Rijal
A. Mohammadi
Abstrac:
Paradigm
shift in the early days of the medium as control of the third pillar and the
underlying performance of checks and balances to be satisfying the elite and
the holders of capital, so that citizens are no longer seen as a public sphere
but rather to customers. This article shows what led to the crisis of democracy
due to the liberalization of media without clear control functions.
Kata-kata
kunci:
tatanan demokrasi, market-driven
journalism, krisis demokrasi
Munculnya media dalam penyampaian
aspirasi publik telah terjadi sejak tahun 1920-an, seperti Pertja Selatan yang berasal dari Palembang. Pada tahun 1920-an,
Palembang dan daerah-daerah lain, gerakan antikolonialisme ditandai dengan
munculnya organisasi gerakan modern, seperti Serikat Islam, PARI, Gerindo, dan
PKI. Kehadiran organisasi gerakan modern itu berdampak terhadap perubahan
aktivisme politik lokal dalam menentang kolonialisme. Salah satu perubahan yang
signifikan adalah penggunaan penerbitan media massa, seperti surat kabar
sebagai alat perlawanan. Munculnya surat kabar tak lepas dari orang-orang atau
para aktivis organisasi tersebut yang sudah melek huruf atau mengenal sekolah
yang didirikan oleh pemerintah kolonial hindia belanda. Implikasi dari sekolah
tersebut adalah mereka dapat berfikir terbuka,
bebas, dan radikal, lebih peka terhadap situasi ketertindasan dan
ketidakadilan, dan memiliki tanggungjawab.[1]
Mereka menggunakan media massa melalui surat kabar sebagai alat-alat perlawanan
untuk kepentingan menghimbau massa, menggulirkan isu-isu, dan menyebarkan
informasi dan kebijakan-kebijakan politik kepada aktivis maupun para simpatisan
organisasi dan rakyat. Bahkan surat kabar di fungsikan sebagai counter-news dan sekaligus kritik terhadap
kebijakan rezim kolonial hindia belanda.
Kemudian dewasa ini pada era
demokrasi, media massa memiliki kemerosotan terhadap paradigma awal munculnya
media massa di awal tahun1920-an. Pengalihfungsian media dari fungsi sebenarnya
telah terlihat pada masa awal rezim orde baru, lebih memihak kepada pemerintah
Soeharto. Dalam beberapa waktu belakangan, industri media di Indonesia
mengalami beberapa pergeseran. Pertama,
dalam industri televisi, muncul berbagai macam tayangan yang menyajikan berita-berita
kriminal dan infotaiment. Tayangan-tayangan semacam ini seperti menjadi program
‘wajib’ pada hampir semua stasiun televisi kecuali TVRI dan stasiun lokal.
Dalam program kriminal yang sering
kali muncul di peredaran televisi Indonesia seperti Sidik (MNCTV), Sergap
(RCTI), Buser (SCTV), Sorot (GlobalTV) dan TKP (Trans7). Adapun program yang
menyajikan program infotaiment
seperti Intens, kabar-kabari dan Silet (RCTI), Insert (TransTV), Go Show
(MNCTV), kasak-kusuk (SCTV), Berita Selebriti (ANTV), Kiss (Indosiar) dan Star
7 (Trans7). Kedua, dalam industry media cetak, beberapa Koran juga tengah
mengubah tampilannya seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo, Republika, Kompas
dan Jawa Pos. Selain dalam rangka efisiensi, mengubah format tampilan seperti ini
dilakukan dalam rangka mengemas korannya agar nampak lebih aktraktif.
Perubahan-perubahan yang terjadi sejak fase awal
media berdiri di Indonesia tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi pasti
ada balutan politik yang menyentuhnya. Seperti halnya dalam pengaruh
pemerintahan rezim-rezim yang telah ada di Indonesia. Karena pada hakikatnya,
barang siapa hendak menguasai perpolitikan dalam suatu rezim maka kuasai
terlebih dahulu lini medianya. Hal ini yang dilakukan PKI dalam merebut stasiun
RRI pada tahun 1960-an untuk menumbangkan kuasa dewan jenderal yang
terbunuh dalam tragedy G30S di saat
pemerintahan presiden Soekarno. Indonesia yang telah mengalami banyak peralihan
model demokrasi dari terpimpin, parlemen dan lain sebagainya berpengaruh sekali
terhadap perkembangan media di dalamnya. Pers adalah
salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat
serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan
bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan
merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis.
Menurut Miriam Budiardjo,
bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sedangkan, Inti
dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat
(individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam Demokrasi juga diperlukan
partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan
andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini,
sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah
kebijakan suatu Negara.
Pers merupakan pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi
kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya
perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur
dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga
harus bebas dari kapitalisme dan politik. pers yang tidak sekedar
mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa
mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Kemungkinan kebebasan
lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik
tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. Istilah citizen journalism untuk menjelaskan
kegiatan proses dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis
profesional. Aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud
aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang
bahwa citizen journalism sebagai
bagian dari pers merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Dalam tatanan pemerintahan demokrasi seperti yang di utarakan Miriam Budiardjo, kebebasan yang
dilakukan oleh pers dan media dalam menyalurkan aspirasi merupakan ciri utama
bagi Negara demokrasi. Akan tetapi fungsi kontrol pemerintah dan badan pengawas
media dan pers harus benar-benar ditegakan untuk menghindari market-driven journalism. Agar pers dan
media tidak dengan mudah di bayang-bayangi oleh berbagai macam kepentingan yang
dapat merugikan Negara ini. Dalam market-driven
journalism, masyarakat dianggap sebagai customer
bukan sebagai warga Negara. Karenanya jurnalisme diorientasikan untuk melayani
kelompok tertentu (berdasarkan target marketing),
dibandingkan untuk melayani warga negaranya secara keseluruhan. Akibatnya media
telah gagal merepresentasikan dirinya sebagai pilar demokrasi yang penting.
Atas alasan-alasan di atas, tulisan ini akan ditujukan untuk melakukan
eksplorasi lebih jauh menyangkut bagaimana praktek media dalam bidang jurnalis
dalam tatanan demokrasi. Hipotesis yang diajukan dalam tulisan ini adalah media
yang dikendalikan kapital/penguasa (market-driven
journalism) menyumbang bagi kemunduran kualitas media massa, dengan
demikian menyumbangkan bagi terjadinya krisis demokrasi. Hipotesis ini
didasarkan pada media massa dewasa ini banyak dibayang-banyangi oleh
kepentingan para penguasa yang mana telah melenceng terhadap paradigma awal
media berdiri yaitu penyambung aspirasi rakyat yang dengannya suara rakyat
dapat tersalurkan dan di dengar atau mungkin diapresiasi oleh pemerintah dalam sistem
Negara yang demokrasi. Karena pada dasarnya media mempunyai posisi penting
dalam sistem politik demokrasi, terutama dalam penyediaan informasi. Akan
tetapi, fungsi kontrol yang melihat liberalisasi penggunaan media tidak
terbatas, sehingga dapat dengan mudah di bayang-bayangi oleh banyak
kepentingan. Hal ini yang menggeser media berorientasi publik ke arah media
yang berorientasi pasar untuk menghasilkan profit dengan menjual hal yang
berbau sensasional, kriminalitas, gossip
dan kekerasan.
Tulisan ini akan diawali dengan membahas apa yang dimaksud dengan tatanan
demokrasi? Selanjutnya, dalam rangka melacak liberalisasi media dalam
perkembangannya di Negara-negara demokrasi maka akan dibahas perspektif
analisis untuk membedah kemunculan market-driven
journalism yang akan di bahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya, tulisan
ini akan ditutup dengan pencarian alternative
terhadap persoalan-persoalan yang muncul akibat dominasi pemilik modal/kapital
dalam pengelolaan media yang berujung pada kemunduran demokrasi, karena empat
pilar dalam demokrasi terasa dikhianati.
Tatanan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari
gabungan dua kata bahasa Yunani: demos
(rakyat) dan kratos (pemerintah).
Definisi “pemerintahan oleh rakyat”. Terlihat mudah bahwa pembicaraan mengenai
demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan
untuk mengorganisasikan pemerintah oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang
apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan
pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintah dalam
masyarakat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. Liberalism muncul untuk
dapat menyerang sistem yang lama yaitu menurunkan kekuasaan Negara dan kemudian
menciptakan masyarakat sipil di mana hubungan-hubungan sosial berkembang tanpa
ada campur tangan Negara. Tradisi yang muncul adalah terbentuknya demokrasi
liberal yaitu liberal dahulu (bertujuan untuk membatasi kekuasaan Negara
terhadap masyarakat sipil) lalu demokrasi (bertujuan untuk menciptakan struktur
yang akan mengamankan mandat rakyat untuk para pemegang kekuasaan Negara).
Dalam beberapa hal, pengembangan pemikiran demokrasi liberal berkembang di
seputar penyelesaian hubungan kompleks diantara kedua elemen ini.
Menurut Friedrich von Hayek, membedakan secara tajam liberalism dan
demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah doktrin mengenai bagaimana
seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi sebagai sebuah doktrin mengenai
cara menentukan bentuk hukum tersebut.[2] Bagi Hayek demokrasi bukan
hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi adalah kebebasan (liberty), yang dapat tercapai hanya
jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah. Dalam pandangan ini,
demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga bahwa mayoritas akan
menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu. Robert Dahl menyatakan bahwa kapitalisme modern cenderung “menciptakan ketimpangan dalam sumber daya
sosial dan ekonomi yang sangat besar yang menyebabkan pelanggaraan terhadap
persamaan politik dan arena itu, terhadap proses demokratisasi.”[3] Dahl menyarankan sebuah sistem kontrol bersama atas perekonomian. Dahl juga mempunyai definisi tentang demokrasi idealnya
memiliki: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang
mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara
dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran,
yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian
terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol
terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat
untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui
proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau
lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Pengertian sempit demokrasi
dirumuskan oleh Schumpeter. Baginya
demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme
untuk memilih pemimpin politik. Warga Negara diberikan kesempatan untuk memilih
salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Di
antara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya,
warga Negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemempuan
untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah
yang disebut demokrasi. Dalam kalimat Schumpeter,
“metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan
politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui
perjuangan kompetitif untuk meraih suara.”[4]
Pada ujung spectrum lainnya kita
mempunyai pengertian demokrasi yang sangat komprehensif yang diusulkan oleh David Held. Held menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis
untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi:
Orang seharusnya bebas dan setara
dalam menentukan kondisi kehidupannaya; yaitu, mereka harus memperoleh yang
sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang
menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan
menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain.[5]
Pembuatan prinsip tersebut, yang
oleh Held disebut sebagai otonomi
demokrasi (democratic autonomy),
membutuhkan baik akuntabilitas Negara dalam derajat yang tinggi dan suatu
pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan pertisipasi
substansial secara langsung pada lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum.
Ototnomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of rights) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan
yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan
pengawasan akhir oleh warga Negara terhadap agenda politik. Termasuk juga
hak-hak sosial dan ekonomi memastikan bahwa tersedia sumber daya yang cukup
bagi otonomi demokrasi. ”Tanpa hak-hak ekonomi dan sosial yang kuat, hak-hak
yang berhubungan dengan Negara tidak dapat diperoleh sepenuhnya; dan tanpa
hak-hak Negara (state rights), wujud
baru ketimpangan kekuasaan, kesejahteraan dan status secara sistematis akan
mengacaukan implementasi kebebasan sosial dan ekonomi.”[6]
Liberalisasi
Media di Tengah Negara Demokrasi
Lebih dari dua puluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak
popular pada pemerintahan di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya
dan diprotes melalui gerakan perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan
People Power berhasil mengusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di
Thailand tahun 1992 yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon dari kekuasaan negara,
dan Indonesia tahun 1998 terkenal dengan tragedi reformasi berhasil menurunkan
kedoiktatoran Soeharto (McCargo, 1999:131).[7]
Media memainkan peranan penting dalam gerakan yang terjadi di negara-negara
tersebut, kecuali Myanmar (1988). Asumsi utama dalam kajian demokratisasi
adalah, semakin press independent dengan semakin besar kebebasan yang dimiliki
maka akan memberi kontribusi positif pada perubahan politik, mendukung transisi
demokrasi dan meruntuhkan rejim yang otoritarian. Dengan kata lain, media dapat
memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada saat babak politik dalam
transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Neumann menjelaskan bahwa kebebasan
memegang peranan penting di Asia
Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan
munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis (Neumann, 1998). Lalu, apa fungsi yang ditunjukkan oleh media
sebagai institusi politik? Salah satu fungsi yang telah dirancang oleh Soeharto
dan elite negara dalam negara berkembang adalah, mempromosikan ideologi
nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Dalam menjalankan fungsi ini, pers adalah sebagai
sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial
politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan
politik pada masa damai, melakukan checks
and balances.
Dalam bab yang berjudul why don’t we
call journalists political actors?, Cook
(1998:4) mengemukakan beberapa hal: Pertama,
para jurnalis telah bekerja keras untuk mendorong masyarakat agar tidak berpikir
bahwa mereka (jurnalis) merupakan aktor politik. Mereka sangat berhasil dalam
upaya ini, sehingga mereka pun sepertinya sangat yakin dengan hal ini. Kedua, studi mengenai komunikasi politik
berkembang di tengah-tengah sebuah tradisi yang menekankan efek media, dan
disiplin ilmu yang terkait dengan studi politik tentang media berita pun telah
pula menyembunyikan implikasi dari kegiatan mereka. Pada umumnya, ketika pakar
politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi politik dari media, maka
mereka menjadi kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai
sebuah institusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk
meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik, dan para
peneliti yang membahas tentang studi politik maupun media telah melalaikan hal
ini. Fungsi ketiga adalah sebagai fire-fighting, yaitu membantu dalam
menentukan hasil dari perubahan politik dan sosial dramatik yang terjadi saat
krisis. Beberapa contoh di Asia dapat menunjukkan hal ini, yakni peran media
dalam menggulingkan rezim Marcos di
Filipina di tahun 1986, atau dukungan yang ditunjukkan pers pada demonstrasi
pro-demokrasi pada bulan Mei 1992 di Bangkok. Dalam fungsi ketiga ini, pers
merupakan agen perubahan (agent of change).[8]
Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan
dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat
propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi
penguasa (hegemoni). Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari
pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai
tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus di Thailand, fokusnya selalu mengenai
penggunaan media elektronik oleh pihak militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang
sebagai pion dari kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani
negara (servant of the state).
Kaitannya yang erat dengan kontrol dan sensor negara, dan pamahaman tentang
bagaimana aspek media berfungsi dalam titik waktu tertentu, juga kecenderungannya
untuk terlalu berpusat pada negara (state-centric).
Media pada dasarnya memiliki karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat
dari kenyataan bahwa media cetak sering
meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara yang semakin
melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin melemah pula.
Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi pemberitaan menjadi tidak
selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi oposisi, petinggi militer,
pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok non-pemerintah, dan pihak lain,
semuanya terlibat di sini. Hal menarik untuk menjelaskan tentang konsep peran
politik dari media adalah bab yang ditulis oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4
(empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator);
kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant);
dan keempat, sebagai penipu (trickster). Pharr memandang media
sebagai penipu, sebuah kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, penipu
merupakan partisipan aktif dalam proses politik. Dampak utama dari peran penipu
sebagai pembangun komunitas. Label penipu kemudian berubah menjadi kosa kata
yang positif, yaitu mencerminkan perilaku media yang penuh dengan kebaikan (Pharr,
1996:24-36).[9]
Perilaku media secara frekuentatif menampilkan sisi yang ambigu, hipokrit,
dan inkonsisten, singkatnya mereka itu bersifat licin dan dan menipu. Menipu
dalam konteks ini, meski dapat dipandang sebagai positif, tetapi juga
mengandung sisi yang bersifat membahayakan dan destruktif. Pharr berpendapat
bahwa media penipu tidak mewakili kepentingan satu kelompok tertentu pun,
seperti media di Asia Tenggara yang secara frekuentatif terjebak dalam berbagai
kepentingan. Tipuan ini tidak datang dari kurangnya loyalitas, namun dari
loyalitas yang berlipat, pluralitas dalam kewajiban, dan beragamnya stakeholder mereka. Sangat jelas bahwa stakeholder mereka yang bermacam-macam
menghasilkan kekuatan sekaligus kelemahan. Analis media dari barat cenderung
melihat hubungan partisan dalam konteks hubungan formal dan informal antara
organisasi media dan partai politik. Dalam konteks Asia Tenggara, definisi ini belumlah
memadai; hubungan partisan harus dipahami sebagai rangkaian keseluruhan dari hubungan
antar- praktisi, secara paralel dengan dunia media dan politik. Banyak
literatur media di negara berkembang menekankan dominasi atau hegemoni
kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara
(Pharr, 1996:24 -36).[10]
Media dapat dipahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan
yang berkonflik dalam masyarakat modern, dan karena itu tingkat kerumitan isu
dalam media tinggi. Hubungan antara pemerintah dan media dan politik, dan media
dengan masalah globalisasi dan lokalitas, keduanya menjadi hal yang
controversial dalam kajian media umumnya (Koike: 2002:13 -14).[11]
Penggambaran tentang bagaimana media berandil dalam meruntuhkan sistem politik
Orde Baru pada Mei 1998. Koike
mengidentifikasi peranan politis media dalam gerakan reformasi menentang
pemilik stasiun televisi, di mana anak-anak Soeharto dan kroninya. Teknologi
mutakhir semacam internet memainkan peranan sangat besar dalam mendukung
reformasi dan gerakan demokrasi. Contoh email yang ditulis oleh George Aditjondro yang dipublikasi dalam
sebuah website oleh orang-orang Indonesia di Jerman. Para pelajar Indonesia
menemukan artikel Aditjondro pada
internet, mencetaknya dan menjual fotocopi dari artikel itu di jalanan, dan hal
ini merupakan informasi kontroversial yang langsung menyebar dengan cepat dan
meluas di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu contoh dari masalah dimana
sebuah medium baru dan medium tradisional sangat efektif bila digabung.
Ada karakter yang berlawanan dari dinamika media pada era pasca Soeharto
yang memunculkan perobahan politik yang drastis yang telah membawa Soeharto
turun dan memberi jalan yang lebih demokratis dan liberasi media, dimana
mengarahkan pada munculnya ruang publik dan civil
society di Indonesia. Saat itu, suara warga dibisukan oleh penguasa. Sistem
politik yang represif telah mengawasi warga secara ketat, mengontrol secara
dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain dari pada yang dikehendaki
penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga
dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang
diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeack), bahasa bukanlah sekedar alat
komunikasi. Ia merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat
pada keadaan sosial tertentu. Hal menarik yang bisa mendukung telaah ini adalah
kasus Chili. Di Negara Chili ada upaya mendemokratisasi media. Artinya ada
proses untuk melibatkan pembentukan mekanisme yang memungkinkan civil society turut berpartisipasi dalam
pembuatan keputusan mengenai muatan dan sifat pesan, dan untuk mempengaruhi
keputusan yang berkaitan dengan kebijakan komunikasi politik. (Reyes Matta, 1981:90).
Di Chili, Armand Mattelart (1980:51-52,
189-213) mengkritisi kebijakan media Unidad
Popular atas vertikalitas mereka yang eksesif (terlalu berlebihan)–dengan
berdasar pada peningkatan jumlah media yang diproduksi secara profesional dan
upaya yang kurang memadai untuk mengubah hubungan antara produksi dan penerimaan
media (Bresnahan, 2003:39-68).[12]
Mattelart mendukung upaya penyediaan sumber daya dan latihan
dasar untuk menciptakan massa yang lebih terorganisasi dan dapat menjadi
pembuat pesan bagi diri mereka sendiri, yang lahir dari perjuangan sosial
mereka, dengan menunjuk surat kabar terkemuka cordones industriales (sabuk industri) dan militant poblaciones (surat kabar dari kota kecil) sebagai model. Pusat
dari teori media demokrasi saat ini adalah teori Habermas (1997) tentang konsep
lingkungan publik (public sphere)
sebagai ruang sosial (social space)
untuk artikulasi mengenai masyarakat sipil, yaitu semua tempat fisik dan ruang yang termediasi, dimana diskusi terbuka
mengenai masalah kepentingan publik dapat dilakukan dengan bebas.[13]
Seiring dengan perkembangan media yang semakin menjadi arena primer dari
lingkungan publik, demokratisasi media telah diakui sebagai komponen penting
dari demokratisasi politik penuh; Garnham
mengemukakan bahwa institusi dan proses komunikasi publik sendiri merupakan
bagian sentral dan integral dari struktur dan proses politik (1994:361), dan
Bernett menekankan bahwa selama transisi politik, rancangan proses komunikasi
menjadi sama pentingnya dengan rancangan institusi politik, ekonomi, dan sosial (1998:206), hal
ini sedikit telah diabaikan oleh para teorisi transisi terkemuka. Hampir sama
pula McChesney menyatakan bahwa untuk
respon mengenai konsentrasi, konglomerasi dan transnasionalisasi media, hal
yang terpenting adalah bagaimana media dikontrol, distrukturisasi, dan
disubsidi seharusnya menjadi topik utama dalam perdebatan demokrasi (Bresnahan,
2003:39-68).[14]
Mendemokratisasi komunikasi menuntut adanya kebebasan untuk berbicara dan menggunakan
hak tersebut untuk berkomunikasi. Ini menempatkan kewajiban yang sama pada masyarakat
demokrasi untuk memberi kesempatan dan sarana untuk menggunakan hak ini, yaitu dengan
membantu, mendukung dan mensubsidi badan atau organisasi dan kegiatan
operasional dari surat kabar, jurnal, media penyiaran, dan sebagainya, yang
diter bitkan oleh organisasi, kelompok minoritas, dan semua kelompok yang tidak
mampu mendanai pendirian dan kegiatan operasional media mereka. Dengan kata
lain, penciptaan sektor sipil dari media massa, merupakan upaya non komersial
untuk berbicara dan bagi kelompok sosial, ini memberi kesempatan pada mereka
untuk berbicara dengan suara mereka sendiri. Sejak model demokrasi juga menjadi
model parsipatoris (lihat McQuail, 1987), sektor sipil ini tidak hanya akan
terdiri atas media massa, namun juga media yang terdesentralisasi atau media
akar rumput. Seperti halnya media kecil yang yang memberi perlawanan penting
kepada rezim otoriter dan berperan sebagai agen civil society dalam proses pembentukannya dan juga tahap
pelaksanaannya (Jakubowicz, 1995a:33-34), ketika demokrasi tercapai, mereka
berperan dalam distribusi kekuatan komunikasi diantara kelompok sosial
(politik, ekonomi, etnis, budaya, agama, dan sebagainya) dan memainkan peran
khusus dengan mengekspresikan sikap, kebutuhan, kepentingan dan aspirasi dari
sektor sosial pada tingkat lokal (Vreg, 1995:60-61).
Berkaitan dengan subsidi publik terhadap sektor media sipil yang
independen, teorisi demokrasi seperti McChesney,
Garnham, dan Keane menekankan
pentingnya penyelenggaraan antitrust yang giat untuk membatasi kepemilikan
silang dan konsentrasi media. Mereka juga mengemukakan pentingnya untuk
mengatur perkembangan media transnasional besar yang dapat berperan dalam meningkatkan kontrol terhadap sistem
distribusi media, terutama dalam upaya mengembangkan infrastruktur informasi
digital global. Kebijakan publik lain yaitu mendukung upaya promosi
demokratisasi media, yang meliputi perlindungan hukum untuk berbicara tentang masalah
politik, terutama bagi media yang bergerak dalam sektor sipil, yang memiliki
jumlah iklan yang terbatas, khususnya iklan untuk anak -anak, serta partisipasi
aktif dari wakil yang dipilih oleh masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan
media. Pengajuan tambahan, seperti mendanai sektor media sipil dengan pajak
iklan dan penggunaan spektrum, menuntut pihak penyiar untuk memberikan kontrol
program harian pada wakil masyarakat sipil atau menempatkan mereka sebagai
pembawa muatan yang bertugas untuk membawa pesan dari masyarakat luas, seperti
halnya dengan pihak pengiklan, dan memberi peran yang besar bagi jurnalis dan
pekerja media yang lain dalam manajemen perusahaan media dapat
merepresentasikan visi demokratisasi media yang jauh dari realisasinya
dimanapun di dunia ini. Untuk mengukur kebijakan media Chili dengan standar ini
merupakan suatu hal yang tidak realistis.
Market-driven Journalism
Dengan berdasar pada teori Downs,
teori politik media mengambil pendekatan pilihan rasional yang bersifat bebas
terhadap subyeknya. Teori politik media yang dibangun Zaller merupakan perluasan dari kajian Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy . Pada tahun 1957, Downs mendapat temuan tentang proses
politik dari partai saat berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih
rasional. Temuan riset Downs benar
-benar dapat menjelaskan berbagai fitur yang paling penting dalam politik
demokrasi umumnya. Namun teori Downs hampir
tidak menyebutkan jurnalis dan tidak memberi peran pada jurnalis yang
independen dalam politik. Dalam studi yang dilakukan, Zaller merumuskan tentang peran teoretis dari jurnalis dalam sistem
demokrasi Downs dan menemukan akibat
-akibat dari perubahan tersebut. Secara khusus, Zaller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang
gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling tidak dalam beberapa waktu melalui profesi jurnalistik
yang memiliki kepentingan untuk memberikan suara dan peran kepada para pembaca.
Oleh karena teori Downs dan teori
perluasan Zaller ini berakar pada
kekuatan politik dasar, maka sangatlah masuk akal untuk meyakini bahwa teori Zaller tentang politik media dapat
menjelaskan berita politik tidak hanya di Amerika Serikat secara um um,
termasuk pemilihan umum presiden, melainkan juga di Indonesia.[15]
Kuatnya kapitalisasi dalam institusi media telah melahirkan praktik
jurnalisme yang lebih dikendalikan oleh pasar atau yang sering disebut
market-driven journalism. Oleh para ahli, market-driven
journalism didefinisikan sebagai berita yang mengikuti logika pasar guna
menciptakan suatu lingkungan yang mendukung ke arah usaha komersialisasi
(McManus seperti dikutip kurpius, 2003: 77). Berdasarkan studi yang dilakukan
oleh McManus terhadap industri televisi
di AS, ada tiga ciri penting market-driven
journalism. Pertama, motivasi
mengejar keuntungan dengan memaksa stasiun-stasiun untuk mengambil liputan yang
mempunyai area liputan yang sama. Kesepakatan semacam ini telah mendorong para
jurnalis televisi untuk mendefinisikan berita didasarkan pada kategori-kategori
pokok seperti kriminalitas, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya. Kedua, para konsultan televisi menjadi
salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap liputan yang hampir seragam. Ketiga, pasar menjadi kekuatan yang
menentukan rutinitas peliputan berita, pemilihan, dan pelaporan. Rutinitas
semacam ini dibatasi oleh biaya-biaya liputan, sedapat mungkin laporan berita mengeluarkan
biaya minimal, tetapi mampu menjangkau audience yang luas.
Dalam market-driven journalism,
audience lebih dilihat sebagai “customer”
dibandingkan dengan sebagai “citizen”.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Joel Kramer (seperti dikutip Underwood, 2001:5) marketing menjadi
jurnalisme, editor mengambil keputusan dalam garis kebijakan ini. Surat kabar
di susun berdasarkan unit-unit customer
dan editor bertanggungjawab dalam mencari pembaca dan keuntungan. Dengan
demikian, surat kabar lebih diabdikan untuk mencetak uang (making money), meraih tujuan-tujuan pemasaran, dan melayani
kebutuhan-kebutuhan pengiklan dibandingkan dengan memainkan peran tradisional
mereka sebagai pelayan publik dalam menyediakan informasi bagi warga Negara dan
melaksanakan peran pengawasan (watchdog) bagi pemerintah dan pelaku bisnis.
Dalam market-driven journalism,
liputan media akan bergeser dari isu-isu sosial politik jangka panjang menjadi
berita-berita yang menyentuh kebutuhan personal masyarakat. Seperti dikemukakan
McChesney (1998:17-18), liputan yang
dahulunya begitu kuat dalam wilayah-wilayah politik, kini, beralih ke
liputan-liputan mengenai kejahatan, olahraga, dan kehidupan kaum selebritis.
Life style, kesehatan dan hobi juga menjadi isu-isu yang banyak diminati oleh para
pembuat berita. Dengan kata lain, segmentasi dan targeting telah mempengaruhi
banyak pengelolaan media sehingga sehingga muncullah Koran dan majalah yang
sangat tersegmentasi berdasarkan kelompok-kelompok pasar tertentu. Ini semua
terjadi karena kuatnya pertimbangan-pertimbangan pasar dalam menentukan
bagaimana media dikelola, yang pada akhirnya berujung pada area liputan media
dan segmen pasar mana yang harus mereka layani.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas dapat
disimpulkan bahwa tatanan demokrasi telah berimbas pada bagaimana dipandang dan
difungsikan dalam masyarakat. Dalam tatanan demokrasi, media seharusnya menjadi
fasilitator suara masyarakat ke pemerintah. Yang mana media merupakan pilar
keempat setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terlihat dan
yang dialami media dewasa ini hanya menjadi alat bagi pemilik modal untuk
mengembangkan kekayaan mereka. Dalam situasi seperti ini muncullah fenomena market-driven journalism, dimana produk
jurnalistik lebih diorientasikan untuk melayani pasar melalui segmentasi dan
targeting, dibanding melayani warga Negara secara keseluruhan.
Pada akhirnya, ini telah membuat media gagal untuk merepresentasikan dirinya
sebagai institusi sosial yang seharusnya bertindak sebagai “public servant” dalam menyediakan
informasi bagi masyarakat sebagai prasyarat penting berjalannya sistem
demokrasi. Krisis demokrasi diakibatkan oleh liberalisasi media yang secara
gamblang membuka privat atau rahasia Negara demi kepentingan salah seorang elit
pemegang modal semata. Jika ditunjau dari tatanan demokrasi menurut
Friedrich von Hayek, membedakan
secara tajam liberalism dan demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah
doktrin mengenai bagaimana seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi
sebagai sebuah doktrin mengenai cara menentukan bentuk hukum tersebut.[16] Bagi Hayek demokrasi bukan hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi
adalah kebebasan (liberty), yang
dapat tercapai hanya jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah.
Dalam pandangan ini, demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga
bahwa mayoritas akan menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu.
Kebebasan ini yang diperoleh dari
berubahnya sistem yang ada, karena pada hakikatnya jika berkiblat dari
pengertian demokrasi menurut Hayek,
“yang terpenting bukan demokrasi, tetapi kebebasan.” Fungsi kontrol media dalam
menyebarkan produknya di tengah masyarakat tidak terfasilitasi dari pemegang
modal semata, akan tetapi menyuarakan hak-hak rakyat yang belum dapat terdengar
oleh pemerintah. Dalam hal ini, media justru mendorong kemunduran demokrasi.
Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama,
segmentasi dan targeting yang
diterapkan dalam market-driven
development telah memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat tertentu
yang potensial secara ekonomi dengan menegasikan kelompok lain dalam
masyarakat. Akibatnya muncul ketimpangan dalam hal informasi. Pada satu sisi,
terdapat satu kelompok masyarakat yang kelimpahan informasi, tetapi disisi lain
terdapat kelompok masyarakat yang kekurangan informasi. Kedua, kuatnya motif mencari keuntungan telah membuat media
menggeser orientasi jurnalismenya dengan lebih menekankan pada liputan-liputan
yang lebih menyentuh kebutuhan personal dan keinginan masyarakat. Munculnya
infotaiment memberikan contoh mengenai hal ini. Liputan-liputan semacam ini
telah mendorong terjadinya depolitisasi dalam masyarakat karena terlalu
banyaknya mengkonsumsi liputan-liputan seperti infotaiment dibanding dengan
liputan politik yang menentukan masa depan mereka sebagai warga Negara. Ketiga, ketergantungan media terhadap
dukungan korporasi dalam bentuk iklan dan kepemilikan institusi-institusi media
kepada swasta telah membuat media ini tidak lagi kritis terhadap korporasi dan
pemiliknya. Akhirnya, media lebih mengabdi kepada kepentingan korporasi dan
pemilik modal dibandingkan dengan mengabdikan kepada kepentingan warga Negara.
Akhirnya, liberalisasi yang membentuk kecenderungan media gagal
merepresentasikan dirinya sebagai “public
sphere” dalam masyarakat. Isu atau wacana media lebih mengarah dan
didominasi oleh kepentingan-kepentingan elit dan korporasi.
Oleh karena itu, dalam rangka
memperjuangkan arah gerak media sebenarnya dalam upaya membangun kembali
demokrasi yang krisis di tengah masyarakat karena ditimbulkan oleh
kepentingan-kepentingan para elit dan korporasi ada beberapa hal yang mungkin
dilakukan. Pertama, membatasi
kepemilikan media dalam satu kelompok masyarakat. Dalam beberapa dekade
belakangan, konglomerasi media telah menjadi fenomena yang mencengankan. Masa
depan demokrasi benar-benar dalam keadaan krisis. Ketika media ini hanya
dimiliki oleh beberapa sebagian kecil orang maka keberagaman sebagai salah satu
prinsip penting demokrasi akan lenyap, dan jika itu terjadi, tidak hanya
terjadi krisis demokrasi akan tetapi kematian demokrasi pun akan teralami. Kedua, orientasi kebebasan pasar dalam market-driven journalism telah membuat
warga Negara dilihat seperti cutomer dibandingkan
sebagai warga Negara. Oleh karena itu, bagaimana membuat warga Negara menjadi
kritis melihat media tidak lagi menjadi hal dapat ditawar. Asumsinya, ketika
masyarakat kritis terhadap isi media bahkan menolak suatu tayangan media yang
tidak mendidik dan memenuhi hak-hak mereka sebagai warga Negara maka sesuai
dengan hokum pasar media juga akan meninggalkan tayangan-tayangan tersebut.
Dengan kata lain, yang terpenting adalah mendorong daya kritis masyarakat dalam
menyikapi media sehingga merekalah yang mempungaruhi dan menentukan isi media,
bukan sebaliknya.
[1] Dikutip dari
Satrio Arismunandar dan J. Anto, Kisah Jurnalis antikolonialisme di Sumatera
Timur: Dari Soetan Koemala sampai Pada Harahap, makalah tidak di publikasikan,
1996.
[2] F. A. Hayek, The
Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.
[3] Robert A. Dahl,
A Preface to Economic Democracy (Cambridge: Polity Press, 1985), hal. 60.
[4] Joseph
Schumpeter,’ Capitalism, Socialism and Democracy (1942; reprint, London: Allen
and Unwin, 1976), hal. 260.
[5] David Held,
Model of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987), hal. 271.
[6] Ibid., hal. 285.
[7] McCargo, Duncan,
Media and Democratic Transitions in Southeast Asia, makalah untuk diskusi panel
tentang ‘Democracy in the Third World: What Should be Done? ECPR Joint
Sessions, Mannheim 26-31 March 1999.
[8] Cook, Timothy
E., Governing with the News: the News Media as a Political Institution ,
(Chicago: Chicago University Press, 1998).
[9] Pharr and Ellis
S. Krauss (eds.), Media and politics in Japan (Honolulu: University of Hawai
Press, 1996).
[10] Ibid.
[11] Koike, Makato, Globalizing
Media and Local Society in Indonesia, makalah dalam workshop 13-14 September
2002 (Leiden, Nederland, dalam IIAS News, 2002).
[12] Bresnahan,
Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise
Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November
2003.
[13] Habermas,
Jürgen, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into
aCategory of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance
of Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1994).
[14] Bresnahan,
Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise
Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November
2003.
[15] Zaller, John,
A Theory of Media Politics: How the Interests of
Politicians,Journalists, and Citizens Shape the News, paper, October 24, 1999.
Versi buku ada pada Inaugural Miller Converse Lecture, University of Michigan,
April 14, 1997.
[16] F. A. Hayek, The
Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.
0 komentar:
Posting Komentar