Oleh. Rijal A. Mohammadi
Pada
tahun kemarin lalu kita dikejutkan dengan program pemerintah yang bertujuan
untuk meringankan derita masyarakat miskin. Bantuan Langsung Tunai yang
seterusnya disebut BLT merupakan Kebijakan menuai banyak protes mulai
dari masyarakat, pemerintah daerah, mahasiswa dan tokoh-tokoh masyarakat baik
nasional maupun daerah. Kebijakan yang sama juga pernah dilakukan oleh
pemerintah pada tahun 2005, ketika pemerintah menaikkan BBM sebesar 126 persen.
Disatu sisi, kebijakan BLT ini
mungkin akan memberikan dampak positif bagi masyarakat miskin. Dengan BLT,
kenaikan biaya hidup yang diakibatkan oleh kenaikan BBM secara langsung maupun
dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan BBM, akan sedikit
tertutupi dengan adanya dana “cuma-cuma” yang diberikan oleh pemerintah. Salah
satu kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi adalah pemberian Bantuan
Langsung Tunai (BLT). Pemberian Bantuan Langsung Tunai merupakan wujud dari
pembangunan ekonomi kerakyatan sebagai upaya untuk meningkatkan nilai tambah,
mensejahterakan rakyat dan membantu masyarakat keluar dari
kesulitan-kesulitan ekonomi yang dari hari ke hari dirasakan oleh masyarakat
semakin menjadi beban. Penyebab utama beban ekonomi yang dirasakan oleh
masyarakat adalah faktor kemiskinan. Indonesia sebagai negara berkembang telah
berupaya memberantas masalah kemiskinan dengan mengupayakan beberapa program
pemerintah, salah satunya adalah program BLT tersebut. Hal ini diharapkan dapat
menjadikan perubahan dalam masyarakat dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi.
Menurut Wynandin Imawan (2008)
Program Bantuan Langsung Tunai merupakan salah satu program penanggulangan
kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia dari sekian banyak program
penanggulangan kemiskinan yang terbagi menjadi tiga klaster. Program Bantuan
Langsung Tunai masuk dalam klaster I, yaitu Program Bantuan dan Perlindungan
Sosial. Termasuk dalam klaster I adalah Program Beras Miskin (Raskin), Program
Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan
Program Bea Siswa. Menurut Wynandin Imawan (2008) selain melaksanakan klaster
I, Pemerintah Indonesia juga melaksanakan program pengentasan kemiskinan
lainnya yang termasuk dalam klaster II yaitu Program Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM). Termasuk dalam klaster II ini adalah PNPM Pedesaan (PPK), PNPM
Perkotaan (P2KP), PNPM Infrastruktur Pedesaan (PPIP), PNPM Kelautan (PEMP), dan
PNPM Agribisnis (PUAP). Pelaksanaan klaster III yaitu Program Pemberdayaan Usaha
Menengah Kecil (UMK), termasuk di dalamnya Program Kredit UMKM, dan Program
Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Akan tetapi disisi lain, kebijakan
BLT ini memiliki dampak negatif yakni pada perilaku dan karakter masyarakat
yang berpengaruh pada bidang ekonomi, sosial dan budaya. Kebijakan ini sangat
riskan menciptakan karakter masyarakat yang selalu dimanja dan menjadi bangsa
“peminta-minta”. Selain itu, permasalahan efektifitas dan efisiensi kebijakan
ini juga sangat diragukan, apalagi kalau kita melihat bahwa landasan kenaikan
BBM yang berulang-ulang adalah kondisi defisit keuangan negara yang semakin
membengkak (bertolak belakang dengan kebijakan BLT). Sehingga masyarakat
dimanjakan dengan subsidi secara langsung untuk keperluan hidup mereka,
terlihat budaya gigih dan pantang menyerah dapat terkikis oleh rasa malas dan
akan selalu menggerogoti ideologi masyarakat dengan adanya program-program
seperti ini.
Tujuan pemerintah mewujudkan program
ini merupakan hal positif yang perlu diapresiasi penuh. Akan tetapi pemerintah
perlu juga memperhatikan dampak-dampak yang lainnya.salah satu cara lain untuk
mengukur kesejahteraan penduduk sebuah Negara adalah dengan menggunakan tolok
ukur PQLI (Physical Quality of Life Index).
Tolok ukur PQLI ini diperkenalkan oleh Moris (Todaro, 1985: 150) yang mengukur
tiga indicator, yakni: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun (2)
rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi buta dan melek
huruf. Jika pemerintah dengan menggunakan program BLT ini menginginkan
kesejahteraan masyarakat meningkat walau hanya sedikit. Sepertinya hal itu
tidak memungkinkan, karena sifatnya terlalu instan. Dan menumbuhkan budaya
malas ditengah masyarakat, seperti apa yang telah diuraikan penulis diatas.
Pandangan negatif terhadap pemerintah
tentang program ini bisa saja berlarut-larut, seperti halnya perbaikan image
pemerintah yang selama ini selalu dikritik tanpa adanya rasa untuk membangun
bersama. Apabila melihat tujuan, efisiensi, efektifitas dan dampak yang
ditimbulkan oleh kebijakan BLT ini, kebijakan yang diluncurkan pemerintah ini
bukanlah kebijakan yang pro-pure melainkan kebijakan yang pro-image. Kebijakan
ini ditempuh pemerintah bukan untuk menaikkan derajat kesejahteraan masyarakat
miskin, akan tetapi hanya bertujuan untuk mempertahankan derajat kebaikan
pemerintah (yang baik) di mata masyarakat.
Dilihat dari efisiensi, efektifitas
dan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan, kebijakan BLT masih jauh dari
kategori efisien dan efektif dalam kerangka menyelesaikan kemiskinan atau
bahkan kemiskinan baru yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM tersebut. Efisiensi
dan efektifitas tersebut sudah dibuktikan dengan pencapaian hasil kebijakan BLT
dimasa lalu (Kebijakan BLT tahun 2005) dan melihat pencapaian hasil kebijakan
BLT 2005, pemerintah juga sudah merubah kebijakan tersebut menjadi kebijakan
Program Keluarga Harapan.
Berbicara kemiskinan khususnya
kemiskinan di Indonesia, ada dua landasan dan arah kebijakan yang bisa diambil
oleh pemerintah. Landasan dan arah tersebut adalah membantu masyarakat miskin
dengan landasan prihatin/iba dan membantu masyarakat miskin dengan landasan
untuk menaikkan darajat dan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.
Kebijakan dengan landasan
prihatin/iba diartikan sebagai kebijakan yang bersifat hanya memberi “ikan”
kepada masyarakat miskin, bersifat temporeri serta hanya bersifat pada rasa
kasihan atau iba terhadap masyarakat miskin. Sedangkan kebijakan yang
berlandaskan pada pencapaian meningkatkan derajat dan tingkat kesejahteraan
masyarakat miskin diartikan sebagai cara menigkatkan produktifitas masyarakat
miskin atau dengan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin.
Kebijakan tersebut juga merupakan kebijakan yang bersifat pada memberikan
“kail”, bersifat long-term dan berkelanjutan.
Melihat
sifat yang hanya meberikan “ikan”, bersifat temporeri dan rasa kasihan/iba
(kenaikan biaya hidup masyarakat miskin akibat dampak kenaikan BBM), kebijakan
BLT yang diluncurkan pemerintah merupakan kebijakan yang bersifat iba dan tidak
akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan di Indonesia. Semua hal diatas
berimbas pada beberapa poin terkait ekonomi, social dan budaya. Penulis dalam
hal ini akan berusaha menguraikan secara rinci dampak yang diterima dari
program BLT sesuai poin-poin diatas.
A.
Ekonomi
Terutama sekali, perekonomian rakyat
Indonesia baru dapat diselenggarakan republik yang merdeka 100%, yang
sekurangnya memiliki dan menguasai 60% produksi, distribusi, upah, upah, ekspor
dan impor (Gerpolek: Tan Malak, Narasi, Yogyakarta, hlm 107). Jika BLT merupakan
jalan yang diambil pemerintah dalam meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia
agar masyarakat tersebut dapat menyesuaikan system ekonomi baru dunia yaitu
Neoliberalis. Anggapan tersebut sungguh salah, karena pola pembangunan semacam
ini membuat sejumlah Negara berkembang terjebak pada obsesi yang melahirkan
ekspektasi yang berlebihan yang ingin diperoleh dari suatu pembangunan (Jerat
Globalisasi Neoliberal Ancaman Bagi Negara Dunia: Zain Maulana, Biak, Yogyakarta,
hlm: 03).
Jika kita berkaca pada Negara Ameika
Serikat pada tahun 196an, pasca perang dingin AS mengalami krisis sehingga
stabilitas ekonomi AS sempat mendapat ancaman dari Negara-negara rivalnya saat
itu seperti Uni Soviet. Akan tetapi AS langsung cekatan menanganinya dengan
menutup keran untuk para investor asing dalam penanaman modal yang dilakukan
dinegaranya. Menutup keran ini sebagai jalan aman yang dilakukan AS untuk
menstabilkan ekonomi negaranya dari krisis dengan membuka lapangan kerja bagi
banyak pengangguran pasca perang dingin. Sehingga saat itu dalam kurun waktu 3
tahun AS memberanikan diri membuka keran ekonominya sampai saat ini.
Mundur selangkah untuk maju sepuluh
langkah, itulah yang dilakukan AS. Bagaimana Negara kita? Dalam meningklatkan
kesejahteraan masyarakat miskin tidak seharusnya menggunakan program BLT atau
program yang menginstankan terbentuknya masyarakat yang sejahtera. Akan tetapi
Negara seharusnya kreatif dalam menghadapi pengangguran yang meledak dewasa
ini. Minimnya pengangguran dapat berefek pada kesejahteraan masyarakat, dengan
mengadakan pelatihan-pelatihan kemadirian sebagai interprenuer atau wirausaha.
Sehingga stigma berfikir masyarakat tentang hidup sejahtera tidak hanya lewat
jalan kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) (data
diperoleh dari Indonesia Global Justice).
Meminimalisir pengangguran Indonesia
bukan hanya dengan mempekerjakannya pada perusahaan industry asing yang berada
di Negara ini. Akan tetapi bagaimana Negara ini kreatif membuka usaha dari
perusahaan milik putra bangsa. Hemat penulis untuk hal kebijakan BLT ini
terkait dalam bidang ekonomi, pemerintah tidak hanya membuat masyarakat senang
dalam kesejenakan. Tetapi lebih kepada kesenangan jangka panjang dengan
mempertahankan kegigihan masyarakat Indonesia dalam bekerja.
B.
Sosial dan Budaya
Degradasi moral dalam tatanan
kehidupan social, kata-kata itu sepertinya pantas untuk masyarakat Indonesia
dengan menurunnya semangat berfastabiqulkhairat
dalam hidup bernegara. Tunjangan instan yang diterima oleh masyarakat miskin
Indonesia melalui BLT, merupakan jalan runtuhnya semangat juang masyarakat
dalam hidup. Penulis merasa janggal pada kebijakan program BLT ini dengan
adanya harapan palsu masyarakat yang semula dimanjakan dengan program BLT ini,
tetapi kedepannya masyarakat miskin lambat laun dengan menikmati subsidi
langsung seperti ini pasti akan di cabut. Sehingga masyarakat miskin yang tetap
miskin akan menjadi miskin selamanya. Itulah prinsip yang dipakai pada system
ekonomi neoliberlisme. Seperti apa yang dikatakan Carlos
Vilas, seorang sosiolog di National Autonomous University of Mexico
(UNAM), menyebut program semacam BLT ini adalah “kebijakan sosial
neoliberal”.
Perubahan
sosial adalah proses di mana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu sistem
sosial. Perubahan tersebut terjadi sebagai akibat masuknya ide-ide pembaruan
yang diadopsi oleh para anggota sistem sosial yang bersangkutan. Menurut
Sztompka (2004) perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang
terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya terdapat perbedaan
antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan.
Menurut
Farley (1990:626) bahwa perubahan sosial adalah pola perilaku, hubungan sosial,
lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu. Perubahan sosial yang terjadi
pada suatu lembaga akan berakibat perubahan dilembaga lain untuk mencapai
keseimbangan baru. Dengan demikian, masyarakat bukan suatu yang statis, tetap
dinamis, sekalipun perubahan itu amat teratur dan selalu menuju kepada
keseimbangan baru. Namun demikian, disisi lain, teori fungsionalisme Parsons
sering disebut sebagai konservatif, karena menganggap bahwa masyarakat akan
selalu berada pada situasi harmoni, stabil, seimbang dan mapan. Padahal didalam
masyarakat selalu saja terjadi konflik dan terdapat keadaan-keadaan tidak
harmoni.
Fase
masuknya system neoliberal akan meluluh lantahkan tatanan social dan budaya
yang ada di Negara tersebut, karena semuanya akan ditutupi oleh kapitalisme.
Sehingga budaya kekeluargaan ditengah masyarakat Indonesia terhapuskan oleh
kapitalisme sebagai penyakit kritis yang mengerogotinya. Indonesia seakan ingin
coba-coba terhadap system yang baru, yang mana system ini mau tidak mau harus
diterima oleh semua Negara. Jika kita mengaca pada uraian yang telah dituliskan
penulis diatas tentang krisis yang dialami AS pada tahun 1960an. Dalam system
apapun jika kesejahterasan masyarakatnya tinggi maka budaya asli dan tatanan
sosial dinegara tersebut tidak akan tergeser oleh hal baru semacamnya atau tidak
akan terjadi asimilasi.
C.
Kesimpulan
Dalam poin terakhir pada kesimpulan,
melihat dari uraian yang ditulis penulis diatas menunjukan dampak yang diterima
masyarakat lebih banyak pada kenegatifan. Karena semangat berjuang di pupuk
ditengah masyarakat telah luntur oleh rasa malas akibat program BLT yang super
instan tersebut. Filosofi pemberian “ikan” bisa kita renungi bersama, jika
semua itu tidak di telaah dengan baik, semuanya bagai pembodohan yang diterima
masyarakat miskin di Negara ini. Carlos Vilas,
seorang sosiolog di National Autonomous University of Mexico (UNAM),
menyebut program semacam BLT ini sebagai “kebijakan sosial neoliberal”. Di
setiap negara yang menganut neoliberalisme, kemiskinan dan ketimpangan menjadi
kenyataan ekonomi, politik, dan sosial yang tidak bisa ditutupi.
Kaum neoliberalis
melihat kemiskinan sebagai pemicu ketidakstabilan politik dan bisa menjadi
lahan subur bagi politisi “demagogis” untuk menghasut pemberontakan. Hal itu
bisa mengancam restrukturisasi neoliberal. Karenanya, seperti kita ketahui,
kaum neoliberal juga berbicara tentang agenda pengurangan kemiskinan. Di mata
kaum neoliberal, menurut Carlos Vilas, kemiskinan dianggap sebagai patologi,
bukan sebagai konsekuensi sistem. Akibatnya, proses pengurangan kemiskinan
berada di luar kerangka sistem, yakni di luar proses akumulasi dan pembangunan
ekonomi kapitalis. Mereka berusaha memberantas kemiskinan dengan mendesain
program-program sosial neoliberal.
Vilas menjalaskan bahwa
kebijakan sosial neoliberal ini menjalankan dua fungsi penting. Pertama,
sebagai pendukung proses akumulasi kapital melalui reproduksi sosial tenaga
kerja. Kedua, melegitimasi keseluruhan tatanan politik yang ada
dengan cara menciptakan konsesi dengan keseluruhan populasi yang menerima
sedikit keuntungan dari program ini. Di sini, kebijakan sosial bukan yang
inheren sebagai tugas negara, melainkan sebagai upaya mengimbangi dampak-dampak
neoliberal. Kebijakan sosial neoliberal sering menipu dengan kedok ‘populis’.
Dalam kasus Indonesia, misanya, privatisasi asuransi jaminan sosial dianggap
“program sosial”.
Dalam konteks kenaikan
BBM, dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan sangatlah luas: kenaikan biaya
produksi, kenaikan harga barang, kenaikan tarif angkutan, dan lain-lain. Semua
dampak itu juga saling menjalin dan membawa dampak yang lebih struktural lagi:
de-industrialisasi, kejatuhan daya beli rakyat, dan lain-lain. Ada beberapa
karakteristik program sosial neoliberal: privatisasi, pentargetan, dan
desentralisasi. Terkait dengan kebijakan BLT, point pertama dan kedua sangat
menjelaskan karakter dan kelemahan program neoliberal ini.
Program BLT itu
dirancang dengan pentargetan. Hambatan utama dari program BLT
semacam ini adalah bagaimana mendefenisikan kelompok penerima. Biasanya para
penerima diukur dengan menggunakan standar BPS (padahal, standar kemiskinan
versi BPS sangat buruk dan tidak manusiawi). Pada kenyataanya, tidak semua
orang miskin atau sektor-sektor yang terkena dampak kenaikan BBM ini bisa
menerima program ini. Akibatnya, pada praktek di lapangan, program BLT ini
memicu protes dari kelompok masyarakat yang tidak menerima. Lebih parah lagi,
dalam ranah kepentingan politik, program BLT ini sering menjadi alat menjaga
“klientalisme”. Program BLT bisa menjadi alat menjaga dukungan politik saat
menghadapi pemilu.
Skema pentargetan ini
bertujuan untuk menghemat belanja sosial. Alih-alih untuk mengurangi
kemiskinan, program BLT hanya berusaha meredakan “kemarahan sosial” yang
berpeluang terjadi akibat kenaikan harga BBM. Ciri kedua dari program sosial
neoliberal ini adalah desentralisasi. Desentralisasi di sini bukanlah
desentraliasi kebijakan, melainkan desentralisasi tugas dan fungsi. Yang
dilepas oleh pemerintah pusat bukanlah desain dan proses penyusunan
kebijakannya, melainkan pelaksanaan/pengerjaan program ini di lapangan.
Yang terjadi,
sebetulnya, adalah negara ‘mensubkontrakkan’ pekerjaannya atau tugasnya kepada
LSM dan relawan sosial. Ini merupakan “politik efisiensi” anggaran agar tidak
terlalu boros. Ini bisa kita lihat pada perekrutan banyak pekerja sosial untuk
terlibat dalam program KUR dan PNPM Mandiri. Anggaran BLT juga sangat sedikit,
sehingga para penerima biasanya menggunakan dana untuk ‘keperluan konsumsi
sehari-hari’. Untuk diketahui, sebagian besar dana program dana BLT ini dapat
melalui pinjaman luar negeri dengan bunga tinggi. Dengan demikian, program ini
tidak lebih sebagai strategi kapital untuk mendorong permintaan dengan
utang-konsumsi. Bagi kami, BLT atau program sosial neoliberal bukanlah solusi
terhadap persoalan ekonomi yang dihadapi rakyat sekarang. Ada baiknya mengingat
pepatah kuno Tiongkok: “Memberi seseorang seekor ikan, anda hanya memberinya
makan untuk sehari. Mengajari seseorang menangkap ikan, anda telah memberinya
makan untuk seumur hidup.”
0 komentar:
Posting Komentar