Minggu, 31 Maret 2013

Sumbangan Perspektif Johan Galtung dalam: Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO terhadap Ketimpangan Ekonomi Negara Berkembang


Pendahuluan
Dalam perkembangan sejarah perkembangan perekonomian dunia baik pada teori maupun praktiknya tidak ada hentinya mengalami pergolakan. Menurut berbagai litelatur dan dalam diskusi-diskusi saat ini tentang ekonomi dunia, para pegiat ekonomi kerap kali menyebut era saat ini sebagai era globalisasi, pembangunanisme, neo-liberalisme, dan lain sebagainya. Proses menuju tahapan sekarang ini tidaklah cepat atau instan. Menurut hukum umum perkembangan masyarakat diketahui bahwa diawal kehidupan manusia atau yang disebut zaman primitif. Dikatakan sebagai fase komune primitif karena pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan dan dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune dengan alat produksi yang sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang sebagai alat kerja dan alam tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Fase komune primitif lahir dari perkembangan alat produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan batu dan tulang sebagai alat produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk berburu dan meramu makanan (food gathering) dan hanya dapat dikerjakan secara kolektif. Hal ini melahirkan cara pandang masyarakat komune yang sangat bergantung terhadap alam, bagaimana alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi suatu komune. Itu sebabnya, ketika alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup suatu komune, maka komune tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain yang masih cukup memenuhi kebutuhan hidup komune tersebut.
Dalam zaman kapitalisme yang terus berkembang hingga saat ini yang sudah mencapai puncak tertingginya (imperialisme) ternyata tidak juga menunjukan sebuah kemajuan tingkat kesejahteraan masyarakat dunia. Dunia dibawah belenggu kapitalisme ternyata tidak menjawab permasalahan yang dialami pada fase-fase sebelumnya yaitu adanya ketimpangan dan sistem yang menindas kelas lain. Kekuatan kapitalisme yang berada ditangan para pemodal atau koorporasi besar justru semakin banyak menimbulkan masalah kemanusiaan. Kontradiksi antara borjuasi dan proletariat semakin memanas bahkan dalam konteks hubungan kenegaraan juga mengalami kontradiksi. Negara-negara maju dibawah pimpinan Amerika Serikat merupakan negara kapitalis yang senantiasa melakukan ekspansi bahkan sampai melakukan invasi terhadap negara-negara yang sedang berkembang demi memuaskan hasrat mereka untuk dapat mengeksploitasi segala macam sumber daya dan menjadikan pasar yang cukup baik, serta bertujuan akhir mengakumulasikan modal mereka.
Pada masa sekarang dimana kapitalisme tumbuh subur didalam maupun diluar negara kapitalis dan seiring dengan semakin beradaptasinya paham ini dari keadaan kontemporer dan arus deras kritik yang menghujatnya maka kapitalisme membuat aturan main melalui lembaga-lembaga resmi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank yang tentu saja bertujuan untuk memperpanjang masa waktu pengusaan atas dunia oleh sistem kapitalisme.
Fenomena WTO adalah verifikasi empiris terhadap gagasan–gagasan ekonomi liberal. Verifikasi ini akan membawa konsekuensi pada konteks liberalism sebagai pandangan filsafat yang dimanifestasikan dalam berbagai upaya yang bertajuk “liberalism perdagangan”. Liberalisme merupakan sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang berpegang pada kebebasan sebagai nilai politik yang primer.[1] Liberalism memiliki akar pada era Pencerahan Barat, namun sekarang sudah melingkupi berbagai pandangan politik yang beragam. Secara umum, liberalism kontemporer bertujuan membela hak-hak individu.
Pandangan ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang karakternya memiliki kebebasan berpikir bagi individual dan pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap pemerintah dan agama. Selain itu, ada rule of law, pendidikan bebas untuk masyarakat, dan kebebasan dalam melakukan pertukaran pemikiran, kebebasan bagi korporasi swasta dalam konteks ekonomi pasar, transparansi pemerintah dan perlindungan atas seluruh hak warga begara. Dalam masyarakat modern, liberal dalam konteks demokrasi liberal terkait dengan keterbukaan dan kejujuran dalam pemilihan umum, dimana seluruh warga Negara memiliki hak yang sama di mata hukum dan kesetaraan dalam kehidupan yang layak.
Kaum Neo-Marxist percaya bahwa globalisasi ekonomi telah mengonstruksi wajah struktur ekonomi dunia menjadi dua kutub yang saling berbenturan . Pada kutub pertama, terdapat sekelompok minoritas manusia yang menguasai mayoritas faktor-faktor produksi dan akses yang luas atas distribusi dan konsumsi dunia . Kelompok ini seringkali dia sosiasikan pada kelompok negara maju, para pelaku pasar serta aktor -aktor ekonomi transnasional yang mencoba menerap kan agenda-agenda neoliberalisme melalui sistem ekonomi global. Di kutub yang lain, terdapat kelompok mayoritas yang terabaikan dan termarginalisasi secara si stemik dan struktural oleh proses globalisasi ekonomi. Kelompok ini terdiri atas sebagian besar negara berkembang, aktivis lingkungan hidup dan feminisme , serta gerakan-gerakan akar rumput yang tersebar di seluruh dunia.
Tulisan ini merujuk kepada perspektif Johan Galtung dalam ‘Depedency Theory’ untuk memahami rezim perdagangan bebas yang dilakukan World Trade Organization yang selanjutnya disebut WTO berimplikasi kepada Negara berkembang sehingga sikap interdepedensi ada pada tubuh Negara berkembang dalam dewasa ini terhadap Negara Industry Maju selanjutnya disebut NIM. Penulis percaya bahwa sifat interdepedensi yang terdapat antara Negara berkembang dan NIM ada hubungan yang menurut Johan Galtung disebut hubungan Imprealistik. Sehingga konsep tersebut memberikan tekanan halus yang tidak terasa oleh Negara berkembang yang nantinya berefek negative. Disamping itu, surat persetujuan atau janji yang ditawarkan pada setiap anggota WTO membrikan tekanan terhadap Negara berkembang sebagai aktor figuran dalam sandiwara tipu mushlihat yang dilakukan oleh NIM.
Dalam mengelaborasikan argument diatas, secara sistematis tulisan ini di bagi menjadi tiga bagian pembahasan, agar keterkaitan antara poin perpoin dapat tersambung dengan singkron. Bagian pertama, mengulas latar belakang dan sebab-sebab kemunculan WTO (WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru dan Struktur WTO). Konsep Galtung digunakan sebagai pisau analisis WTO dipaparkan pada bagian kedua. Secara lebih mendetail, bagian ini mengulas mengenai konsep interdepedensi kedua kubu, terciptanya hegemoni baru terkait hubungan imprealistik, dan terakhir adalah fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical.
Kemunculan World Trade Organization
WTO (World Trade Organisationatau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi  Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif. masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru
Dalam perkembangannya, dunia menunjukan adanya situasi baru dimana telah lahirnya WTO (World Trade Organization) dan mulai aktif pada 1 Januari 1995. World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
WTO telah mengatur banyak hal di luar perdagangan. Dengan hadirnya WTO di kancah perekonomian dunia bersandingan dengan World Bank dan IMF kini menjadi kekuatan baru atau senjata baru dari kapitalisme. Lengkaplah sudah kekuatan kapitalisme global dengan kehadiran WTO. Kapitalisme sudah tak tertahankan lagi, kini menjadi sebuah sistem global, yang dikenal dengan globalisasi. Globalisasi adalah kapitalisme global yang memaksakan berbagai agenda pasar bebas demi kepentingan akumulasi modal. Dalam konsepnya WTO bercita-cita untuk dapat mengatur berjalannya arus perdagangan dunia dengan baik agar tidak terjadi krisis yang disebabkan oleh perlombaan perdagangan yang tidak sehat.
”Problem kita dengan perdagangan bebas adalah ketimpangan yang terjadi ketika bisnis diproteksi sementara buruh dan lingkungan diabaikan,” kata Jeff Faux, Presiden Economic Policy Institute, sebuah kelompok pemikir independen yang berkantor di Washington. Ia menambahkan bahwa keuntungan yang didapat dari perdagangan bebas selama beberapa dekade terakhir tidak pernah bisa menutup kerugian yang disebabkan oleh banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan rusaknya lingkungan. Isu-isu lingkungan dan ketenagakerjaan ini pulalah yang menyebabkan 30.000 aktivis, mewakili 500 organisasi dari seluruh belahan bumi, menggelar unjuk rasa di jalan-jalan di Seattle, Washington, ketika WTO mengadakan pertemuannya di sana pada akhir November 1999. Inilah gelombang protes terbesar yang pernah dialamatkan ke WTO. Para demonstran mendesak organisasi itu untuk melindungi hak-hak warga dan lingkungan sebagaimana ia melindungi kepentingan perusahaan.
Tentu saja, di sisi lain, WTO juga memiliki pendukung yang mempertahankan keberadaannya. Ada banyak negara, menurut petinggi WTO, yang berhasil meningkatkan standar hidupnya melalui perdagangan bebas. Korea Selatan adalah salah satu negara yang di jadikan contoh betapa perdagangan bebas telah meningkatkan standar hidup di negeri tersebut hingga mendekati standar hidup negara-negara maju. Berkat perdagangan bebas, Korea Selatan beralih dari negara pertanian ke negara industri, yang memproduksi mobil, televisi, dan beberapa produk canggih lainnya. ”...sejumlah masalah lingkungan yang serius di negara-negara miskin, seperti pembakaran hutan dan kurang bersihnya air minum, tidak disebabkan oleh perdagangan tetapi oleh kemiskinan,” kata David Vogel, Profesor Etika Bisnis dan Ilmu Politik Universitas California, Berkeley, yang menjadi pembela perdagangan bebas. ”negara-negara miskin tidak bisa menyediakan sistem airbersih, dan warga mereka mungkin menebang hutan untuk dijadikan kayu bakar dan untuk membuka ladang.”
Struktur WTO
Dalam situs resminya (www.wto.org) WTO menyatakan diri sebagai organisasi yang dikendalikan oleh anggota (a member driven) atau organisasi yang berbasis consensus (consensus-based organization). Setiap keputusan besar diambil oleh seluruh anggotanya, baik melalui menteri-menteri yang bertemu setidaknya sekali dalam dua tahun atau oleh duta besar atau delegasi yang secara regular bertemu di Jenewa.
Umumnya, keputusan diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi atau badan pimpinan. Peraturan-peraturan dalam WTO, termasuk kemungkinan untuk menjatuhkan sangsi, di tetapkan secara bersama oleh seluruh Negara anggotanya.
Seluruh sanksi yang diambil WTO dilaksanakan oleh dan atas dasar kewenangan dari Negara anggota. Hal inilah yang membedakan dengan lembaga-lembaga internasional lainnya, di mana struktur memiliki kewenangan untuk memengaruhi kebijakan suatu Negara tanpa mempertimbangkan pandangan dari Negara tersebut.
Untuk mencapai kesepakatan di antara 149 negara anggota bisa jadi sangat sulit. Meski begitu, cara itu di pandang dapat lebih memberikan manfaat karena setiap keputusan yang diambil akan lebih mudah diterima oleh semua Negara anggota karena telah melalui penggodogan bersama. WTO mengaku, meski harus ditempuh dengan cara sulit, beberapa kesepakatan penting telah diraih. Consensus adalah tradisi GATT yang dilanjutkan oleh WTO. Seperti dikemukakan di atas, hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh anggota terakomodasi dalam setiap keputusan WTO.
Konsep Johan Galtung dalam Teori dependensi
Pada bagian ini, penulis mengulas teori depedensi yang didasari oleh pemikiran Johan Galtung yakni, Ketergantungan terhadap negara-negara kapitalis cenderung melahirkan bentuk imperialisme baru. Gampangnya penulis hendak memaparkan kaitan antara rezim yang telah di bawa WTO dengan ketergantungan Negara berkembang dalam keterlibatan sebagai anggota. Karena dampak dari ketergantungan tersebut menimbulkan terjadinya kemiskinan structural, timbul kolonialisme pada level domestic, munculnya gap dalam pembangunan domestic, konflik internal, kolaborasi kekuatan asing dan Negara, dan munculnya negara komprador
Hegemoni Melalui Hubungan Imprealistik
Hegemoni merupakan titik awal konsep yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah binatang dan setengah hewan, sebagai symbol dari ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik – kekuatan dan consensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melaikan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi consensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya Prison Notebook, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan deminazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam Bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain.
Kemudian penulis dalam hal ini mengaitkan implikasi hubungan imprealistik menurut konsep Galtung hubungannya dengan rezim WTO yang kemudian mengakibatkan ketimpangan terhadap Negara berkembang. Terdapat keselerasan kepentingan antara center (elite) di negara Center dengan center di negara Periphery. Hal ini dapat dibuktikan pada bagian struktur WTO di atas bahwa keterkaitan Negara pusat yang menjadi anggota inti WTO seperti Amerika Serikat sangat mempengaruhi kebijakan Negara periphery yang yang diwakili oleh delegasi atau perwakilan dari Negara periphery. Karena keputusan diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi atau badan pimpinan. Kemudian terdapat lebih banyak disharmoni atau konflik kepentingan antara center dan perypheri di negara Periphery dari pada di negara Center. Hal ini ditunjukan banyak sekali protes dalam bentuk demonstrasi, salah satu contohnya di Korea Selatan seorang demonstran bunuh diri akibat konflik yang di timbulkan oleh Negara berkembang atau periphery. Karena center di Negara periphery tidak memandang kepentingan para periphery di Negaranya seperti para kativis daln lain sebagainya, disebabkan kontrak kesepakatan hasil consensus harus dilakukan demi terlaksananya kesepakatan antar anggota WTO. Terakhir yakni terdapat disharmoni atau konflik kepentingan antara periphery di negara Center dengan periphery di negara Periphery. Fenomena seperti ini ditimbulkan karena permainan para elit Negara yang bermain pada consensus yang dilakukan di WTO, sehingga kedua periphery di dua Negara menjadi tidak paham akan arti hasil kesepakatan yang diimplementasikan pada kedua Negara karena hasil consensus ini tidak memandang pandangan kepentingan Negara terkait sehingga hasil consensus pun bisa saja banyak merugikan Negara-negara yang minor kekuatan. Yang kemudian muncullah ketimpangan dalam bentuk efeknya.
Fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical
Pada bagian ini penulis hendak memaparkan logika persaingan dan kompetisi yang ada didalam tubuh WTO meliputi Asimetris, Dyadic, dan Vertical sebenarnya hanya akan menguntungkan  lagi-lagi kepada negara kapitalis. Kompetisi sehat yang digadang-gadang oleh para kapitalis hanyalah ilusi karena negara berkembang tidak akan mampu melakukan persaingan dengan negara maju, karena negara berkembang hanya dijadikan objek dari agenda-agenda besar dunia. Bentuk nyata dari kebusukan WTO adalah dengan meliberalkan sektor-sektor negara dan pada akhirnya melakukan privatisasi sektor negara. Hal ini dilakukan agar para negara kapitalis dapat melakukan intervensi lebih mudah dan dapat menanamkan modal untuk mendapat keuntungan. Contohnya adalah ketika Indonesia sepakat atas perjanjian dengan WTO dan mulai dari 1995 hingga saat ini kebijakan ekonomi yang dikeluarkan terus menerus berpihak pada asing. Segala macam sektor seperti kesehatan dan pendidikan juga menjadi korban sehingga perlahan kedua sektor tersebut menjadi swasta.
Kesimpulan
Menggunakan kerangka berpikir Galtung, penulis menjelaskan fenomena rezim WTO terhadap ketimpangan Negara berkembang. Galtung mendefinisikan keterkaitan Negara berkembang dalam kerjasama bidang perdagangan WTO hanya menciptakan ketimpangan yang semakin jelas antara si kaya dan si miskin atau sering kita sebut Center dan Peripheri. Hal ini di buktikan dengan saling ketergantungan kedua Negara tersebut dalam berinteraksi, sehingga banyak sekali konflik-konflik yang ditimbulkan dalam dua Negara tersebut.

Daftar Pustaka:
Jurnal:
·         Winner Agung Pribadi, “Sumbangan Perspektif Gramscian dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ”, Global & Strategis, Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008,.
·         Dewi Andita Sari, MAKALAH POLITIK INTERNASIONAL: Analisa Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO Terhadap, “Terciptanya Ketimpangan Ekonomi Global Studi Kasus: Perbandingan Perekonomian India dengan Amerika Serikat”,  Thn 2012
Buku:
·         J Juliantono, Ferry., 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.
·         Simon,  Roger., 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·         Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : INSIST PRESS.
·         Setiawan, Bonnie. 2000. Stop WTO Dari Seattle Sampai Bangkok. Yogyakarta : Kreasi Wacana
·         Smick, M David. 2009. Kiamat Ekonomi Global. Jakarta : Daras
·         Ritzer, George dan Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Webside:
·         http://www.wto.org [diakses 18 Maret 2013 M pukul 23.12 WIB]

[1]Liberalisme” dipahami sebagai suatu etika sosial yang mengadvokasi kebebasan dan kesetaraan secara umum. C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E, and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, halaman 440.: diambil dari J Juliantono, Ferry. 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger