Selasa, 23 Oktober 2012

Legitimasi Neoliberalisasi Melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT)


Oleh. Rijal A. Mohammadi
Pada tahun kemarin lalu kita dikejutkan dengan program pemerintah yang bertujuan untuk meringankan derita masyarakat miskin. Bantuan Langsung Tunai yang seterusnya disebut BLT merupakan Kebijakan menuai banyak protes mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT, kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Salah satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi adalah pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemberian Bantuan Langsung Tunai merupakan wujud dari pembangunan ekonomi kerakyatan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah, mensejahterakan rakyat dan membantu  masyarakat keluar dari kesulitan-kesulitan ekonomi yang dari hari ke hari dirasakan oleh masyarakat semakin menjadi beban. Penyebab utama beban ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat adalah faktor kemiskinan. Indonesia sebagai negara berkembang telah berupaya memberantas masalah kemiskinan dengan mengupayakan beberapa program pemerintah, salah satunya adalah program BLT tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadikan perubahan dalam masyarakat dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi.
Menurut Wynandin Imawan (2008) Program Bantuan Langsung Tunai merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia dari sekian banyak program penanggulangan kemiskinan yang terbagi menjadi tiga klaster. Program Bantuan Langsung Tunai masuk dalam klaster I, yaitu Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Termasuk dalam klaster I adalah Program Beras Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Bea Siswa. Menurut Wynandin Imawan (2008) selain melaksanakan klaster I, Pemerintah Indonesia juga melaksanakan program pengentasan kemiskinan lainnya yang termasuk dalam klaster II yaitu Program Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Termasuk dalam klaster II ini adalah PNPM Pedesaan (PPK), PNPM Perkotaan (P2KP), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP), PNPM Kelautan (PEMP), dan PNPM Agribisnis (PUAP). Pelaksanaan klaster III yaitu Program Pemberdayaan Usaha Menengah Kecil (UMK), termasuk di dalamnya Program Kredit UMKM, dan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Akan tetapi disisi lain, kebijakan BLT ini memiliki dampak negatif yakni pada perilaku dan karakter masyarakat yang berpengaruh pada bidang ekonomi, sosial dan budaya. Kebijakan ini sangat riskan menciptakan karakter masyarakat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa “peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan BBM yang berulang-ulang adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin membengkak (bertolak belakang dengan kebijakan BLT). Sehingga masyarakat dimanjakan dengan subsidi secara langsung untuk keperluan hidup mereka, terlihat budaya gigih dan pantang menyerah dapat terkikis oleh rasa malas dan akan selalu menggerogoti ideologi masyarakat dengan adanya program-program seperti ini.
Tujuan pemerintah mewujudkan program ini merupakan hal positif yang perlu diapresiasi penuh. Akan tetapi pemerintah perlu juga memperhatikan dampak-dampak yang lainnya.salah satu cara lain untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah Negara adalah dengan menggunakan tolok ukur PQLI (Physical Quality of Life Index). Tolok ukur PQLI ini diperkenalkan oleh Moris (Todaro, 1985: 150) yang mengukur tiga indicator, yakni: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun (2) rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi buta dan melek huruf. Jika pemerintah dengan menggunakan program BLT ini menginginkan kesejahteraan masyarakat meningkat walau hanya sedikit. Sepertinya hal itu tidak memungkinkan, karena sifatnya terlalu instan. Dan menumbuhkan budaya malas ditengah masyarakat, seperti apa yang telah diuraikan penulis diatas.
Pandangan negatif terhadap pemerintah tentang program ini bisa saja berlarut-larut, seperti halnya perbaikan image pemerintah yang selama ini selalu dikritik tanpa adanya rasa untuk membangun bersama. Apabila melihat tujuan, efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan yang diluncurkan pemerintah ini bukanlah kebijakan yang pro-pure melainkan kebijakan yang pro-image. Kebijakan ini ditempuh pemerintah bukan untuk menaikkan derajat kesejahteraan masyarakat miskin, akan tetapi hanya bertujuan untuk mempertahankan derajat kebaikan pemerintah (yang baik) di mata masyarakat.
Dilihat dari efisiensi, efektifitas dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan, kebijakan BLT masih jauh dari kategori efisien dan efektif dalam kerangka menyelesaikan kemiskinan atau bahkan kemiskinan baru yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM tersebut. Efisiensi dan efektifitas tersebut sudah dibuktikan dengan pencapaian hasil kebijakan BLT dimasa lalu (Kebijakan BLT tahun 2005) dan melihat pencapaian hasil kebijakan BLT 2005, pemerintah juga sudah merubah kebijakan tersebut menjadi kebijakan Program Keluarga Harapan.
Berbicara kemiskinan khususnya kemiskinan di Indonesia, ada dua landasan dan arah kebijakan yang bisa diambil oleh pemerintah. Landasan dan arah tersebut adalah membantu masyarakat miskin dengan landasan prihatin/iba dan membantu masyarakat miskin dengan landasan untuk menaikkan darajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.
Kebijakan dengan landasan prihatin/iba diartikan sebagai kebijakan yang bersifat hanya memberi “ikan” kepada masyarakat miskin, bersifat temporeri serta hanya bersifat pada rasa kasihan atau iba terhadap masyarakat miskin. Sedangkan kebijakan yang berlandaskan pada pencapaian meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin diartikan sebagai cara menigkatkan produktifitas masyarakat miskin atau dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Kebijakan tersebut juga merupakan kebijakan yang bersifat pada memberikan “kail”, bersifat long-term dan berkelanjutan.
Melihat sifat yang hanya meberikan “ikan”, bersifat temporeri dan rasa kasihan/iba (kenaikan biaya hidup masyarakat miskin akibat dampak kenaikan BBM), kebijakan BLT yang diluncurkan pemerintah merupakan kebijakan yang bersifat iba dan tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia. Semua hal diatas berimbas pada beberapa poin terkait ekonomi, social dan budaya. Penulis dalam hal ini akan berusaha menguraikan secara rinci dampak yang diterima dari program BLT sesuai poin-poin diatas.
A.                   Ekonomi
Terutama sekali, perekonomian rakyat Indonesia baru dapat diselenggarakan republik yang merdeka 100%, yang sekurangnya memiliki dan menguasai 60% produksi, distribusi, upah, upah, ekspor dan impor (Gerpolek: Tan Malak, Narasi, Yogyakarta, hlm 107). Jika BLT merupakan jalan yang diambil pemerintah dalam meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia agar masyarakat tersebut dapat menyesuaikan system ekonomi baru dunia yaitu Neoliberalis. Anggapan tersebut sungguh salah, karena pola pembangunan semacam ini membuat sejumlah Negara berkembang terjebak pada obsesi yang melahirkan ekspektasi yang berlebihan yang ingin diperoleh dari suatu pembangunan (Jerat Globalisasi Neoliberal Ancaman Bagi Negara Dunia: Zain Maulana, Biak, Yogyakarta, hlm: 03).
Jika kita berkaca pada Negara Ameika Serikat pada tahun 196an, pasca perang dingin AS mengalami krisis sehingga stabilitas ekonomi AS sempat mendapat ancaman dari Negara-negara rivalnya saat itu seperti Uni Soviet. Akan tetapi AS langsung cekatan menanganinya dengan menutup keran untuk para investor asing dalam penanaman modal yang dilakukan dinegaranya. Menutup keran ini sebagai jalan aman yang dilakukan AS untuk menstabilkan ekonomi negaranya dari krisis dengan membuka lapangan kerja bagi banyak pengangguran pasca perang dingin. Sehingga saat itu dalam kurun waktu 3 tahun AS memberanikan diri membuka keran ekonominya sampai saat ini.
Mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah, itulah yang dilakukan AS. Bagaimana Negara kita? Dalam meningklatkan kesejahteraan masyarakat miskin tidak seharusnya menggunakan program BLT atau program yang menginstankan terbentuknya masyarakat yang sejahtera. Akan tetapi Negara seharusnya kreatif dalam menghadapi pengangguran yang meledak dewasa ini. Minimnya pengangguran dapat berefek pada kesejahteraan masyarakat, dengan mengadakan pelatihan-pelatihan kemadirian sebagai interprenuer atau wirausaha. Sehingga stigma berfikir masyarakat tentang hidup sejahtera tidak hanya lewat jalan kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) (data diperoleh dari Indonesia Global Justice).
Meminimalisir pengangguran Indonesia bukan hanya dengan mempekerjakannya pada perusahaan industry asing yang berada di Negara ini. Akan tetapi bagaimana Negara ini kreatif membuka usaha dari perusahaan milik putra bangsa. Hemat penulis untuk hal kebijakan BLT ini terkait dalam bidang ekonomi, pemerintah tidak hanya membuat masyarakat senang dalam kesejenakan. Tetapi lebih kepada kesenangan jangka panjang dengan mempertahankan kegigihan masyarakat Indonesia dalam bekerja.
B.                   Sosial dan Budaya
Degradasi moral dalam tatanan kehidupan social, kata-kata itu sepertinya pantas untuk masyarakat Indonesia dengan menurunnya semangat berfastabiqulkhairat dalam hidup bernegara. Tunjangan instan yang diterima oleh masyarakat miskin Indonesia melalui BLT, merupakan jalan runtuhnya semangat juang masyarakat dalam hidup. Penulis merasa janggal pada kebijakan program BLT ini dengan adanya harapan palsu masyarakat yang semula dimanjakan dengan program BLT ini, tetapi kedepannya masyarakat miskin lambat laun dengan menikmati subsidi langsung seperti ini pasti akan di cabut. Sehingga masyarakat miskin yang tetap miskin akan menjadi miskin selamanya. Itulah prinsip yang dipakai pada system ekonomi neoliberlisme. Seperti apa yang dikatakan Carlos Vilas, seorang sosiolog di National Autonomous University of Mexico (UNAM), menyebut program semacam BLT ini adalah “kebijakan sosial neoliberal”.
Perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Menurut Sztompka (2004) perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.
Menurut Farley (1990:626) bahwa perubahan sosial adalah pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial yang terjadi pada suatu lembaga akan berakibat perubahan dilembaga lain untuk mencapai keseimbangan baru. Dengan demikian, masyarakat bukan suatu yang statis, tetap dinamis, sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju kepada keseimbangan baru. Namun demikian, disisi lain, teori fungsionalisme Parsons sering disebut sebagai konservatif, karena menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang dan mapan. Padahal didalam masyarakat selalu saja terjadi konflik dan terdapat keadaan-keadaan tidak harmoni.
Fase masuknya system neoliberal akan meluluh lantahkan tatanan social dan budaya yang ada di Negara tersebut, karena semuanya akan ditutupi oleh kapitalisme. Sehingga budaya kekeluargaan ditengah masyarakat Indonesia terhapuskan oleh kapitalisme sebagai penyakit kritis yang mengerogotinya. Indonesia seakan ingin coba-coba terhadap system yang baru, yang mana system ini mau tidak mau harus diterima oleh semua Negara. Jika kita mengaca pada uraian yang telah dituliskan penulis diatas tentang krisis yang dialami AS pada tahun 1960an. Dalam system apapun jika kesejahterasan masyarakatnya tinggi maka budaya asli dan tatanan sosial dinegara tersebut tidak akan tergeser oleh hal baru semacamnya atau tidak akan terjadi asimilasi.
C.                  Kesimpulan
Dalam poin terakhir pada kesimpulan, melihat dari uraian yang ditulis penulis diatas menunjukan dampak yang diterima masyarakat lebih banyak pada kenegatifan. Karena semangat berjuang di pupuk ditengah masyarakat telah luntur oleh rasa malas akibat program BLT yang super instan tersebut. Filosofi pemberian “ikan” bisa kita renungi bersama, jika semua itu tidak di telaah dengan baik, semuanya bagai pembodohan yang diterima masyarakat miskin di Negara ini. Carlos Vilas, seorang sosiolog di National Autonomous University of Mexico (UNAM), menyebut program semacam BLT ini sebagai “kebijakan sosial neoliberal”. Di setiap negara yang menganut neoliberalisme, kemiskinan dan ketimpangan menjadi kenyataan ekonomi, politik, dan sosial yang tidak bisa ditutupi.
Kaum neoliberalis melihat kemiskinan sebagai pemicu ketidakstabilan politik dan bisa menjadi lahan subur bagi politisi “demagogis” untuk menghasut pemberontakan. Hal itu bisa mengancam restrukturisasi neoliberal. Karenanya, seperti kita ketahui, kaum neoliberal juga berbicara tentang agenda pengurangan kemiskinan. Di mata kaum neoliberal, menurut Carlos Vilas, kemiskinan dianggap sebagai patologi, bukan sebagai konsekuensi sistem. Akibatnya, proses pengurangan kemiskinan berada di luar kerangka sistem, yakni di luar proses akumulasi dan pembangunan ekonomi kapitalis. Mereka berusaha memberantas kemiskinan dengan mendesain program-program sosial neoliberal.
Vilas menjalaskan bahwa kebijakan sosial neoliberal ini menjalankan dua fungsi penting. Pertama, sebagai pendukung proses akumulasi kapital melalui reproduksi sosial tenaga kerja. Kedua, melegitimasi keseluruhan tatanan politik yang ada dengan cara menciptakan konsesi dengan keseluruhan populasi yang menerima sedikit keuntungan dari program ini. Di sini, kebijakan sosial bukan yang inheren sebagai tugas negara, melainkan sebagai upaya mengimbangi dampak-dampak neoliberal. Kebijakan sosial neoliberal sering menipu dengan kedok ‘populis’. Dalam kasus Indonesia, misanya, privatisasi asuransi jaminan sosial dianggap “program sosial”.
Dalam konteks kenaikan BBM, dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan sangatlah luas: kenaikan biaya produksi, kenaikan harga barang, kenaikan tarif angkutan, dan lain-lain. Semua dampak itu juga saling menjalin dan membawa dampak yang lebih struktural lagi: de-industrialisasi, kejatuhan daya beli rakyat, dan lain-lain. Ada beberapa karakteristik program sosial neoliberal: privatisasi, pentargetan, dan desentralisasi. Terkait dengan kebijakan BLT, point pertama dan kedua sangat menjelaskan karakter dan kelemahan program neoliberal ini.
Program BLT itu dirancang dengan pentargetan. Hambatan utama dari program BLT semacam ini adalah bagaimana mendefenisikan kelompok penerima. Biasanya para penerima diukur dengan menggunakan standar BPS (padahal, standar kemiskinan versi BPS sangat buruk dan tidak manusiawi). Pada kenyataanya, tidak semua orang miskin atau sektor-sektor yang terkena dampak kenaikan BBM ini bisa menerima program ini. Akibatnya, pada praktek di lapangan, program BLT ini memicu protes dari kelompok masyarakat yang tidak menerima. Lebih parah lagi, dalam ranah kepentingan politik, program BLT ini sering menjadi alat menjaga “klientalisme”. Program BLT bisa menjadi alat menjaga dukungan politik saat menghadapi pemilu.
Skema pentargetan ini bertujuan untuk menghemat belanja sosial. Alih-alih untuk mengurangi kemiskinan, program BLT hanya berusaha meredakan “kemarahan sosial” yang berpeluang terjadi akibat kenaikan harga BBM. Ciri kedua dari program sosial neoliberal ini adalah desentralisasi. Desentralisasi di sini bukanlah desentraliasi kebijakan, melainkan desentralisasi tugas dan fungsi. Yang dilepas oleh pemerintah pusat bukanlah desain dan proses penyusunan kebijakannya, melainkan pelaksanaan/pengerjaan program ini di lapangan.
Yang terjadi, sebetulnya, adalah negara ‘mensubkontrakkan’ pekerjaannya atau tugasnya kepada LSM dan relawan sosial. Ini merupakan “politik efisiensi” anggaran agar tidak terlalu boros. Ini bisa kita lihat pada perekrutan banyak pekerja sosial untuk terlibat dalam program KUR dan PNPM Mandiri. Anggaran BLT juga sangat sedikit, sehingga para penerima biasanya menggunakan dana untuk ‘keperluan konsumsi sehari-hari’. Untuk diketahui, sebagian besar dana program dana BLT ini dapat melalui pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi. Dengan demikian, program ini tidak lebih sebagai strategi kapital untuk mendorong permintaan dengan utang-konsumsi. Bagi kami, BLT atau program sosial neoliberal bukanlah solusi terhadap persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat sekarang. Ada baiknya mengingat pepatah kuno Tiongkok: “Memberi seseorang seekor ikan, anda hanya memberinya makan untuk sehari. Mengajari seseorang menangkap ikan, anda telah memberinya makan  untuk seumur hidup.”

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger