan aktor-aktor yang disubordinasi olehnya berjalan dalam logika teori hegemoni Gramsci. Struktur dominasi neoliberal tidak banyak disandarkan pada kekuatan koersi, tetapi lebih pada keberhasilannya menguasai common sense dan konsen masyarakat dunia melalui penciptaan top-down civil society. Banyaknya dampak negatif neoliberal globalisasi telah menciptakan kondisi apa yang diistilahkan Gramsci sebagai “ organic crisis”, sebuah situasi yang memberi peluang bagi bottom-up civil society untuk mengusung perubahan dalam wadah GGA.
Dalam konteks tersebut, secara ontologis, GGA dipahami sebagai bottom-up civil society yang bertujuan melakukan counter-hegemony melawan hegemoni neoliberal. Kesuksesan dominasi neoliberal melalui cara-cara hegemonik, membuat GGA belajar bahwa kesuksesan gerakan ditentukan oleh kemenangan war of position dimana strategi yang digunakan tidak dengan cara frontal revolusi fisik, melainkan penguasaan conciousness dan common sense warga dunia untuk mendukung ide-ide perubahan melawan hegemoni neoliberal.
Daftar Pustaka
Buku
·         Cox, Robert W., 1993. Gramsci, Hegemony, and Intern ational Relations: an Essay in Method. dalam Stephen Gill ed . Gramsci Historical Materialism and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press.
·         Castell, Manuel, 2000. The Information A ge :Economy, Society, and Culture –The Power of Identity. Oxford: Blackwell.
·         El-Ojeili, Chamsy dan Patrick Hayden, 2006. Critical Theory of Globalization , New York: Palgrave MacMillan.
·         Filho, Alfredo Saad ed., 2005. Neoliberalism, a Critical Reader . London: Pluto Press.
·         Fisher, W. F. dan T. Ponniah, 2003. Another World is Pos sible: Popular Alternatives to Globalization at the World Social Forum . London: Zed Books.
·         Gramsci, Antonio, 1971. Selections from the Prison Notebooks . dalam Q. Hoare and G. Nowell-Smith eds. New York: International Publishers.
·         Keane, John, 2003. Global Civil Society? . Cambridge: Cambridge University Press.
·         Podobnik, Bruce dan Thomas Reifer eds. n.d. Transforming Globalization: Challenges and Opportunities in the Post 9/11 Era . Leiden and Boston: Bri ll Academic Publishers.
·         Polanyi, K., 2001. The Great Transformation: The Po litical and Economic Origin of Our Times. Boston: Beacon Press.
·         Simon, Roger, 1982. Gramsci’s Political Thought , London: Lawrance and Wishart.
·         Thomas, Caroline, 1997. Poverty, Development, and Hunger. dalam John Baylish dan Steve Smith eds. The Globalization of World Politics . New York: Oxford University Press.
·         Richard Flaks dalam Jackie Smith, Social Movements for Global Democarcy, Baltimore, The Johns Hopkins University Press, 2008.
·         Buechler, 2000 dalam Chamsy el. Ojeili & Patrick Hayden , Critical Theories of Globalization, Basing Stoke, Palgrave, Mac Millan
·         Penjelasan mengenai  kegagalan negara dalam kapitalisme global dapat dilihat lebih lengkap dalam Noreena Heertz, Global Kapitalism and The death of Democracy : The Silent Take Over, New York, Harper Business, 2003. dan Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi., Yogyakarta, Media Presindo, 2007.
·         Flaks dalam Jackie Smith, Social Movements for Global Democarcy, Baltimore : The Johns Hopkins University Press, 2008.
Artikel dalam Jurnal
·         Butko, Thomas J., 2006. Gramsci and the “anti-globalization” Movement: Think Before You Act. Social and Democracy, 20 (2).
·         ------------------, 1999. Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for a n Alternative World Order . Review of International Studies , 25 (7).
·         Edward, Michael dan David Hume, 1996. Too Close for Comford, The Impact of Official Aid on Nongovermental Organizations . World Development, 24.
·         Kobrin, Stephen J., 1998. The MAI and the Clash of Globalizations. Foreign Policy.
·         Ramos, Leonardo Cesar Souza. Civil Society in an Age of Globalization: a Neo-Gramscian Perspectives. Journal of Civil Society , 2 (2), hlm. 157.
Artikel Online
·         Santos, Boaventura de Souza , 2003. The World Social Forum: Toward a Counter Hegemony Globalization [online]. dalam http://www.ces.fe.uc.pt/bss/documentos/wsf.pdf. [diakses 20 November 2012].
·         http://www.worldsocialforum.org [diakses 20 November 2012].
·         Slogan World Social Forum. Dalam  http://www.wsfindia.org/ [diakses 24 November 2012]
·          



[1] Diambil dari jurnal Bapak Winner P. Utama, Dosen FISIPOL UMY. Dengan editan dalam konsep WSF.

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger