Oleh. Rijal M. Mohammadi
Terimakasih sebelumnya penulis ucapkan kepada para pembaca
yang setia selalu dalam menunggu tulisan saya yang agak profokatif. Kali ini saya akan membicarakan tentang
Negara Islam. Kita ketahui bersama bahwa dalam konteks Negara Islam sudah
banyak Negara-negara yang mengatas namakan dirinya sebagai Negara Islam,
seperti Iran, Malaysia, dll. Kemudian apa dasar utama untuk diatas namakan
suatu Negara sebagai Negara Islam? Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang
apa itu Negara Islam, sebaiknya kita pahami Negara itu sendiri.
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup
sendiri. Selain itu, manusia juga merupakan mahluk politik yang mempunyai
naluri untuk berkuasa. Oleh karena itu keberadaan sebuah negara sangat
diperlukan sebagai tempat berlindung bagi individu, kelompok, dan masyarakat
yang lemah dari tindakan individu, kelompok, atau masyarakat maupun penguasa
yang kuat (otoriter) karena manusia dengan manusia yang lainnya memiliki sifat
seperti serigala (homo homini lupus).
Kata negara sendiri berasal dari bahasa Inggris (STATE), Bahasa belanda (STAAT),
Bahasa Perancis(ETAT) yang
sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin (STATUS atau STATUM) yang
berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat
yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa diartikan
sebagai kedudukan persekutuan hidup manusia.
Jika kita uraikan kedalam pemahaman penulis, sudah dapat
ditebak bahwa sebenarnya tujuan dari terbentuknya Negara karena untuk
melindungi setiap individu yang lemah diatas golongan-golongan yang
mewakilinya. Sebagaimana pemikiran politik John Lock: Manusia memiliki hak
hidup, hak bebas dan hak milik. Kemudian muncul pertanyaan, seperti apakah
Negara Islam itu? Ada beberapa konsepsi Negara-negara Islam yang ditaawarkan
oleh H. Munawir Sjadzali sebagai
berikut.
Pendapat pertama menyatakan
bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi
segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara.
Golongan ini menyatakan bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru
system ketatanegaraan barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali kepada system
ketatanegaraan Islam. Lebih kongkret lagi system ketatanegaraan yang dijadikan
sebagai acuan adalah system Negara yang dilaksanakan oleh nabi Muhammadi SAW
dan empat Khulafa Al Rasyidin dimasa awal perkembangan Islam.
Pendapat kedua menyatakan
bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan
masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi Muhammad SAW, hanyalah
seorang Rasul biasa seperti Rasul-Rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk
mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik. Nabi
Muhammad SAW, menurut pendapat golongan ini, tidak pernah bertugas dan atau
bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak sependapat dengan
pendapat satu dan dua. Namun, aliran ini menyatakan yang diperlukan dalam
Negara untuk berIslam hanya bersifat substantive saja, dengan mengarah kepada
nilai-nilai Islam dalam Negara tersebut. Menurut mereka Islam merupakan ajaran
totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu menurut
mereka, kendatipun dalam Islam tidak terdapat system ketatanegaraan dalam
artian teori lengkap, namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi
kehidupan bernegara[1].
Dalam sejarah kita meyakini bersama bahwa bernegara yang
dilakukan nabi Muhammad SAW saat hidup di madinah, menggunakan Negara dalam
konsep Negara menurut Aristoteles, istilah Polis untuk untuk negara kota (city state) yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara dengan
pemerintahan dan benteng untuk menjaga keamanan dan serangan musuh[2]. Semasa Rasul hidup, beliau tidak pernah
meninggalkan sedikitpun tentang konsep Negara Islam itu. Hanya saja saat itu
kadaulatan dibawah tangan rakyat dengan keputusan Rasul. Sebelum lebih jauh
mengenal tentang Negara Islam tersebut, ada baiknya kita mengetahui bersama
macam-macam kedaulatan pada suatu Negara.
Kemudian dalam system kenegaraan, erat kaitannya dengan kedaulatan.
Kedaulatan inilah yang menentukan system suatu Negara dikatakan demokrasi,
monarki, dsb. Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata
seperti sovereignty, souverainete, sovereigniteit, souvereyn, sperenus, dan lain-lain yang diambil dari bahasa Inggris,
Perancis, Jerman, Belanda dan Italia. Semua istilah-istilah itu merujuk kepada
pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu Negara. Menurut Thomas Hobbes kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak tidak dapat dibantahkan dan tidak
dapat dibagi dan tidak terbatas[3],
walaupun banyak pakar yang kemudian tidak setuju dengan teori Hobbes ini.
Kata kedaulatan sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata dala, yadulu, daulatan atau
dalam bentuk jamak duwal uang makna awalnya berarti berganti-ganti atau
perubahan. Mahmud Yunus selain memberikan makna dasar dari kata duwal ini,
seperti berganti atau perubahan juga member arti kerajaan, Negara atau kuasa[4]. Ada bermacam-macam bentuk kedaulatan
dalam suatu Negara diantaranya kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan
tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan raja, dll.
Melihat dari uraian diatas jika beberapa kelompok
fundamentalis Islam yang menginginkan terbentuknya Negara Islam, maka sudah
dapat dilihat posisi kedaulatan berada antara kedaulatan tuhan dan kedalautan
rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kedaulatan tuhan yaitu kekuasaan
tertinggi dimiliki oleh tuhan dan atau ada pada tuhan[5].
Dalam kedaulatan rakyat kekuasaan tertinggi dimiliki oleh rakyat. Teori ini
dikembangkan oleh John Locke dan Jean Rousseau. Menurut John
Locke kehendak rakyat dalam
bentuk kehendak umum menjadi dasar kekuasaan negara[6].
Karena jika kita gabungkan dengan sejarah pemerintahan Islam pada masa Rasul
dan Khalifah Ar Rasyidin, sudah terlihat bahwa pada masa itu pemerintahan
dilakukan atas dasar perintahan ketuhanan dan pengimplementasiannya berdasarkan
persetujuan rakyat madinah saat itu.
Sudahlah kita lupakan sejenak berbagai hal diatas, mari kita
mengingat pada fase kehidupan Rasulallah dan empat sahabat yang menjadi
Khalifahurrasyidin. Pemililihan pemimpin dalam Negara saat fase Rasul dilakukan
dengan cara mufakat, karena saat itu Rasul lah yang menjadi pemimpin agama dan
Negara kota. Perjalanan kepemimpinan Rasul dilakukan dengan penuh rasa adil
ditengah masyarakat karena Rasul sangat menjunjung tinggi aspirasi rakyat saat
itu. Sebagai contoh saat hendak berperang dalam berstrategi Rasulullah
berinisiatif memposisikan pasukan perang Islam di depan mata air, akan tetapi
saat itu salah seorang sahabat tidak cukup terkenal saat itu tidak setuju
dengan konsep beliau dan kemudian mengajukan usul agar pasukan perang Islam
berada dibelakang sumber mata air, supaya ketika pasukan lawan bisa memukul
telak pasukan perang Islam maka pasukan perang Islam pun saat mundur langkah
masih dapat memanfaat sumber mata air tersebut. Saat itu Rasulullah pun
menyetujui usul dari seorang sahabat itu. Saat terakhir masa kepemimpinan Rasul
dalam Islam dan teruskan oleh empat khalifah menunjukan tidak ada anjuran
mutlak untuk membentuk Negara Islam, hal ini dapat ditunjukan dengan
pengangkatan pemimpin Islam pasca Rasul seperti Abu Bakar sampai Ali bin Abi
Thalib.
Ada seorang pemikir Islam yaitu Fazlurrahman, seorang ulama
yang berasal dari Pakistan dan menghabiskan hidupnya diluar negaranya. Dalam
mendefinisikan Negara Islam Fazlur Rahman sendiri membagi menjadi dua penjelasan sehubungan dengan Negara Islam. Pertama,
pendapat antara apakah ada atau tidak Negara Islam. Maksudnya apakah Islam
mengajarkan masalah kenegaraan atau tidak. Dalam hal ini telah terpecah kepada
tiga pendapat seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu ada yang
berpendapat tegas ada, ada yang berpendapat tidak ada dan ada yang berpendapat
tidak diajarkan secara tuntas dan totalitas seperti memberi beberapa nilai dan
etika bernegara. Kedua, yang berpendapat adanya Negara Islam, baik itu yang
berpendapat Islam sebagai agama dan Negara, muapun Negara Islam itu harus ada
walaupun bukan merupakan sebuah perintah dalam Islam, akan tetapi lebih
merupakan keharusan demi menjaga dalam pengembangan dan pelestarian agama.
Ian Adam dalam bukunya “Political Ideology Today” menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW (670-732) adalah
pendiri Negara Islam pertama. Ia terjun langsung mempin ekspansi wilayahnya.
Muhammad adalah pemimpin agama, panglima militer, sekaligus pemimpin politik.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ini sangat berbeda dengan gaya
kepemimpinan pendiri agama Kristen. Yesus bukanlah seorang pemimpin politik,
apalagi seorang pemimpin militer. Yesus tidak pernah member petunjuk tentang
masalahh-masalah politik selain perintah untuk “menyerahkan pada kaisar urusan kaisar dan menyerahkan
pada tuhan urusan tuhan”. Perintah
ini menyiratkan pemisahan secara tegas antara Negara dan agama.
Tetapi kemudian jika kita tarik kejaman sekarang ini, banyak
sekali kelompok-kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai kelompok Islam
yang tak luput dari rasa kepentingan dalam berkehidupan. Kedaulatan rakyat yang
diuraikan diatas jika mampu gabungkan dengan kedaulatan ketuhanan maka akan
terbentuknya dinasti-dinasti dalam dunia Islam. Sebab apa? Melihat dari kondisi
kekinian didunia Islam, telah terbagi banyak kelompok Islam yang memiliki dasar
ideology berbeda. Seperti dalam contoh makro kita sebut kelompok Islam Sunni
dan Syiah. Dari contoh itu kita dapat melihat bersama banyak sekali kontrofersi
tentang konflik keduanya, belum lagi kasus kongkrit dalam masalah kedua
kelompok itu terdapat di Negara Syuriah. Pembantaian yang dilakukan Syi’ah
terhadao Sunni menunjukan “struggle of power”. Tidak bisa penulis bayangkan jika nanti dunia Islam di satukan dan
terbentuknya system khalifah, maka akankah terjadi konflik pertumpahan darah
antar kelompok Islam.
Tetapi Syafii Ma’arif dalam bukunya “Islam dan
masalah kenegaraan” bahwa
al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut Negara Islam. Hal yang sama juga
dikemukakan oleh Nurkholis Majid. Dengan menurunkan sejumlah tulisan (A. Syafii
Ma’arif, Amien Rais, Mr. Mohd. Room dan surat-suratnya sendiri kepada Mr. Mohd.
Room) dia telah berkesimpulan bahwa tidak ada Negara Islam. Memang kita
ketahui bersama bahwa tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak kasus yang
kontroversi dalam masalah yang terkait dengan dunia Islam khususnya di Indonesia.
Dalam pandangan kelompok –kelompok fundamentalisme, Nabi
Muhammad SAW dan para khalifah dipandang berhasil memposisikan hubungan antara
agama dan politik dalam keseimbangan yang sempurna. Prestasi yang luar biasa.
Kemudian jika kita melihat Islam pasca Khalifa sangat berbanding terbalik. Hal
itu ditunjukan dengan perbedaan system yang diberlakukan pada masa itu. Pada
masa bani Umayah dan bani Abasyiah cenderung bersikap monarki dan otoriter
dalam memerintah Islam saat itu. Maka dari itu dari banyak tokoh intelektual
muslim menakutkan terjadinya kembali kemonarkian dalam hidup berIslam, walau
dalam hal ini perlu kita koreksi bersama bahwa keterputusan sejarah yang
membuat kita enggan dalam melakukan segala hal.
Jika kita pahami bersama bahwa suatu Negara yang menganut
system yang monarki dan kecenderungan otoriter. Maka akan mengalami banyak
pemberoktan dalam Negara tersebut. Seperti yang Indonesia alami tahun 1959-1966
dalam system demokrasi terpimpin dalam keputusan presiden dengan ketetapan
presiden seumur hidup oleh Soekarno. Soekarno yang cenderung saat itu lebih
otoriter, menerima banyak pemberontakan seperti tragedy pemboman hotel Cikini
yang dilakukan oleh 10 orang.
Dewasa ini diIndonesia sendiri banyak yang mengatas namakan
kelompok-kelompok dengan nama lascar jihad sebagai sayap gerakan, dari Forum
Komunikasi Ahlus Sunnah Wal- Jama’ah (FKAW), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI) dan majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dua nama terakhir adalah organisasi gerakan Islam
aktif yang sangat konsisten memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam system
pemerintahan Indonesia. Walaupun terdapat kesamaan ide diantara mereka, tetapi
pelaksanaannya dilapangan dilakukan dengan metode atau strategi yang
berbeda-beda. Terjadinya perbedaan strategi itu, mungkin dipengaruhi oleh
perbedaan kerakter dari masing-masing gerakan Islam tersebut.
Secara historis, ide tentang perkawinan antara agama dan
Negara dengan tujuan terbentuknya sebuah Negara Indonesia yang berjalan di atas
dasar syari’at Islam bukanlah suatu isu baru dalam sejarah politik Indonesia
pasca kemerdekaan. Misalnya beberapa bulan sebelum kemerdekaan Indonesia
diproklamirkan, khususnya dalam pertemuan-pertemuan Badan Penyelidik Usaha
Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI), itu tersebut tekah mulai bergulir.
Kemudian sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1959
diidentifikasi beberapa strategi dan model perjuangan dilakukan oleh elemen
politik Islam pada periode tersebut antara lain: Pertama, mendirikan partai
politik sebagai basis gerakan politik didalam parlemen (gerakan politik
intra-parlementer), seperti misalnya dengan berdirinya partai Masyumi. Kedua, mendirikan organisasi-organisasi massa
sebagai alat perjuangan politik diluar parlemen (gerakan politik
ekstra-parlementer), misalnya dengan berdirinya PERSIS pimpinan A. Hassan.
Ketiga, melakukan perlawanan bersenjata (pemberoktakan) di daerah-daerah yang
melibatkan unsur DI/TII dan unsur-unsur sejenis pada berbagai daerah[7].
Dalam realitanya Indonesia merupakan Negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam tidak bisa berbuat apa-apa tentang kesekuleran hukum
Indonesia, yang kemudian hanya mampu sebagai hiasan dalam rumah sendiri. Tetapi
jika dicermati bersama hukum yang terdapat di Indonesia lebih bersifat sekuler
dengan nilai Islam didalamnya. Jadi setujukah jika saya katakan bahwa Indonesia
dalam kajian Negara Islam menurut H. Munawir Sjadzali masuk dalam karakter ketiga dalam pemaparannya diatas.
Diterbitkan Pada Kamis, 19 April 2012
[1] H. Munawir
Sjadzari, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:
UI-Press,1990), hal 1-2.
[3] Thomas
Hobbes, Leviathan, diedit oleh Richard Turk (Vivtoria, Australia: Cambridge
University Press, 1992), hal. 127.
[4] H. Mahmud
Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1989), hal. 132.
[6] J. Locke, Two
Treatises of Government, (New York: Hafner Press A. Division of Macmillan
Publishing Co., Inc, 1947)
[7] Dapat
dikatakan bahwa strategi politik Islam yang ketiga ini lebih bersifat konflik
vertical antara pemimpin Islam di daerah dengan pemimpin Indonesia di Jakarta.
Pemberontakan-pemberontakan tersebut tidak muncul sebagai bentuk kesadaran
teologis-politis pemimpin dan pendukungnya, melainkan sebagai bentuk kekecewaan
para pemimpin militer di daerah atas kebijakan pemerintah pusat dalam melakukan
restrukturisasi di tubuh militer/TNI.
1 komentar:
negara, bagaimanapun, bukanlah hal yang sentral dalam islam, prisnip utama islam adalah manusia sebagai pelaksana amanah tuhan, salah satunya hukum2nya yg ada di al-qur'an, di sinilah negara dibutuhkan sebagai 'alat pelaksana' tugas kekhalifahan manusia...
asal NKRI mau mengakomodir hal ini maka tidak ada masalah...
namun syangnya, hanya karena 'rengekan' sekelompok orang yg mengatasnamakan 'rakyat dari Timur' lewat lidah seorang opsir Jepang, tujuh kata yg merupakan aspirasi umat islam dihapus begitu saja... memang sudah diizinkan oleh pak Kasman dan Ki Bagus Hadikusumo tapi dgn janji bhwa akan ada tinjauan kembali, tapi hingga kini janji bung karno itu tidak dipenuhi... saya kira, bukanlah hal berlebihan untuk sekedar menagih janji..
Posting Komentar