Kamis, 22 November 2012

FENOMENA KRISIS DEMOKRASI MELALUI LIBERALISASI MEDIA



Rijal A. Mohammadi
Abstrac:
Paradigm shift in the early days of the medium as control of the third pillar and the underlying performance of checks and balances to be satisfying the elite and the holders of capital, so that citizens are no longer seen as a public sphere but rather to customers. This article shows what led to the crisis of democracy due to the liberalization of media without clear control functions.
Kata-kata kunci:
tatanan demokrasi, market-driven journalism, krisis demokrasi

Munculnya media dalam penyampaian aspirasi publik telah terjadi sejak tahun 1920-an, seperti Pertja Selatan yang berasal dari Palembang. Pada tahun 1920-an, Palembang dan daerah-daerah lain, gerakan antikolonialisme ditandai dengan munculnya organisasi gerakan modern, seperti Serikat Islam, PARI, Gerindo, dan PKI. Kehadiran organisasi gerakan modern itu berdampak terhadap perubahan aktivisme politik lokal dalam menentang kolonialisme. Salah satu perubahan yang signifikan adalah penggunaan penerbitan media massa, seperti surat kabar sebagai alat perlawanan. Munculnya surat kabar tak lepas dari orang-orang atau para aktivis organisasi tersebut yang sudah melek huruf atau mengenal sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial hindia belanda. Implikasi dari sekolah tersebut adalah mereka dapat berfikir terbuka,  bebas, dan radikal, lebih peka terhadap situasi ketertindasan dan ketidakadilan, dan memiliki tanggungjawab.[1] Mereka menggunakan media massa melalui surat kabar sebagai alat-alat perlawanan untuk kepentingan menghimbau massa, menggulirkan isu-isu, dan menyebarkan informasi dan kebijakan-kebijakan politik kepada aktivis maupun para simpatisan organisasi dan rakyat. Bahkan surat kabar di fungsikan sebagai counter-news dan sekaligus kritik terhadap kebijakan rezim kolonial hindia belanda.
Kemudian dewasa ini pada era demokrasi, media massa memiliki kemerosotan terhadap paradigma awal munculnya media massa di awal tahun1920-an. Pengalihfungsian media dari fungsi sebenarnya telah terlihat pada masa awal rezim orde baru, lebih memihak kepada pemerintah Soeharto. Dalam beberapa waktu belakangan, industri media di Indonesia mengalami beberapa pergeseran. Pertama, dalam industri televisi, muncul berbagai macam tayangan yang menyajikan berita-berita kriminal dan infotaiment. Tayangan-tayangan semacam ini seperti menjadi program ‘wajib’ pada hampir semua stasiun televisi kecuali TVRI dan stasiun lokal. Dalam program kriminal yang sering kali muncul di peredaran televisi Indonesia seperti Sidik (MNCTV), Sergap (RCTI), Buser (SCTV), Sorot (GlobalTV) dan TKP (Trans7). Adapun program yang menyajikan program infotaiment seperti Intens, kabar-kabari dan Silet (RCTI), Insert (TransTV), Go Show (MNCTV), kasak-kusuk (SCTV), Berita Selebriti (ANTV), Kiss (Indosiar) dan Star 7 (Trans7). Kedua, dalam industry media cetak, beberapa Koran juga tengah mengubah tampilannya seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo, Republika, Kompas dan Jawa Pos. Selain dalam rangka efisiensi, mengubah format tampilan seperti ini dilakukan dalam rangka mengemas korannya agar nampak lebih aktraktif.
Perubahan-perubahan yang terjadi sejak fase awal media berdiri di Indonesia tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi pasti ada balutan politik yang menyentuhnya. Seperti halnya dalam pengaruh pemerintahan rezim-rezim yang telah ada di Indonesia. Karena pada hakikatnya, barang siapa hendak menguasai perpolitikan dalam suatu rezim maka kuasai terlebih dahulu lini medianya. Hal ini yang dilakukan PKI dalam merebut stasiun RRI pada tahun 1960-an untuk menumbangkan kuasa dewan jenderal yang terbunuh  dalam tragedy G30S di saat pemerintahan presiden Soekarno. Indonesia yang telah mengalami banyak peralihan model demokrasi dari terpimpin, parlemen dan lain sebagainya berpengaruh sekali terhadap perkembangan media di dalamnya. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara.
Pers merupakan  pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan  politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. Istilah citizen journalism untuk menjelaskan kegiatan proses dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis profesional. Aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Dalam tatanan pemerintahan demokrasi seperti yang di utarakan Miriam Budiardjo, kebebasan yang dilakukan oleh pers dan media dalam menyalurkan aspirasi merupakan ciri utama bagi Negara demokrasi. Akan tetapi fungsi kontrol pemerintah dan badan pengawas media dan pers harus benar-benar ditegakan untuk menghindari market-driven journalism. Agar pers dan media tidak dengan mudah di bayang-bayangi oleh berbagai macam kepentingan yang dapat merugikan Negara ini. Dalam market-driven journalism, masyarakat dianggap sebagai customer bukan sebagai warga Negara. Karenanya jurnalisme diorientasikan untuk melayani kelompok tertentu (berdasarkan target marketing), dibandingkan untuk melayani warga negaranya secara keseluruhan. Akibatnya media telah gagal merepresentasikan dirinya sebagai pilar demokrasi yang penting.
Atas alasan-alasan di atas, tulisan ini akan ditujukan untuk melakukan eksplorasi lebih jauh menyangkut bagaimana praktek media dalam bidang jurnalis dalam tatanan demokrasi. Hipotesis yang diajukan dalam tulisan ini adalah media yang dikendalikan kapital/penguasa (market-driven journalism) menyumbang bagi kemunduran kualitas media massa, dengan demikian menyumbangkan bagi terjadinya krisis demokrasi. Hipotesis ini didasarkan pada media massa dewasa ini banyak dibayang-banyangi oleh kepentingan para penguasa yang mana telah melenceng terhadap paradigma awal media berdiri yaitu penyambung aspirasi rakyat yang dengannya suara rakyat dapat tersalurkan dan di dengar atau mungkin diapresiasi oleh pemerintah dalam sistem Negara yang demokrasi. Karena pada dasarnya media mempunyai posisi penting dalam sistem politik demokrasi, terutama dalam penyediaan informasi. Akan tetapi, fungsi kontrol yang melihat liberalisasi penggunaan media tidak terbatas, sehingga dapat dengan mudah di bayang-bayangi oleh banyak kepentingan. Hal ini yang menggeser media berorientasi publik ke arah media yang berorientasi pasar untuk menghasilkan profit dengan menjual hal yang berbau sensasional, kriminalitas, gossip dan kekerasan.
Tulisan ini akan diawali dengan membahas apa yang dimaksud dengan tatanan demokrasi? Selanjutnya, dalam rangka melacak liberalisasi media dalam perkembangannya di Negara-negara demokrasi maka akan dibahas perspektif analisis untuk membedah kemunculan market-driven journalism yang akan di bahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan pencarian alternative terhadap persoalan-persoalan yang muncul akibat dominasi pemilik modal/kapital dalam pengelolaan media yang berujung pada kemunduran demokrasi, karena empat pilar dalam demokrasi terasa dikhianati.
Tatanan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Definisi “pemerintahan oleh rakyat”. Terlihat mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintah oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintah dalam masyarakat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. Liberalism muncul untuk dapat menyerang sistem yang lama yaitu menurunkan kekuasaan Negara dan kemudian menciptakan masyarakat sipil di mana hubungan-hubungan sosial berkembang tanpa ada campur tangan Negara. Tradisi yang muncul adalah terbentuknya demokrasi liberal yaitu liberal dahulu (bertujuan untuk membatasi kekuasaan Negara terhadap masyarakat sipil) lalu demokrasi (bertujuan untuk menciptakan struktur yang akan mengamankan mandat rakyat untuk para pemegang kekuasaan Negara). Dalam beberapa hal, pengembangan pemikiran demokrasi liberal berkembang di seputar penyelesaian hubungan kompleks diantara kedua elemen ini.
Menurut Friedrich von Hayek, membedakan secara tajam liberalism dan demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah doktrin mengenai bagaimana seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi sebagai sebuah doktrin mengenai cara menentukan bentuk hukum tersebut.[2] Bagi Hayek demokrasi bukan hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi adalah kebebasan (liberty), yang dapat tercapai hanya jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah. Dalam pandangan ini, demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga bahwa mayoritas akan menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu. Robert Dahl menyatakan bahwa kapitalisme modern cenderung  “menciptakan ketimpangan dalam sumber daya sosial dan ekonomi yang sangat besar yang menyebabkan pelanggaraan terhadap persamaan politik dan arena itu, terhadap proses demokratisasi.”[3] Dahl menyarankan sebuah sistem kontrol bersama atas perekonomian. Dahl juga mempunyai definisi tentang demokrasi idealnya memiliki: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Pengertian sempit demokrasi dirumuskan oleh Schumpeter. Baginya demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga Negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Di antara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga Negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemempuan untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi. Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara.”[4]
Pada ujung spectrum lainnya kita mempunyai pengertian demokrasi yang sangat komprehensif yang diusulkan oleh David Held. Held menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi:
Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannaya; yaitu, mereka harus memperoleh yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain.[5]
Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas Negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan pertisipasi substansial secara langsung pada lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Ototnomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of rights) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga Negara terhadap agenda politik. Termasuk juga hak-hak sosial dan ekonomi memastikan bahwa tersedia sumber daya yang cukup bagi otonomi demokrasi. ”Tanpa hak-hak ekonomi dan sosial yang kuat, hak-hak yang berhubungan dengan Negara tidak dapat diperoleh sepenuhnya; dan tanpa hak-hak Negara (state rights), wujud baru ketimpangan kekuasaan, kesejahteraan dan status secara sistematis akan mengacaukan implementasi kebebasan sosial dan ekonomi.”[6]
Liberalisasi Media di Tengah Negara Demokrasi
Lebih dari dua puluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak popular pada pemerintahan di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya dan diprotes melalui gerakan perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power berhasil mengusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di Thailand tahun 1992 yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon dari kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998 terkenal dengan tragedi reformasi berhasil menurunkan kedoiktatoran Soeharto (McCargo, 1999:131).[7] Media memainkan peranan penting dalam gerakan yang terjadi di negara-negara tersebut, kecuali Myanmar (1988). Asumsi utama dalam kajian demokratisasi adalah, semakin press independent dengan semakin besar kebebasan yang dimiliki maka akan memberi kontribusi positif pada perubahan politik, mendukung transisi demokrasi dan meruntuhkan rejim yang otoritarian. Dengan kata lain, media dapat memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada saat babak politik dalam transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Neumann menjelaskan bahwa kebebasan memegang peranan penting  di Asia Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis (Neumann, 1998).   Lalu, apa fungsi yang ditunjukkan oleh media sebagai institusi politik? Salah satu fungsi yang telah dirancang oleh Soeharto dan elite negara dalam negara berkembang adalah, mempromosikan ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Dalam  menjalankan fungsi ini, pers adalah sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan politik pada masa damai, melakukan checks and balances.
Dalam bab yang berjudul why don’t we call journalists political actors?, Cook (1998:4) mengemukakan beberapa hal: Pertama, para jurnalis telah bekerja keras untuk mendorong masyarakat agar tidak berpikir bahwa mereka (jurnalis) merupakan aktor politik. Mereka sangat berhasil dalam upaya ini, sehingga mereka pun sepertinya sangat yakin dengan hal ini. Kedua, studi mengenai komunikasi politik berkembang di tengah-tengah sebuah tradisi yang menekankan efek media, dan disiplin ilmu yang terkait dengan studi politik tentang media berita pun telah pula menyembunyikan implikasi dari kegiatan mereka. Pada umumnya, ketika pakar politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi politik dari media, maka mereka menjadi kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik, dan para peneliti yang membahas tentang studi politik maupun media telah melalaikan hal ini. Fungsi ketiga adalah sebagai fire-fighting, yaitu membantu dalam menentukan hasil dari perubahan politik dan sosial dramatik yang terjadi saat krisis. Beberapa contoh di Asia dapat menunjukkan hal ini, yakni peran media dalam menggulingkan rezim Marcos di Filipina di tahun 1986, atau dukungan yang ditunjukkan pers pada demonstrasi pro-demokrasi pada bulan Mei 1992 di Bangkok. Dalam fungsi ketiga ini, pers merupakan agen perubahan (agent of change).[8]
Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus di Thailand, fokusnya selalu mengenai penggunaan media elektronik oleh pihak militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the state). Kaitannya yang erat dengan kontrol dan sensor negara, dan pamahaman tentang bagaimana aspek media berfungsi dalam titik waktu tertentu, juga kecenderungannya untuk terlalu berpusat pada negara (state-centric). Media pada dasarnya memiliki karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat dari  kenyataan bahwa media cetak sering meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara yang semakin melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin melemah pula. Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi pemberitaan menjadi tidak selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi oposisi, petinggi militer, pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok non-pemerintah, dan pihak lain, semuanya terlibat di sini. Hal menarik untuk menjelaskan tentang konsep peran politik dari media adalah bab yang ditulis oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4 (empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant); dan keempat, sebagai penipu (trickster). Pharr memandang media sebagai penipu, sebuah kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, penipu merupakan partisipan aktif dalam proses politik. Dampak utama dari peran penipu sebagai pembangun komunitas. Label penipu kemudian berubah menjadi kosa kata yang positif, yaitu mencerminkan perilaku media yang penuh dengan kebaikan (Pharr, 1996:24-36).[9]
Perilaku media secara frekuentatif menampilkan sisi yang ambigu, hipokrit, dan inkonsisten, singkatnya mereka itu bersifat licin dan dan menipu. Menipu dalam konteks ini, meski dapat dipandang sebagai positif, tetapi juga mengandung sisi yang bersifat membahayakan dan destruktif. Pharr berpendapat bahwa media penipu tidak mewakili kepentingan satu kelompok tertentu pun, seperti media di Asia Tenggara yang secara frekuentatif terjebak dalam berbagai kepentingan. Tipuan ini tidak datang dari kurangnya loyalitas, namun dari loyalitas yang berlipat, pluralitas dalam kewajiban, dan beragamnya stakeholder mereka. Sangat jelas bahwa stakeholder mereka yang bermacam-macam menghasilkan kekuatan sekaligus kelemahan. Analis media dari barat cenderung melihat hubungan partisan dalam konteks hubungan formal dan informal antara organisasi media dan partai politik. Dalam konteks Asia Tenggara, definisi ini belumlah memadai; hubungan partisan harus dipahami sebagai rangkaian keseluruhan dari hubungan antar- praktisi, secara paralel dengan dunia media dan politik. Banyak literatur media di negara berkembang menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara (Pharr, 1996:24 -36).[10]
Media dapat dipahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan yang berkonflik dalam masyarakat modern, dan karena itu tingkat kerumitan isu dalam media tinggi. Hubungan antara pemerintah dan media dan politik, dan media dengan masalah globalisasi dan lokalitas, keduanya menjadi hal yang controversial dalam kajian media umumnya (Koike: 2002:13 -14).[11] Penggambaran tentang bagaimana media berandil dalam meruntuhkan sistem politik Orde Baru pada Mei 1998. Koike mengidentifikasi peranan politis media dalam gerakan reformasi menentang pemilik stasiun televisi, di mana anak-anak Soeharto dan kroninya. Teknologi mutakhir semacam internet memainkan peranan sangat besar dalam mendukung reformasi dan gerakan demokrasi. Contoh email yang ditulis oleh George Aditjondro yang dipublikasi dalam sebuah website oleh orang-orang Indonesia di Jerman. Para pelajar Indonesia menemukan artikel Aditjondro pada internet, mencetaknya dan menjual fotocopi dari artikel itu di jalanan, dan hal ini merupakan informasi kontroversial yang langsung menyebar dengan cepat dan meluas di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu contoh dari masalah dimana sebuah medium baru dan medium tradisional sangat efektif bila digabung.
Ada karakter yang berlawanan dari dinamika media pada era pasca Soeharto yang memunculkan perobahan politik yang drastis yang telah membawa Soeharto turun dan memberi jalan yang lebih demokratis dan liberasi media, dimana mengarahkan pada munculnya ruang publik dan civil society di Indonesia. Saat itu, suara warga dibisukan oleh penguasa. Sistem politik yang represif telah mengawasi warga secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain dari pada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeack), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu. Hal menarik yang bisa mendukung telaah ini adalah kasus Chili. Di Negara Chili ada upaya mendemokratisasi media. Artinya ada proses untuk melibatkan pembentukan mekanisme yang memungkinkan civil society turut berpartisipasi dalam pembuatan keputusan mengenai muatan dan sifat pesan, dan untuk mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan kebijakan komunikasi politik. (Reyes Matta, 1981:90). Di Chili, Armand Mattelart (1980:51-52, 189-213) mengkritisi kebijakan media Unidad Popular atas vertikalitas mereka yang eksesif (terlalu berlebihan)–dengan berdasar pada peningkatan jumlah media yang diproduksi secara profesional dan upaya yang kurang memadai untuk mengubah hubungan antara produksi dan penerimaan media (Bresnahan, 2003:39-68).[12]
Mattelart mendukung upaya penyediaan sumber daya dan latihan dasar untuk menciptakan massa yang lebih terorganisasi dan dapat menjadi pembuat pesan bagi diri mereka sendiri, yang lahir dari perjuangan sosial mereka, dengan menunjuk surat kabar terkemuka cordones industriales (sabuk industri) dan militant poblaciones (surat kabar dari kota kecil) sebagai model. Pusat dari teori media demokrasi saat ini adalah teori Habermas (1997) tentang konsep lingkungan publik (public sphere) sebagai ruang sosial (social space) untuk artikulasi mengenai masyarakat sipil, yaitu semua tempat fisik dan  ruang yang termediasi, dimana diskusi terbuka mengenai masalah kepentingan publik dapat dilakukan dengan bebas.[13] Seiring dengan perkembangan media yang semakin menjadi arena primer dari lingkungan publik, demokratisasi media telah diakui sebagai komponen penting dari demokratisasi politik penuh; Garnham mengemukakan bahwa institusi dan proses komunikasi publik sendiri merupakan bagian sentral dan integral dari struktur dan proses politik (1994:361), dan Bernett menekankan bahwa selama transisi politik, rancangan proses komunikasi menjadi sama pentingnya dengan rancangan institusi  politik, ekonomi, dan sosial (1998:206), hal ini sedikit telah diabaikan oleh para teorisi transisi terkemuka. Hampir sama pula McChesney menyatakan bahwa untuk respon mengenai konsentrasi, konglomerasi dan transnasionalisasi media, hal yang terpenting adalah bagaimana media dikontrol, distrukturisasi, dan disubsidi seharusnya menjadi topik utama dalam perdebatan demokrasi (Bresnahan, 2003:39-68).[14]
Mendemokratisasi komunikasi menuntut adanya kebebasan untuk berbicara dan menggunakan hak tersebut untuk berkomunikasi. Ini menempatkan kewajiban yang sama pada masyarakat demokrasi untuk memberi kesempatan dan sarana untuk menggunakan hak ini, yaitu dengan membantu, mendukung dan mensubsidi badan atau organisasi dan kegiatan operasional dari surat kabar, jurnal, media penyiaran, dan sebagainya, yang diter bitkan oleh organisasi, kelompok minoritas, dan semua kelompok yang tidak mampu mendanai pendirian dan kegiatan operasional media mereka. Dengan kata lain, penciptaan sektor sipil dari media massa, merupakan upaya non komersial untuk berbicara dan bagi kelompok sosial, ini memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara dengan suara mereka sendiri. Sejak model demokrasi juga menjadi model parsipatoris (lihat McQuail, 1987), sektor sipil ini tidak hanya akan terdiri atas media massa, namun juga media yang terdesentralisasi atau media akar rumput. Seperti halnya media kecil yang yang memberi perlawanan penting kepada rezim otoriter dan berperan sebagai agen civil society dalam proses pembentukannya dan juga tahap pelaksanaannya (Jakubowicz, 1995a:33-34), ketika demokrasi tercapai, mereka berperan dalam distribusi kekuatan komunikasi diantara kelompok sosial (politik, ekonomi, etnis, budaya, agama, dan sebagainya) dan memainkan peran khusus dengan mengekspresikan sikap, kebutuhan, kepentingan dan aspirasi dari sektor sosial pada tingkat lokal (Vreg, 1995:60-61).
Berkaitan dengan subsidi publik terhadap sektor media sipil yang independen, teorisi demokrasi seperti McChesney, Garnham, dan Keane menekankan pentingnya penyelenggaraan antitrust yang giat untuk membatasi kepemilikan silang dan konsentrasi media. Mereka juga mengemukakan pentingnya untuk mengatur perkembangan media transnasional besar yang dapat berperan dalam  meningkatkan kontrol terhadap sistem distribusi media, terutama dalam upaya mengembangkan infrastruktur informasi digital global. Kebijakan publik lain yaitu mendukung upaya promosi demokratisasi media, yang meliputi perlindungan hukum untuk berbicara tentang masalah politik, terutama bagi media yang bergerak dalam sektor sipil, yang memiliki jumlah iklan yang terbatas, khususnya iklan untuk anak -anak, serta partisipasi aktif dari wakil yang dipilih oleh masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan media. Pengajuan tambahan, seperti mendanai sektor media sipil dengan pajak iklan dan penggunaan spektrum, menuntut pihak penyiar untuk memberikan kontrol program harian pada wakil masyarakat sipil atau menempatkan mereka sebagai pembawa muatan yang bertugas untuk membawa pesan dari masyarakat luas, seperti halnya dengan pihak pengiklan, dan memberi peran yang besar bagi jurnalis dan pekerja media yang lain dalam manajemen perusahaan media dapat merepresentasikan visi demokratisasi media yang jauh dari realisasinya dimanapun di dunia ini. Untuk mengukur kebijakan media Chili dengan standar ini merupakan suatu hal yang tidak realistis.
Market-driven Journalism
Dengan berdasar pada teori Downs, teori politik media mengambil pendekatan pilihan rasional yang bersifat bebas terhadap subyeknya. Teori politik media yang dibangun Zaller merupakan perluasan dari kajian Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy . Pada tahun 1957, Downs mendapat temuan tentang proses politik dari partai saat berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih rasional. Temuan riset Downs benar -benar dapat menjelaskan berbagai fitur yang paling penting dalam politik demokrasi umumnya. Namun teori Downs hampir tidak menyebutkan jurnalis dan tidak memberi peran pada jurnalis yang independen dalam politik. Dalam studi yang dilakukan, Zaller merumuskan tentang peran teoretis dari jurnalis dalam sistem demokrasi Downs dan menemukan akibat -akibat dari perubahan tersebut. Secara khusus, Zaller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling tidak dalam beberapa waktu melalui profesi jurnalistik yang memiliki kepentingan untuk memberikan suara dan peran kepada para pembaca. Oleh karena teori Downs dan teori perluasan Zaller ini berakar pada kekuatan politik dasar, maka sangatlah masuk akal untuk meyakini bahwa teori Zaller tentang politik media dapat menjelaskan berita politik tidak hanya di Amerika Serikat secara um um, termasuk pemilihan umum presiden, melainkan juga di Indonesia.[15]
Kuatnya kapitalisasi dalam institusi media telah melahirkan praktik jurnalisme yang lebih dikendalikan oleh pasar atau yang sering disebut market-driven journalism. Oleh para ahli, market-driven journalism didefinisikan sebagai berita yang mengikuti logika pasar guna menciptakan suatu lingkungan yang mendukung ke arah usaha komersialisasi (McManus seperti dikutip kurpius, 2003: 77). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh McManus terhadap industri televisi di AS, ada tiga ciri penting market-driven journalism. Pertama, motivasi mengejar keuntungan dengan memaksa stasiun-stasiun untuk mengambil liputan yang mempunyai area liputan yang sama. Kesepakatan semacam ini telah mendorong para jurnalis televisi untuk mendefinisikan berita didasarkan pada kategori-kategori pokok seperti kriminalitas, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya. Kedua, para konsultan televisi menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap liputan yang hampir seragam. Ketiga, pasar menjadi kekuatan yang menentukan rutinitas peliputan berita, pemilihan, dan pelaporan. Rutinitas semacam ini dibatasi oleh biaya-biaya liputan, sedapat mungkin laporan berita mengeluarkan biaya minimal, tetapi mampu menjangkau audience yang luas.
Dalam market-driven journalism, audience lebih dilihat sebagai “customer” dibandingkan dengan sebagai “citizen”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Joel Kramer (seperti dikutip Underwood, 2001:5) marketing menjadi jurnalisme, editor mengambil keputusan dalam garis kebijakan ini. Surat kabar di susun berdasarkan unit-unit customer dan editor bertanggungjawab dalam mencari pembaca dan keuntungan. Dengan demikian, surat kabar lebih diabdikan untuk mencetak uang (making money), meraih tujuan-tujuan pemasaran, dan melayani kebutuhan-kebutuhan pengiklan dibandingkan dengan memainkan peran tradisional mereka sebagai pelayan publik dalam menyediakan informasi bagi warga Negara dan melaksanakan peran pengawasan (watchdog) bagi pemerintah dan pelaku bisnis.
Dalam market-driven journalism, liputan media akan bergeser dari isu-isu sosial politik jangka panjang menjadi berita-berita yang menyentuh kebutuhan personal masyarakat. Seperti dikemukakan McChesney (1998:17-18), liputan yang dahulunya begitu kuat dalam wilayah-wilayah politik, kini, beralih ke liputan-liputan mengenai kejahatan, olahraga, dan kehidupan kaum selebritis. Life style, kesehatan dan hobi juga menjadi isu-isu yang banyak diminati oleh para pembuat berita. Dengan kata lain, segmentasi dan targeting telah mempengaruhi banyak pengelolaan media sehingga sehingga muncullah Koran dan majalah yang sangat tersegmentasi berdasarkan kelompok-kelompok pasar tertentu. Ini semua terjadi karena kuatnya pertimbangan-pertimbangan pasar dalam menentukan bagaimana media dikelola, yang pada akhirnya berujung pada area liputan media dan segmen pasar mana yang harus mereka layani.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas  dapat disimpulkan bahwa tatanan demokrasi telah berimbas pada bagaimana dipandang dan difungsikan dalam masyarakat. Dalam tatanan demokrasi, media seharusnya menjadi fasilitator suara masyarakat ke pemerintah. Yang mana media merupakan pilar keempat setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terlihat dan yang dialami media dewasa ini hanya menjadi alat bagi pemilik modal untuk mengembangkan kekayaan mereka. Dalam situasi seperti ini muncullah fenomena market-driven journalism, dimana produk jurnalistik lebih diorientasikan untuk melayani pasar melalui segmentasi dan targeting, dibanding melayani warga Negara secara keseluruhan.
Pada akhirnya, ini telah membuat media gagal untuk merepresentasikan dirinya sebagai institusi sosial yang seharusnya bertindak sebagai “public servant” dalam menyediakan informasi bagi masyarakat sebagai prasyarat penting berjalannya sistem demokrasi. Krisis demokrasi diakibatkan oleh liberalisasi media yang secara gamblang membuka privat atau rahasia Negara demi kepentingan salah seorang elit pemegang modal semata. Jika ditunjau dari tatanan demokrasi menurut Friedrich von Hayek, membedakan secara tajam liberalism dan demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah doktrin mengenai bagaimana seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi sebagai sebuah doktrin mengenai cara menentukan bentuk hukum tersebut.[16] Bagi Hayek demokrasi bukan hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi adalah kebebasan (liberty), yang dapat tercapai hanya jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah. Dalam pandangan ini, demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga bahwa mayoritas akan menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu.
Kebebasan ini yang diperoleh dari berubahnya sistem yang ada, karena pada hakikatnya jika berkiblat dari pengertian demokrasi menurut Hayek, “yang terpenting bukan demokrasi, tetapi kebebasan.” Fungsi kontrol media dalam menyebarkan produknya di tengah masyarakat tidak terfasilitasi dari pemegang modal semata, akan tetapi menyuarakan hak-hak rakyat yang belum dapat terdengar oleh pemerintah. Dalam hal ini, media justru mendorong kemunduran demokrasi. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, segmentasi dan targeting yang diterapkan dalam market-driven development telah memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat tertentu yang potensial secara ekonomi dengan menegasikan kelompok lain dalam masyarakat. Akibatnya muncul ketimpangan dalam hal informasi. Pada satu sisi, terdapat satu kelompok masyarakat yang kelimpahan informasi, tetapi disisi lain terdapat kelompok masyarakat yang kekurangan informasi. Kedua, kuatnya motif mencari keuntungan telah membuat media menggeser orientasi jurnalismenya dengan lebih menekankan pada liputan-liputan yang lebih menyentuh kebutuhan personal dan keinginan masyarakat. Munculnya infotaiment memberikan contoh mengenai hal ini. Liputan-liputan semacam ini telah mendorong terjadinya depolitisasi dalam masyarakat karena terlalu banyaknya mengkonsumsi liputan-liputan seperti infotaiment dibanding dengan liputan politik yang menentukan masa depan mereka sebagai warga Negara. Ketiga, ketergantungan media terhadap dukungan korporasi dalam bentuk iklan dan kepemilikan institusi-institusi media kepada swasta telah membuat media ini tidak lagi kritis terhadap korporasi dan pemiliknya. Akhirnya, media lebih mengabdi kepada kepentingan korporasi dan pemilik modal dibandingkan dengan mengabdikan kepada kepentingan warga Negara. Akhirnya, liberalisasi yang membentuk kecenderungan media gagal merepresentasikan dirinya sebagai “public sphere” dalam masyarakat. Isu atau wacana media lebih mengarah dan didominasi oleh kepentingan-kepentingan elit dan korporasi.
Oleh karena itu, dalam rangka memperjuangkan arah gerak media sebenarnya dalam upaya membangun kembali demokrasi yang krisis di tengah masyarakat karena ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan para elit dan korporasi ada beberapa hal yang mungkin dilakukan. Pertama, membatasi kepemilikan media dalam satu kelompok masyarakat. Dalam beberapa dekade belakangan, konglomerasi media telah menjadi fenomena yang mencengankan. Masa depan demokrasi benar-benar dalam keadaan krisis. Ketika media ini hanya dimiliki oleh beberapa sebagian kecil orang maka keberagaman sebagai salah satu prinsip penting demokrasi akan lenyap, dan jika itu terjadi, tidak hanya terjadi krisis demokrasi akan tetapi kematian demokrasi pun akan teralami. Kedua, orientasi kebebasan pasar dalam market-driven journalism telah membuat warga Negara dilihat seperti cutomer dibandingkan sebagai warga Negara. Oleh karena itu, bagaimana membuat warga Negara menjadi kritis melihat media tidak lagi menjadi hal dapat ditawar. Asumsinya, ketika masyarakat kritis terhadap isi media bahkan menolak suatu tayangan media yang tidak mendidik dan memenuhi hak-hak mereka sebagai warga Negara maka sesuai dengan hokum pasar media juga akan meninggalkan tayangan-tayangan tersebut. Dengan kata lain, yang terpenting adalah mendorong daya kritis masyarakat dalam menyikapi media sehingga merekalah yang mempungaruhi dan menentukan isi media, bukan sebaliknya.


[1] Dikutip dari Satrio Arismunandar dan J. Anto, Kisah Jurnalis antikolonialisme di Sumatera Timur: Dari Soetan Koemala sampai Pada Harahap, makalah tidak di publikasikan, 1996.
[2] F. A. Hayek, The Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.
[3] Robert A. Dahl, A Preface to Economic Democracy (Cambridge: Polity Press, 1985), hal. 60.
[4] Joseph Schumpeter,’ Capitalism, Socialism and Democracy (1942; reprint, London: Allen and Unwin, 1976), hal. 260.
[5] David Held, Model of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987), hal. 271.
[6] Ibid., hal. 285.
[7] McCargo, Duncan, Media and Democratic Transitions in Southeast Asia, makalah untuk diskusi panel tentang ‘Democracy in the Third World: What Should be Done? ECPR Joint Sessions, Mannheim 26-31 March 1999.
[8] Cook, Timothy E., Governing with the News: the News Media as a Political Institution , (Chicago: Chicago University Press, 1998).
[9] Pharr and Ellis S. Krauss (eds.), Media and politics in Japan (Honolulu: University of Hawai Press, 1996).

[10] Ibid.
[11] Koike, Makato, Globalizing Media and Local Society in Indonesia, makalah dalam workshop 13-14 September 2002 (Leiden, Nederland, dalam IIAS News, 2002).
[12] Bresnahan, Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November 2003.
[13] Habermas, Jürgen, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into aCategory of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1994).

[14] Bresnahan, Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November 2003.
[15] Zaller,  John,  A Theory of Media Politics: How the Interests of Politicians,Journalists, and Citizens Shape the News, paper, October 24, 1999. Versi buku ada pada Inaugural Miller Converse Lecture, University of Michigan, April 14, 1997.
[16] F. A. Hayek, The Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger