Pendahuluan
Dalam
perkembangan sejarah perkembangan perekonomian dunia baik pada teori maupun
praktiknya tidak ada hentinya mengalami pergolakan. Menurut berbagai litelatur
dan dalam diskusi-diskusi saat ini tentang ekonomi dunia, para pegiat ekonomi kerap kali
menyebut era saat ini sebagai era globalisasi, pembangunanisme,
neo-liberalisme, dan lain sebagainya. Proses menuju tahapan sekarang ini
tidaklah cepat atau instan. Menurut hukum umum perkembangan masyarakat
diketahui bahwa diawal kehidupan manusia atau yang disebut zaman
primitif. Dikatakan
sebagai fase komune primitif karena pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan dan
dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune dengan alat produksi yang
sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang sebagai alat kerja dan alam
tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Fase komune primitif lahir dari perkembangan alat
produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan batu dan tulang sebagai alat
produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk berburu dan meramu makanan (food
gathering) dan hanya dapat dikerjakan secara kolektif. Hal ini melahirkan
cara pandang masyarakat komune yang sangat bergantung terhadap alam, bagaimana
alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi suatu komune. Itu sebabnya, ketika
alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup suatu komune, maka komune
tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain yang masih cukup memenuhi
kebutuhan hidup komune tersebut.
Dalam zaman kapitalisme yang terus
berkembang hingga saat ini yang sudah mencapai puncak tertingginya
(imperialisme) ternyata tidak juga menunjukan sebuah kemajuan tingkat
kesejahteraan masyarakat dunia. Dunia dibawah belenggu kapitalisme ternyata
tidak menjawab permasalahan yang dialami pada fase-fase sebelumnya yaitu adanya
ketimpangan dan sistem yang menindas kelas lain. Kekuatan kapitalisme yang
berada ditangan para pemodal atau koorporasi besar justru semakin banyak menimbulkan
masalah kemanusiaan. Kontradiksi antara borjuasi dan proletariat semakin
memanas bahkan dalam konteks hubungan kenegaraan juga mengalami kontradiksi.
Negara-negara maju dibawah pimpinan Amerika Serikat merupakan negara kapitalis
yang senantiasa melakukan ekspansi bahkan sampai melakukan invasi terhadap
negara-negara yang sedang berkembang demi memuaskan hasrat mereka untuk dapat
mengeksploitasi segala macam sumber daya dan menjadikan pasar yang cukup baik,
serta bertujuan akhir mengakumulasikan modal mereka.
Pada masa sekarang dimana
kapitalisme tumbuh subur didalam maupun diluar negara kapitalis dan seiring
dengan semakin beradaptasinya paham ini dari keadaan kontemporer dan arus deras
kritik yang menghujatnya maka kapitalisme membuat aturan main melalui
lembaga-lembaga resmi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank yang tentu
saja bertujuan untuk memperpanjang masa waktu pengusaan atas dunia oleh sistem
kapitalisme.
Fenomena
WTO adalah verifikasi empiris terhadap gagasan–gagasan ekonomi liberal.
Verifikasi ini akan membawa konsekuensi pada konteks liberalism sebagai
pandangan filsafat yang dimanifestasikan dalam berbagai upaya yang bertajuk
“liberalism perdagangan”. Liberalisme merupakan sebuah ideology, pandangan
filsafat, dan tradisi politik yang berpegang pada kebebasan sebagai nilai
politik yang primer.[1] Liberalism memiliki akar
pada era Pencerahan Barat, namun sekarang sudah melingkupi berbagai pandangan
politik yang beragam. Secara umum, liberalism kontemporer bertujuan membela
hak-hak individu.
Pandangan
ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang karakternya memiliki kebebasan
berpikir bagi individual dan pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap
pemerintah dan agama. Selain itu, ada rule of law, pendidikan bebas untuk
masyarakat, dan kebebasan dalam melakukan pertukaran pemikiran, kebebasan bagi
korporasi swasta dalam konteks ekonomi pasar, transparansi pemerintah dan
perlindungan atas seluruh hak warga begara. Dalam masyarakat modern, liberal
dalam konteks demokrasi liberal terkait dengan keterbukaan dan kejujuran dalam
pemilihan umum, dimana seluruh warga Negara memiliki hak yang sama di mata
hukum dan kesetaraan dalam kehidupan yang layak.
Kaum
Neo-Marxist percaya bahwa globalisasi ekonomi telah mengonstruksi wajah
struktur ekonomi dunia menjadi dua kutub yang saling berbenturan . Pada kutub
pertama, terdapat sekelompok minoritas manusia yang menguasai mayoritas
faktor-faktor produksi dan akses yang luas atas distribusi dan konsumsi dunia .
Kelompok ini seringkali dia sosiasikan pada kelompok negara maju, para pelaku
pasar serta aktor -aktor ekonomi transnasional yang mencoba menerap kan
agenda-agenda neoliberalisme melalui sistem ekonomi global. Di kutub yang lain,
terdapat kelompok mayoritas yang terabaikan dan termarginalisasi secara si
stemik dan struktural oleh proses globalisasi ekonomi. Kelompok ini terdiri
atas sebagian besar negara berkembang, aktivis lingkungan hidup dan feminisme ,
serta gerakan-gerakan akar rumput yang tersebar di seluruh dunia.
Tulisan ini merujuk kepada perspektif
Johan Galtung dalam ‘Depedency Theory’ untuk memahami rezim perdagangan bebas
yang dilakukan World Trade Organization yang selanjutnya disebut WTO
berimplikasi kepada Negara berkembang sehingga sikap interdepedensi ada pada
tubuh Negara berkembang dalam dewasa ini terhadap Negara Industry Maju
selanjutnya disebut NIM. Penulis percaya bahwa sifat interdepedensi yang
terdapat antara Negara berkembang dan NIM ada hubungan yang menurut Johan Galtung
disebut hubungan Imprealistik. Sehingga konsep tersebut memberikan tekanan
halus yang tidak terasa oleh Negara berkembang yang nantinya berefek negative.
Disamping itu, surat persetujuan atau janji yang ditawarkan pada setiap anggota
WTO membrikan tekanan terhadap Negara berkembang sebagai aktor figuran dalam
sandiwara tipu mushlihat yang dilakukan oleh NIM.
Dalam mengelaborasikan argument
diatas, secara sistematis tulisan ini di bagi menjadi tiga bagian pembahasan,
agar keterkaitan antara poin perpoin dapat tersambung dengan singkron. Bagian
pertama, mengulas latar belakang dan sebab-sebab kemunculan WTO (WTO
Sebagai Alat Kekuasaan Baru dan Struktur WTO). Konsep Galtung digunakan
sebagai pisau analisis WTO dipaparkan pada bagian kedua. Secara lebih
mendetail, bagian ini mengulas mengenai konsep interdepedensi kedua kubu,
terciptanya hegemoni baru terkait hubungan imprealistik, dan terakhir adalah fenomena
Asimetris-Dyadic-Vertical.
Kemunculan World Trade Organization
WTO (World Trade Organisation) atau Organisasi
Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur
masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO
diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan
internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh
negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar
negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan
kebijakan perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari
1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu.
Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
- Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan
untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan
mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan
internasional tertinggi.
Pada awalnya
GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO),
suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan
bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference
on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses
ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar.
Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun
sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO secara
efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan
instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah
abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan
beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati
oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif. masalah-masalah
perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang
dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya
untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru
Dalam perkembangannya, dunia menunjukan
adanya situasi baru dimana telah lahirnya WTO (World Trade Organization)
dan mulai aktif pada 1 Januari 1995. World Trade
Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya
badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem
perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi
aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang
telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut
merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk
mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995
tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak
tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) -
Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan
untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat
peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan
perdagangan internasional tertinggi.
WTO telah
mengatur banyak hal di luar perdagangan. Dengan hadirnya WTO di kancah
perekonomian dunia bersandingan dengan World Bank dan IMF kini menjadi kekuatan
baru atau senjata baru dari kapitalisme. Lengkaplah sudah kekuatan kapitalisme
global dengan kehadiran WTO. Kapitalisme sudah tak tertahankan lagi, kini
menjadi sebuah sistem global, yang dikenal dengan globalisasi. Globalisasi
adalah kapitalisme global yang memaksakan berbagai agenda pasar bebas demi
kepentingan akumulasi modal. Dalam konsepnya WTO bercita-cita untuk dapat
mengatur berjalannya arus perdagangan dunia dengan baik agar tidak terjadi
krisis yang disebabkan oleh perlombaan perdagangan yang tidak sehat.
”Problem kita dengan perdagangan bebas adalah ketimpangan
yang terjadi ketika bisnis diproteksi sementara buruh dan lingkungan
diabaikan,” kata Jeff Faux, Presiden Economic Policy Institute, sebuah kelompok
pemikir independen yang berkantor di Washington. Ia menambahkan bahwa keuntungan
yang didapat dari perdagangan bebas selama beberapa dekade terakhir tidak
pernah bisa menutup kerugian yang disebabkan oleh banyaknya orang yang
kehilangan pekerjaan dan rusaknya lingkungan. Isu-isu lingkungan dan
ketenagakerjaan ini pulalah yang menyebabkan 30.000 aktivis, mewakili 500
organisasi dari seluruh belahan bumi, menggelar unjuk rasa di jalan-jalan di
Seattle, Washington, ketika WTO mengadakan pertemuannya di sana pada akhir
November 1999. Inilah gelombang protes terbesar yang pernah dialamatkan ke WTO.
Para demonstran mendesak organisasi itu untuk melindungi hak-hak warga dan
lingkungan sebagaimana ia melindungi kepentingan perusahaan.
Tentu saja, di sisi lain, WTO juga memiliki pendukung
yang mempertahankan keberadaannya. Ada banyak negara, menurut petinggi WTO,
yang berhasil meningkatkan standar hidupnya melalui perdagangan bebas. Korea
Selatan adalah salah satu negara yang di jadikan contoh betapa perdagangan
bebas telah meningkatkan standar hidup di negeri tersebut hingga mendekati
standar hidup negara-negara maju. Berkat perdagangan bebas, Korea Selatan
beralih dari negara pertanian ke negara industri, yang memproduksi mobil,
televisi, dan beberapa produk canggih lainnya. ”...sejumlah masalah lingkungan
yang serius di negara-negara miskin, seperti pembakaran hutan dan kurang
bersihnya air minum, tidak disebabkan oleh perdagangan tetapi oleh kemiskinan,”
kata David Vogel, Profesor Etika Bisnis dan Ilmu Politik Universitas
California, Berkeley, yang menjadi pembela perdagangan bebas. ”negara-negara
miskin tidak bisa menyediakan sistem airbersih, dan warga mereka mungkin
menebang hutan untuk dijadikan kayu bakar dan untuk membuka ladang.”
Struktur
WTO
Dalam situs resminya
(www.wto.org) WTO menyatakan diri sebagai organisasi yang dikendalikan oleh
anggota (a member driven) atau organisasi yang berbasis consensus
(consensus-based organization). Setiap keputusan besar diambil oleh seluruh
anggotanya, baik melalui menteri-menteri yang bertemu setidaknya sekali dalam dua
tahun atau oleh duta besar atau delegasi yang secara regular bertemu di Jenewa.
Umumnya, keputusan diambil dengan
cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan
organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter
Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi
atau badan pimpinan. Peraturan-peraturan dalam WTO, termasuk kemungkinan untuk
menjatuhkan sangsi, di tetapkan secara bersama oleh seluruh Negara anggotanya.
Seluruh sanksi yang diambil WTO
dilaksanakan oleh dan atas dasar kewenangan dari Negara anggota. Hal inilah
yang membedakan dengan lembaga-lembaga internasional lainnya, di mana struktur
memiliki kewenangan untuk memengaruhi kebijakan suatu Negara tanpa
mempertimbangkan pandangan dari Negara tersebut.
Untuk mencapai kesepakatan di
antara 149 negara anggota bisa jadi sangat sulit. Meski begitu, cara itu di
pandang dapat lebih memberikan manfaat karena setiap keputusan yang diambil
akan lebih mudah diterima oleh semua Negara anggota karena telah melalui
penggodogan bersama. WTO mengaku, meski harus ditempuh dengan cara sulit,
beberapa kesepakatan penting telah diraih. Consensus adalah tradisi GATT yang
dilanjutkan oleh WTO. Seperti dikemukakan di atas, hal ini dilakukan untuk
menjamin seluruh anggota terakomodasi dalam setiap keputusan WTO.
Konsep Johan Galtung dalam Teori
dependensi
Pada bagian ini, penulis mengulas teori depedensi
yang didasari oleh pemikiran Johan Galtung yakni, Ketergantungan terhadap
negara-negara kapitalis cenderung melahirkan bentuk imperialisme baru.
Gampangnya penulis hendak memaparkan kaitan antara rezim yang telah di bawa WTO
dengan ketergantungan Negara berkembang dalam keterlibatan sebagai anggota.
Karena dampak dari ketergantungan tersebut menimbulkan terjadinya kemiskinan
structural, timbul
kolonialisme pada level domestic, munculnya gap dalam pembangunan domestic, konflik
internal, kolaborasi
kekuatan asing dan Negara, dan munculnya negara komprador
Hegemoni Melalui Hubungan Imprealistik
Hegemoni merupakan titik awal konsep
yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan
dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang
Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah binatang
dan setengah hewan, sebagai symbol dari ‘perspektif ganda’ suatu tindakan
politik – kekuatan dan consensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan
kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
melaikan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi consensus. Dalam beberapa paragraf
dari karyanya Prison Notebook, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan,
pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan
deminazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus
dibedakan dari makna asalnya dalam Bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa
terhadap bangsa lain.
Kemudian penulis dalam hal ini
mengaitkan implikasi hubungan imprealistik menurut konsep Galtung hubungannya
dengan rezim WTO yang kemudian mengakibatkan ketimpangan terhadap Negara
berkembang. Terdapat
keselerasan kepentingan antara center (elite) di negara Center dengan center di
negara Periphery. Hal ini dapat dibuktikan pada bagian struktur WTO di atas
bahwa keterkaitan Negara pusat yang menjadi anggota inti WTO seperti Amerika
Serikat sangat mempengaruhi kebijakan Negara periphery yang yang diwakili oleh
delegasi atau perwakilan dari Negara periphery. Karena keputusan
diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative
berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan
Dana Moneter Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada
Dewan Direksi atau badan pimpinan. Kemudian terdapat lebih banyak disharmoni atau konflik
kepentingan antara center dan perypheri di negara Periphery dari pada di negara
Center. Hal ini ditunjukan banyak sekali protes dalam bentuk demonstrasi, salah
satu contohnya di Korea Selatan seorang demonstran bunuh diri akibat konflik
yang di timbulkan oleh Negara berkembang atau periphery. Karena center di
Negara periphery tidak memandang kepentingan para periphery di Negaranya
seperti para kativis daln lain sebagainya, disebabkan kontrak kesepakatan hasil
consensus harus dilakukan demi terlaksananya kesepakatan antar anggota WTO.
Terakhir yakni terdapat disharmoni atau konflik kepentingan antara periphery di
negara Center dengan periphery di negara Periphery. Fenomena seperti ini
ditimbulkan karena permainan para elit Negara yang bermain pada consensus yang
dilakukan di WTO, sehingga kedua periphery di dua Negara menjadi tidak paham
akan arti hasil kesepakatan yang diimplementasikan pada kedua Negara karena
hasil consensus ini tidak memandang pandangan kepentingan Negara terkait
sehingga hasil consensus pun bisa saja banyak merugikan Negara-negara yang
minor kekuatan. Yang kemudian muncullah ketimpangan dalam bentuk efeknya.
Fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical
Pada
bagian ini penulis hendak memaparkan logika
persaingan dan kompetisi yang ada didalam tubuh WTO meliputi Asimetris, Dyadic,
dan Vertical sebenarnya hanya akan menguntungkan lagi-lagi kepada
negara kapitalis. Kompetisi sehat yang digadang-gadang oleh para kapitalis
hanyalah ilusi karena negara berkembang tidak akan mampu melakukan persaingan
dengan negara maju, karena negara berkembang hanya dijadikan objek dari
agenda-agenda besar dunia.
Bentuk nyata dari kebusukan WTO
adalah dengan meliberalkan sektor-sektor negara dan pada akhirnya melakukan
privatisasi sektor negara. Hal ini dilakukan agar para negara kapitalis dapat
melakukan intervensi lebih mudah dan dapat menanamkan modal untuk mendapat
keuntungan. Contohnya adalah ketika Indonesia sepakat atas perjanjian dengan
WTO dan mulai dari 1995 hingga saat ini kebijakan ekonomi yang dikeluarkan
terus menerus berpihak pada asing. Segala macam sektor seperti kesehatan dan
pendidikan juga menjadi korban sehingga perlahan kedua sektor tersebut menjadi
swasta.
Kesimpulan
Menggunakan kerangka berpikir Galtung, penulis
menjelaskan fenomena rezim WTO terhadap ketimpangan Negara berkembang. Galtung
mendefinisikan keterkaitan Negara berkembang dalam kerjasama bidang perdagangan
WTO hanya menciptakan ketimpangan yang semakin jelas antara si kaya dan si
miskin atau sering kita sebut Center dan Peripheri. Hal ini di buktikan dengan
saling ketergantungan kedua Negara tersebut dalam berinteraksi, sehingga banyak
sekali konflik-konflik yang ditimbulkan dalam dua Negara tersebut.
Daftar
Pustaka:
Jurnal:
·
Winner Agung Pribadi, “Sumbangan
Perspektif Gramscian dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ”, Global
& Strategis, Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008,.
·
Dewi Andita Sari, MAKALAH POLITIK INTERNASIONAL: Analisa Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO
Terhadap, “Terciptanya Ketimpangan
Ekonomi Global Studi Kasus:
Perbandingan Perekonomian India dengan Amerika Serikat”, Thn 2012
Buku:
·
J
Juliantono, Ferry., 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta
Selatan. Banana.
·
Simon, Roger., 2004. Gagasan-gagasan Politik
Gramsci. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·
Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya
Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : INSIST PRESS.
·
Setiawan, Bonnie. 2000. Stop
WTO Dari Seattle Sampai Bangkok. Yogyakarta : Kreasi Wacana
·
Smick, M David. 2009. Kiamat
Ekonomi Global. Jakarta : Daras
·
Ritzer, George dan Goodman.
2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis. Yogyakarta
: Kreasi Wacana
Webside:
·
http://www.wto.org [diakses 18 Maret 2013 M pukul 23.12 WIB]
[1] “Liberalisme”
dipahami sebagai suatu etika sosial yang mengadvokasi kebebasan dan kesetaraan
secara umum. C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary
Political Philosophy, editors Goodin, Robert E, and Pettit, Philip. Blackwell
Publishing, 1995, halaman 440.: diambil dari J Juliantono, Ferry. 2007. Pertanian
Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.
0 komentar:
Posting Komentar