Oleh. Rijal A. Mohammadi
Hingar bingar pemilu mulai datang, semua yang
dahulu biasa saja menjadi luar biasa dengannya. Wajah-wajah yang dahulu manis
kini menjadi suram. Tak tahu apa maksudnya, apa semua politik kampus harus
diliputi dengan kesuraman atau mungkin semua tentang permusuhan? Semua tentu
tidak, silaturrahmi dan persahabatan akan terus ada sampai akhir menutup mata
(walau seperti nyanyian). Sebuah pembelajaran yang dibarengi dengan rasa
tanggungjawab yang membahana seharusnya ada pada diri politikus muda kampus
ini. Teringat saat penurunan orde lama oleh segenap mahasiswa yang saat itu
serentak mengatakan tidak pada korupsi, dihianati oleh perkataan-perkataan
halus nan imut seakan meminum ludah mereka sendiri saat mereka merasakan kenyamanan
duduk dan bertengger dikursi perwakilan rakyat.
Harapan umat ketika suatu golongan mahasiswa
bersemangat dalam pemilu kampus adalah dapat mengimplementasikan ilmu-ilmu
murni yang pro orang cilik keIndonesia yang berkemajuan.
Terlihat partai A-Z mengoar-ngoarkan janji-janji palsu yang menjadi
pemuas nafsu semata, seperti slogan penipu rakyat, lebih berpengalaman,
teruskan, perbedaan menjadi satu, dll. Seolah mereka belajar menjadi penipu
ulung yang siap ditembakan ditengah-tengah masyarakat. Bukankah Islam telah
mengajarkan kepada kita menjadi pemimpin dimanapun harus berlandaskan Shidiq,
Amanah, Tablig, dan Fathonah. Tidak memandang dari kalangan
mana atau harus laki-laki atau perempuan.
Serasa menjadi dogma-dogma yang terpendam dalam
otak bawah sadar kita, bahwa perempuan memimpin selalu menggunakan perasaan,
dan laki-laki selalu menggunakan emosi. Kelemahan itu seraya didampingi dengan
munculnya golongan-golongan feminis, yang menunjukan pembelaan terhadap kaum
feminis yang tersisihkan atau mungkin menjadi nomor dua. Melihat realita tak
semudah dengan apa yang kita ucapkan. Sampai kapan kita terlena dengan ucapan
dan lidah palsu pemimpin terdahulu, dan kapan kita mulai belajar dari
pemimpin-pimimpin terdahulu yang gagal akan kepemimpinannya, Soekarno dengan
keotoriterannya begitupun dengan Soeharto, Habibie dengan kelemahannya
sampai-sampai Timor Timur memisahkan dari Indonesia, dsb.
bukan maksud apa-apa, tapi segala
pandangan yang menempatkan posisi perempuan dalam posisi subordinat dari
laki-laki jelas bukan bagian dari pemahaman islam yang tepat, dan cenderung
menyandarkan pemahaman agamanya pada tafsir-tafsir sempit dan tidak peka dengan
fakta-fakta sejarah, sosiologis, dan psikologis . Ya, dalam fatwa-fatwa ulama
klasik perempuan memang tidak ditempatkan di ranah publik dan dilarang menjadi
pemimpin dengan alasan tertentu. tanpa melupakan penghargaan terhadap mereka,
alas an-alasan tersebut cenderung lahir dalam konstruksi budaya patriarki serta
sentimentil terhadap perempuan.
Emosi, maupun biologis jelas
bukan faktor determinan dalam menentukan kualitas suatu kepemimpinan. Al Qur'an
justru menceritakan kisah kemakmuran negeri Saba' karena dipimpin oleh
perempuan, juga dalam tarikh sejarah kita tidak bisa juga melupakan
kepemimpinan Aisyah R.A. dalam perang jamal. an Nisa ayat 34 dan hadis yang
menyatakan bahwa tidak beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh perempuan, bukan
dalil yang mengharamkan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Kaidah fiqih لاَيُنْكَرُ تَغَيُّرُ الاَحْكَامِ بِتَغَيُّرِالاَزْمَانِ وَالاَمْكِنَةِ (tidak bisa
dipungkiri, perubahan hukum bisa terjadi karena perubahan waktu dan tempat)
harus menjadi pegangan. at
Taubah ayat 71 jelas menempatkan tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan di
hadapan Allah. Yusuf Qardhawi (Ketua
Persatuan Ulama Internasional) menyatakan bahwa perempuan boleh menjadi
pemimpin dalam semua hal termasuk memegang kendali kekuasaan menurut
spesialisasi masing-masing, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad,
pendidikan, kehakiman dan sebagainya. Sedangkan menurut Hamka (ulama
kharismatis Muhammadiyah) dalam tafsir al Azhar menyebutkan antara laki-laki
dan perempuan tidak dibedakan dalam hal berbuat kebajikan. Keduanya bersatu
dalam satu keyakinan, yaitu percaya kepada Allah SWT.
Dapat dipahami bahwa perempuan
mempunyai kesempatan yang sama dalam menegakkan Agama dan membangun masyarakat
beriman. Deklarasi OKI (Organisasi Kerjasama Islam) pada deklarasi Kairo tahun
1991 tegas menyatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki mempunyai kedudukan
sama dalam ruang publik, pembedaannya hanya ada pada fungsi keibuan. Putusan
majelis tarjih Muhammadiyah ke 17 di Padang tahun 2002 pun, juga memutuskan hal
serupa. Perempuan berhak berkiprah dalam ranah politik termasuk menjadi
presiden. kita harus menghargai semua pendapat, tapi akan lebih
baik jika pendapat tersebut dikuatkan dengan argumen-argumen teologis,
filosifis, teoritis, pengalaman, maupun kepekaan akan sejarah dan fakta
psikologis. Jika tidak, terlebih menyangkut persoalan agama terlebih yang
sensitif seperti isu perempuan, maka akan sangat kontraproduktif pada Islam itu
sendiri. Penafsiran tekstual tidak salah, bahkan sangat baik untuk menjaga
kemurnian Islam. Tetapi jika dipahami tekstual secara sempit, bukan malah tidak
mungkin mendegradasi peran Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Sejarah nabi adalah revolusi melawan sistem sosial
yang timpang, pemposisian perempuan dalam posisi subordinat hanya akan
melanggengkan sejarah ketimpangan tersebut. HIDUP PEREMPUAN!!!
Diterbitkan
Pada Sabtu, 02 Juli 2012