Oleh: Rijal A. Mohammadi
Pendahuluan
Sejarah umat Islam tidak terlepas
dari sejarah Timur Tengah atau Middle East, karena asal muasal
peradaban Islam berasal dari sana. Walaupun demikian sejarah tentang
Timur Tengah untuk saat ini tak mencerminkan atau merepresentasikan
Islam untuk seluruh dunia, karena corak budaya Islam di setiap negeri
bermacam-macam keberagamannya. Julian Obermann (1969) mengakui bahwa
kebutuhan mempelajari Timur Tengah (baca: Islam) secara konprehensif
termasuk kebudayaannya dalam keseluruhan aspeknya, kini terasa lebih
‘urgen’. Faktanya ialah semakin banyak terungkap sejarahnya,
semakin jelas diakui bahwa peradaban mereka telah mempersiapkan dasar
untuk lahirnya kebudayaan dunia masa kini. Pada waktu sekarang adalah
wajar mengatakan bahwa kesadaran terhadap peradaban Timur Tengah masa
lalu menjadi sangat penting bagi penelaah-penelaah humanitas,
khususnya sejarah kebudayaan.1
Seperti halnya permasalahan yanga ada dibelahan Timur Tengah,
konflik yang seakan menjadi efek domino dari penyebaran sistem
demokrasi seperti yang dirasakan Mesir, Libia dan negara Timur Tengah
lainnya yang terbebas dari otoriterian pemerintahan yang berlangsung
lama di negara-negara tersebut.
Transisi demokrasi yang terjadi
di negara-negara Timur Tengah menghadapi tantangan ketika sebuah
rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang bertujuan untuk
mengakhiri pergolakan politik di Suriah ditolak oleh Rusia dan China.
Penolakan ini memperlihatkan, pihak-pihak yang bertikai di negara
itu, baik pemerintah maupun oposisi, telah menggalang dukungan dari
masyarakat internasional. Tanpa disadari dukungan semacam itu semakin
mempertajam perbedaan pandangan antara pihak pemerintah dengan
oposisi. Akibatnya peluang terjadinya proses transisi demokrasi yang
berlangsung secara damai semakin sulit tercapai. Kebenaran
tentang konflik yang ada saat itu tidak dengan mudah kita simpulkan
siapa yang menjadi pihak benar ataupun salah, karena semuanya berakar
dari sejarah yang menuntun mereka. Sejarah dapat dianalogikan sebagai
jaring laba-laba yang tersusun dengan rapi dan saling terkait satu
dengan lainnya. Jika satu jaring saja putus, maka keterputusan
sejarah akan fatal. Seperti halnya dalam penulisan sejarah ummat
Islam mulai dikerjakan pada pertengahan abad ke 2/8, di masa
pemerintahan dinasti Abbasiyah. Semua aktivitas penulisan sejarah ini
berpusat di Irak. Selama abad 1H/7M tidak diperoleh satu catatan pun
tentang penulisan-penulisan sejarah serupa yang dilakukan oleh
sarjana-sarjana yang berdiam diluar Irak, baik Syria, di Arab maupun
di Mesir.2
Menilik kedalam konflik Suriah
sendiri disebabkan oleh adanya pemberontakan terhadap pemerintah
Suriah yang diawali dengan demonstrasi rakyat Suriah yang menuntut
pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan
pemerintahannya dan mengakhiri lima dekade pemerintahan partai
Ba’ath. Pemberontak yang bersatu di bawah bendera Tentara
Pembebasan Suriah berjuang dengan cara yang semakin terorganisir.
Pihak oposisi sendiri didominasi oleh Muslim Sunni. Demonstrasi
publik dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkembang menjadi
pemberontakan nasional. Konflik Suriah lahir dari Musim Semi Arab
yang ‘sejiwa’ dengan revolusi lainnya di kawasan Timur Tengah.3
Pembenaran akan satu pihak dengan menyalahkan pihak lain, seperti
halnya yang dijelaskan penulis diatas bahwa golongan Sunni yang
menjadi pihak oposisi terhadap kesewenangan pemerinah yang dalam hal
ini golongan Syi’ah merupakan cambukan kuat untuk seluruh ummat
Islam yang ada diseluruh dunia tentang keberpihakannya dalam konflik
yang sedari dulu berkecamuk. Bukan yang pertama kali ini Suriah
menghadapi masalah dalam negeri yang mengundang intervensi luar.
Ketika Hafez al Assad, ayah dari Bashar al Assad, berkuasa, Suriah
juga menarik perhatian internasional ketika terjadi kerusuhan di kota
Hama tahun 1982 yang menewaskan ribuan orang. Tragedi itu terjadi
ketika Presiden Hafez al Assad memerintahkan pasukannya untuk
menghabisi demonstrasi yang digalang oleh kelompok Muslim
Brotherhood. Kelompok ini
berkembang pada tahun 1970-an di Hama sebagai cabang dari Muslim
Brotherhood di Mesir.
Muslim
Brotherhood menghendaki reformasi politik, termasuk diberikannya
hak-hak sipil warga negara, pengakhiran penyiksaan yang biasa
dilakukan oleh regim berkuasa terhadap siapa saja yang dianggap
melawan, dan penegakan rule of the law. Pada bulan Februari
1982, Muslim Brotherhood menyerang unit militer Suriah yang
sedang mencari anggota oposisi di Hama dan mengambil alih serta
menguasai kota. Presiden Hafez al Assad menjawab aksi itu dengan
mengirim 12.000 tentara.
Operasi penumpasan pemberontakan
di Hama berlangsung selama 3 minggu. Hama dikepung tentara yang
diperkuat kendaraan lapis baja dan tank. Helikopter-helikopter
militer terus menerus menerjunkan pasukan dan menghancurkan wilayah
pemukiman penduduk. Pertempuran di Hama berlangsung begitu sengit
sehingga banyak pihak menyebutnya sebagai pertempuran yang
menentukan. Sebab salah satu pihak yang memenangkan pertempuran
diperkirakan akan mengambil alih kekuasaan. Pertempuran di Hama ini
pada akhirnya berubah menjadi perang saudara karena tentara yang
berasal dari daerah itu membelot dan berbalik melawan pasukan
pemerintah. Jumlah korban tewas dalam pertempuran itu hingga kini
masih menjadi perdebatan. Mereka yang bersimpati kepada pemerintahan
Hafez al Assad mengatakan bahwa korban tewas sekitar 3.000 orang.
Namun para pengritik Hafez al Assad mengatakan korban tewas mencapai
20.000 orang. Suriah akhirnya mendapat julukan sebagai negara polisi
paling opresif di dunia.4
Setelah sang ayah menguncang
dunia dengan tragedi Hama, kini sang anak mengikuti jejak tersebut
dengan peristiwa Homs. Kota Homs merupakan pusat pemberontakan dan
revolusi selama 10 bulan terakhir, yang menuntut turunnya Presiden
Bashar Al Assad. Serangan mortir yang dilakukan pasukan Suriah di
Kota Homs pada hari Jum’at tanggal 2 Februari lalu telah menewaskan
setidaknya 217 orang. Apa yang terjadi di kota Homs hanyalah salah
satu dari sekian banyak aksi kekerasan oleh aparat keamanan Suriah
yang menewaskan lebih dari 5000 orang tewas di seluruh negeri sejak
demontrasi yang menuntut Suriah lebih demokratis dan pluralis dimulai
awal tahun 2011. Karena itu, tidak kurang dari Sekjen PBB Ban Ki Moon
memperingatkan Presiden Bashar al Assad agar berhenti membantai
rakyatnya sendiri. Menurut Ba Ki Moon, angin perubahan telah
berhembus kencang di Suriah sehingga tidak ada gunanya dihentikan
dengan aksi-aksi kekerasan.5
Dengan tragedi demonstran dan
menumpahkan darah yang begitu banyak tak akan dilupakan oleh seluruh
saksi mata diseluruh dunia. Beberapa kelompok yang menganggap hal ini
sebagai bentuk kemanusiaan yang perlu diperhatikan, dan ada pula
kelompok yang berpihak untuk kepentingan kelompoknya. Kelompok yang
mengatasnamakan Muslim Brotherhood sejatinya memang terdiri
dari beberapa golongan yang memihak kebenaran dari kaca mata atau
cara pandang kebenaran yang mereka pahami. Sehingga kelompok ini
dijadikan kelompok oposisi atau pemberontak oleh pemerintahan Suriah
sejak pemerintahan Hafez al Assad sampai saat ini. Beberapa aktor
kelompok kepentingan yang dijadikan penulis dalam hal ini sebagai
sekte yang berada dalam suatu kelompok atau golongan, baik oposisi
maupun pemerintahan yang berdaulat. Pada poin selanjutnya akan
dijelaskan tentang keterkaitan isu yang di angkat oleh penulis dengan
sekte yang berperan didalamnya. Maka dari itu pendefinisian tentang
sektarianisme akan diulas lebih lanjut.
Keberpihakan Sektarianisme
Politik aliran (sectarian)
merupakan konsekuensi lain dari bentuk-bentuk struktur sosial. Konsep
sektarian pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam
kajiannya di Jawa Timur. Ia mengatakan bahwa ada tiga golongan dalam
masyarakat Jawa, yaitu golongan santri, golongan priyayi, dan
golongan abangan. Ketiga golongan itu memiliki aliran yang
berbeda-beda satu sama lain sehingga hubungan diantara ketiganya
diwarnai oleh sikap saling curiga, terutama mengenai gagasan-gagasan
yang mereka bawa dan mereka yakini masing-masing.
Akan Tetapi dalam Konsep
sosiologi mengenai sekte dan gerakan kepercayaan biasanya mengacu
pada kelompok religius atau kelompok semu, kecil maupun besar, dengan
bentuk organisasi yang sederhana maupun rumit yang oleh
anggota-anggotanya atau bukan anggotanya dianggap sebagai sebuah
penyimpangan dalam hubungannya dengan konteks doktrin dan budaya yang
lebih luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi
non-pengikut namun memiliki konotasi positif bagi para pengikutnya.
Dalam hal ini perlu memperlakukan ‘kelompok semu’ sama dengan
kelompok lainnya: kelompok yang dinilai sektarian cenderung
menjunjung solidaritas internal kelompok dan identifikasi personal
kelompoknya, sedangkan kelompok semu yang bersifat gerakan
kepercayaan tidak mampu secara sistematis menciptakan kohesi
kelompoknya dan melakukan pertukaran ide.
Ada dua alasan mengapa selama ini
sekte lebih sering dipelajari dari pada gerakan kepercayaan. Pertama,
untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya,
dan para ilmuwan sosial biasa menggunakan istilah ‘sekte’. Kedua,
meskipun sekte sudah dikenal sebagai istilah yang merendahkan (umat
Kristen sudah lama memakai istilah ini untuk menyatakan perbuatan
murtad yang menyimpang dari doktrin resmi), para ahli sosiologi di
abad 20 sudah memakai istilah tersebut tanpa menyiratkan penilaian
apapun. Orientasi ini timbul dari pandangan para ilmuwan bahwa
sejarah agama Kristen (dan mungkin juga agama-agama besar lain)
dicirikan dengan hubungan yang saling mempengaruhi antara heterodoksi
sektarian (sectarian heterodoxy) dan ortodoksi gereja (churchly
orthodoxy. Orientasi ini juga berasal dari argumen bahwa beberapa
gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap perkembangan
konsepsi barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan
demokrasikhususnya sekte-sekte Protestan abad 17. Dalam ini penulis
menekankan bahwa pada kelompok yang mengatasnamakan Muslim
Brotherhood sejatinya memang terdiri dari beberapa sekte yang
berlandaskan nama laskar jihad. Sehingga disetiap laskar jihad yang
mendiami Suriah sedari pemerintahan Hafez al Assad yang awalnya
bertindak atas nama solidaritas Muslim Brotherhood beralih kepada
kepentingan kelompok setiap sekte. Seperti yang dijelaskan oleh Mehdi
Hassan seorang Syiah asli Inggris yang konsen terhadap kajian konflik
Timur Tengah dan an award-winning British journalist, broadcaster,
author and political commentator dalam pidato orasinya. Mahmed
Hassan mengatakan bahwa, “Remember whether we are Sunni or Shia
we face the same challenges and obstacles, we face the same
ISLAMOPHOBIA, and anti-Muslims bigotry, the same debate about
RADICALIZATION and EXTREMISM, the same attack on our dress cloth and
HALAL MEAT that we eat. we need to stick together, support one
another, have empathy with one another.” “konflik Suriah
bukan konflik saudara antara Sunni dan Syi’ah, akan tetapi ini
adalah Middle East Politics, Arab Politics and Sekratianism
Politics.”6
Di sisi sebaliknya, gerakan
kepercayaan tidak memiliki pengaruh inovatif pada masyarakat. Gerakan
kepercayaan tidak mau menjadi kelompok terpencil. Mereka memberikan
keuntungan konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan pandangan
komprehensif dan konsep-konsep tentang keselamatan sebagaimana
biasanya disampaikan sekte-sekte religius. Upaya membedakan sekte dan
gerakan kepercayaan menjadi makin sulit di tahun 1970-an, karena
makin maraknya berbagai kelompok ‘pergerakan agama baru’ yang
kontroversial (banyak di antaranya terinspirasi oleh ide-ide atau
pemimpin non barat). Para wartawan dan pemimpin gerakan kemudian
menjulukinya sebagai gerakan kepercayaan yang bertujuan mendorong
kontrol hukum atas berbagai kegiatan mereka, khusunya teknik dan
metode konversi dalam mempertahankan calon pengikut. Namun banyak
dari gerakan baru ini lebih tepat disebut sekte dari sudut pandang
sosiologis.
Banyak perspektif modern
menunjukkan pengaruh Richard Niebuhr, penulis buku The Social Sources
of Denominationalism (1929), yang memfokuskan perhatiannya pada
macam-macam keadaan sosial dan ekonomi yang mendorong individu
bergabung dengan gerakan religius yang menyimpang, dan juga
memfokuskan pada derajat dan kerangka di mana sekte religius menjauh
dari suatu penyimpangan menuju posisi yang lebih umum di tengah
masyarakat. Di bawah pengaruh Niebuhr, dan dengan referensi khusus
pada masyarakat Amerika Utara dan Inggris, posisi ini dapat
digolongkan dengan istilah organisasi religius dari tipe
denominational. Dalam perspektif ini, denominasi dilihat sebagai
jalan tengah antara sekte yang menuntut partisipasi penuh dari
pengikutnya dan memposisikan dalam suatu hubungan negatif dengan
masyarakat yang lebih luas dan Gereja yang lebih terfokus pada
masyarakat dan karenanya tidak menuntut anggotanya untuk melawan
budaya masyarakat luas. Para ahli sosiologi yang melakukan
investigasi terhadap isu ini menyimpulkan bahwa sekte yang mencari
anggota sebanyak mungkin cenderung melupakan komitmen awal mereka,
sementara sekte yang menekankan pada doktrin esoterik (yang dipahami
oleh orang-orang tertentu saja), mempunyai kemungkinan lebih kecil
untuk melakukan hal demikian (untuk mana ‘imbalannya’ adalah
kelompoknya tetap kecil). Dewasa ini, kajian mengenai sekte mencapai
fase baru, sedangkan kajian tentang gerakan kepercayaan termasuk
keadaan di mana gerakan kepercayaan mengalami transformasi menjadi
sekte dibangkitkan kembali.7
Relevansi yang dipakai penulis
tentang sektarianisme yang ada pada konflik Suriah dengan apa yang
diuraikan diatas sangat tepat. Pada poin diatas terkait kelompok yang
dinilai sektarian cenderung menjunjung solidaritas internal kelompok
dan identifikasi personal kelompoknya memang terlihat jelas saat satu
kelompok yang merasa dirinya benar dalam koloninya dan menganggap
kelompok lain salah. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif
bagi non-pengikut namun memiliki konotasi positif bagi para
pengikutnya. Kecenderungan sektarian kelompoknya juga memicu
solidaritas lebih tinggi dan kuat. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa
dalam kelompok sektarian tersebut memiliki kepentingan yang dibawa
kelompok tersebut. Kepentingan yang dibawa satu kelompok terhadap
kelompok lainnya menimbulkan konflik yang berpengaruh terhadap
pengkultusan pembenaran yang dibawa kelompok tersebut. Maka dari itu,
pada poin selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang keterkaitan
sektarianisme terhadap kelompok kepentingan yang ada pada konflik di
Suriah.
Kelompok Kepentingan
Mengenai
batasan atau pengertian kelompok kepentingan, Eugene J. Kolb dalam
bukunya yang berjudul A Framework for
Political Analysis menyatakan sebagai
berikut ……..” a collectivity of
individuals who either formally organize or informally cooperate to
protect or promote some common, similar, identical, or shared
interest or goal. Kemudian J.
Denis Debyshire mendefinisikan kelompok kepentingan sebagai suatu
organisasi yang didirikan untuk mewakili, mempromosikan dan
mempertahankan sebuah kepentingan tertentu atau sekumpulan
kepentingan. Kemudian untuk melihat menjadikan adanya
keterkaitan dengan uraian yang penulis tulis diatas tentang
sektarianisme ini dikemukakan secara ringkas
tentang strategi-strategi yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan
dalam menyalurkan tuntutan-tuntutan mereka menurut Gabriel A. Almond
sebagai berikut:
- Demonstrasi dan tindakan kekerasan adalah merupakan salah satu saluran yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan untuk menyatakan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutannya. Demonstrasi dan tindakan kekerasan (yang didalamnya termasuk huru-hara, kerusuhan, konfrontasi, dan lain-lainnya) merupakan saluran yang sering dipergunakan oleh kelompok kepentingan anomik. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi kelompok-kelompok kepentingan yang lainnya untuk mempergunakan saluran ini. Biasanya kelompok-kelompok kepentingan yang lainnya (yang bukan kelompok kepntingan anomik) mempergunakan saluran ini dikarenakan saluran-saluran yang lainnya (saluran yang sifatnya konvensional, seperti perwakilan langsung) sudah tertutup untuk dapat mencapai dan mempengaruhi para pembuat keputusan. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan secara spontan oleh kelompok kepentingan anomik, dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh setiap kelompok kepentingan lainnya untuk menyatakan tuntutannya.
- Media massa – termasuk didalamnya adalah televisi, radio, surat kabar, dan majalah – adalah merupakan salah satu saluran untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutan dari kelompok kepentingan. Pada tiap-tiap masyarakat atau negara, peranan media massa untuk megkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutan dari kelompok kepentingan berbeda-beda.8
Implikasi yang terjadi pada
konflik Suriah memang tak akan terelakan dari demonstrasi, baik
demonstrasi dalam bentuk kemanusiaan maupun dalam bentuk penindasan
atas nama tirani pemerintahan yang berkuasa. Sehingga menyebabkan
paradoks bagi kelompok yang berada diluar konflik tersebut antara
penghukuman salah dan benar dengan peran media massa yang sangat
mempengaruhi perspektif atau kebijakan publik tentang penilaian
konflik yang terjadi di Suriah. Kemudian pihak yang mengatasnamakan
kemanusiaan lebih melihat konflik Suriah sebagai pelanggaran HAM yang
tersistem. Hal ini dimaksudkan dengan pembantaian yang dilakukan
pemerintahan Suriah akan kelompok yang mengatasnamakan Muslim
Brotherhood dari golongan Sunni terjadi tidak hanya sekali, akan
tetapi terjadi berulang kali dan terjadi dibeberapa tempat yang ada
di Suriah. Bahwa terdapat kaitan antara pelanggaran HAM di dalam
konflik bersenjata atau peperangan antara dua kudu di Suriah. Perang
merupakan peristiwa yang sudah berlangsung secara berulang-ulang.
Pada kenyataanya perang dilakukan secara luas tanpa ada aturan yang
banyak menimbulkan kerugian serta penderitaan bagi umat manusia.
Karena perang selalu membawa dampak yang merugikan bagi para pihak
yang berperang maka dibuatlah hukum humaniter untuk mengatur tata
cara berperang.
Melihat perseteruan yang terjadi,
oposisi bersenjata bertekad menyingkirkan mereka. Hasilnya adalah
perang tiada henti. Usaha untuk mengakhiri perang saudara tersebut
telah dilakukan oleh banyak pihak, akan tetapi tanpa suatu
perundingan perdamaian, kecuali salah satu pihak kalah dalam
pertempuran maka perang kan terus berlanjut dan itu akan menambah
penderitaan rakyat Suriah. Oleh karena itu oposisi dan rezim Damaskus
harus mencapai suatu kesepakatan untuk berdamai.
Pertempuran yang memakan korban
dan cucuran darah yang jika meminjam istilah dari Amarthya Sen
merupakan proses suatu negara mencapai pembangunannya. Karena suatu
negara terlihat akan pembangunan yang pesat dinegara tersebut dilihat
dari cucuran darah dan banyaknya korban yang berjatuhan dijadikan
sebagai proses. Tetapi jika kita masukan kedalam perihal kemanusiaan,
hal ini sangatlah bertentangan. Jika kita melihat pembicara asal
Inggris Mahmed Hassan berbicara tentang konflik yang terjadi di
Suriah merupakan bukan konflik antara Sunni dan Syi’ah, akan tetapi
semua ini merupakan politik yang terjadi di Timur Tengah. Konflik ini
merupakan efek dari Middle East Spring yang menghampiri Suriah,
sebagai negara otoriterianisme yang dibawa hanya oleh beberapa aktor
politik saja. Sehingga ajakan Demokratisasi menghampiri Suriah. Walau
memakan banyak korban. Banyaknya korban jika dilihat dari kaca mata
ilmu politik merupakan suatu efek dari demokratisasi yang harus
dipilih dari negara Suriah, seperti yang menghinggapi negara Mesir,
Libia dll.
Daftar Pustaka
Buku:
- Kuncahyono, Trias., 2012. Musim Semi di Suriah. Jakarta. PT Kompas Nusantara.
- Cantwell Smith, Wilfred., 1969. Islam in Modern History. New York. Mentor Bokk.
- Budiyanto., 1997. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Jakarta. Erlangga.
Web:
- http://arti-definisi-pengertian.info/pengertian-sekte-dan-gerakan-kepercayaan/ [diakses pada 11 April 2016 Pukul 11.48]
- https://www.youtube.com/watch?v=WMXiRTajigo [diakses pada 12 April 2016 Pukul 19.36]
Jurnal:
1
Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik
Metodologis. PLP2M. Hal. 18
2
Wilfred Cantwell Smith. Islam in Modern History. Mentor Bokk.
Hal 4
3
Trias Kuncahyono. Musim Semi di Suriah. PT Kompas Nusantara.
Hal. 247
4
Humphrey Wangke. Krisis Politik
dan Konflik Kepentingan di Suriah. ISSN:
2088-2351. Vol. IV,
No. 03/I/P3DI/Februari/2012. Hal. 02.
5
Ibid.
6 https://www.youtube.com/watch?v=WMXiRTajigo
8
Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Hal. 48