Sabtu, 16 April 2016

Bias Sekterianisme Konflik Suriah: Implikasi Terhadap Kemanusiaan Sebagai Bentuk Politisasi Arab Spring

Oleh: Rijal A. Mohammadi
Pendahuluan
Sejarah umat Islam tidak terlepas dari sejarah Timur Tengah atau Middle East, karena asal muasal peradaban Islam berasal dari sana. Walaupun demikian sejarah tentang Timur Tengah untuk saat ini tak mencerminkan atau merepresentasikan Islam untuk seluruh dunia, karena corak budaya Islam di setiap negeri bermacam-macam keberagamannya. Julian Obermann (1969) mengakui bahwa kebutuhan mempelajari Timur Tengah (baca: Islam) secara konprehensif termasuk kebudayaannya dalam keseluruhan aspeknya, kini terasa lebih ‘urgen’. Faktanya ialah semakin banyak terungkap sejarahnya, semakin jelas diakui bahwa peradaban mereka telah mempersiapkan dasar untuk lahirnya kebudayaan dunia masa kini. Pada waktu sekarang adalah wajar mengatakan bahwa kesadaran terhadap peradaban Timur Tengah masa lalu menjadi sangat penting bagi penelaah-penelaah humanitas, khususnya sejarah kebudayaan.1 Seperti halnya permasalahan yanga ada dibelahan Timur Tengah, konflik yang seakan menjadi efek domino dari penyebaran sistem demokrasi seperti yang dirasakan Mesir, Libia dan negara Timur Tengah lainnya yang terbebas dari otoriterian pemerintahan yang berlangsung lama di negara-negara tersebut.
Transisi demokrasi yang terjadi di negara-negara Timur Tengah menghadapi tantangan ketika sebuah rancangan Resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang bertujuan untuk mengakhiri pergolakan politik di Suriah ditolak oleh Rusia dan China. Penolakan ini memperlihatkan, pihak-pihak yang bertikai di negara itu, baik pemerintah maupun oposisi, telah menggalang dukungan dari masyarakat internasional. Tanpa disadari dukungan semacam itu semakin mempertajam perbedaan pandangan antara pihak pemerintah dengan oposisi. Akibatnya peluang terjadinya proses transisi demokrasi yang berlangsung secara damai semakin sulit tercapai. Kebenaran tentang konflik yang ada saat itu tidak dengan mudah kita simpulkan siapa yang menjadi pihak benar ataupun salah, karena semuanya berakar dari sejarah yang menuntun mereka. Sejarah dapat dianalogikan sebagai jaring laba-laba yang tersusun dengan rapi dan saling terkait satu dengan lainnya. Jika satu jaring saja putus, maka keterputusan sejarah akan fatal. Seperti halnya dalam penulisan sejarah ummat Islam mulai dikerjakan pada pertengahan abad ke 2/8, di masa pemerintahan dinasti Abbasiyah. Semua aktivitas penulisan sejarah ini berpusat di Irak. Selama abad 1H/7M tidak diperoleh satu catatan pun tentang penulisan-penulisan sejarah serupa yang dilakukan oleh sarjana-sarjana yang berdiam diluar Irak, baik Syria, di Arab maupun di Mesir.2
Menilik kedalam konflik Suriah sendiri disebabkan oleh adanya pemberontakan terhadap pemerintah Suriah yang diawali dengan demonstrasi rakyat Suriah yang menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya dan mengakhiri lima dekade pemerintahan partai Ba’ath. Pemberontak yang bersatu di bawah bendera Tentara Pembebasan Suriah berjuang dengan cara yang semakin terorganisir. Pihak oposisi sendiri didominasi oleh Muslim Sunni. Demonstrasi publik dimulai pada tanggal 26 Januari 2011, dan berkembang menjadi pemberontakan nasional. Konflik Suriah lahir dari Musim Semi Arab yang ‘sejiwa’ dengan revolusi lainnya di kawasan Timur Tengah.3 Pembenaran akan satu pihak dengan menyalahkan pihak lain, seperti halnya yang dijelaskan penulis diatas bahwa golongan Sunni yang menjadi pihak oposisi terhadap kesewenangan pemerinah yang dalam hal ini golongan Syi’ah merupakan cambukan kuat untuk seluruh ummat Islam yang ada diseluruh dunia tentang keberpihakannya dalam konflik yang sedari dulu berkecamuk. Bukan yang pertama kali ini Suriah menghadapi masalah dalam negeri yang mengundang intervensi luar. Ketika Hafez al Assad, ayah dari Bashar al Assad, berkuasa, Suriah juga menarik perhatian internasional ketika terjadi kerusuhan di kota Hama tahun 1982 yang menewaskan ribuan orang. Tragedi itu terjadi ketika Presiden Hafez al Assad memerintahkan pasukannya untuk menghabisi demonstrasi yang digalang oleh kelompok Muslim Brotherhood. Kelompok ini berkembang pada tahun 1970-an di Hama sebagai cabang dari Muslim Brotherhood di Mesir.
Muslim Brotherhood menghendaki reformasi politik, termasuk diberikannya hak-hak sipil warga negara, pengakhiran penyiksaan yang biasa dilakukan oleh regim berkuasa terhadap siapa saja yang dianggap melawan, dan penegakan rule of the law. Pada bulan Februari 1982, Muslim Brotherhood menyerang unit militer Suriah yang sedang mencari anggota oposisi di Hama dan mengambil alih serta menguasai kota. Presiden Hafez al Assad menjawab aksi itu dengan mengirim 12.000 tentara.
Operasi penumpasan pemberontakan di Hama berlangsung selama 3 minggu. Hama dikepung tentara yang diperkuat kendaraan lapis baja dan tank. Helikopter-helikopter militer terus menerus menerjunkan pasukan dan menghancurkan wilayah pemukiman penduduk. Pertempuran di Hama berlangsung begitu sengit sehingga banyak pihak menyebutnya sebagai pertempuran yang menentukan. Sebab salah satu pihak yang memenangkan pertempuran diperkirakan akan mengambil alih kekuasaan. Pertempuran di Hama ini pada akhirnya berubah menjadi perang saudara karena tentara yang berasal dari daerah itu membelot dan berbalik melawan pasukan pemerintah. Jumlah korban tewas dalam pertempuran itu hingga kini masih menjadi perdebatan. Mereka yang bersimpati kepada pemerintahan Hafez al Assad mengatakan bahwa korban tewas sekitar 3.000 orang. Namun para pengritik Hafez al Assad mengatakan korban tewas mencapai 20.000 orang. Suriah akhirnya mendapat julukan sebagai negara polisi paling opresif di dunia.4
Setelah sang ayah menguncang dunia dengan tragedi Hama, kini sang anak mengikuti jejak tersebut dengan peristiwa Homs. Kota Homs merupakan pusat pemberontakan dan revolusi selama 10 bulan terakhir, yang menuntut turunnya Presiden Bashar Al Assad. Serangan mortir yang dilakukan pasukan Suriah di Kota Homs pada hari Jum’at tanggal 2 Februari lalu telah menewaskan setidaknya 217 orang. Apa yang terjadi di kota Homs hanyalah salah satu dari sekian banyak aksi kekerasan oleh aparat keamanan Suriah yang menewaskan lebih dari 5000 orang tewas di seluruh negeri sejak demontrasi yang menuntut Suriah lebih demokratis dan pluralis dimulai awal tahun 2011. Karena itu, tidak kurang dari Sekjen PBB Ban Ki Moon memperingatkan Presiden Bashar al Assad agar berhenti membantai rakyatnya sendiri. Menurut Ba Ki Moon, angin perubahan telah berhembus kencang di Suriah sehingga tidak ada gunanya dihentikan dengan aksi-aksi kekerasan.5
Dengan tragedi demonstran dan menumpahkan darah yang begitu banyak tak akan dilupakan oleh seluruh saksi mata diseluruh dunia. Beberapa kelompok yang menganggap hal ini sebagai bentuk kemanusiaan yang perlu diperhatikan, dan ada pula kelompok yang berpihak untuk kepentingan kelompoknya. Kelompok yang mengatasnamakan Muslim Brotherhood sejatinya memang terdiri dari beberapa golongan yang memihak kebenaran dari kaca mata atau cara pandang kebenaran yang mereka pahami. Sehingga kelompok ini dijadikan kelompok oposisi atau pemberontak oleh pemerintahan Suriah sejak pemerintahan Hafez al Assad sampai saat ini. Beberapa aktor kelompok kepentingan yang dijadikan penulis dalam hal ini sebagai sekte yang berada dalam suatu kelompok atau golongan, baik oposisi maupun pemerintahan yang berdaulat. Pada poin selanjutnya akan dijelaskan tentang keterkaitan isu yang di angkat oleh penulis dengan sekte yang berperan didalamnya. Maka dari itu pendefinisian tentang sektarianisme akan diulas lebih lanjut.
Keberpihakan Sektarianisme
Politik aliran (sectarian) merupakan konsekuensi lain dari bentuk-bentuk struktur sosial. Konsep sektarian pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz dalam kajiannya di Jawa Timur. Ia mengatakan bahwa ada tiga golongan dalam masyarakat Jawa, yaitu golongan santri, golongan priyayi, dan golongan abangan. Ketiga golongan itu memiliki aliran yang berbeda-beda satu sama lain sehingga hubungan diantara ketiganya diwarnai oleh sikap saling curiga, terutama mengenai gagasan-gagasan yang mereka bawa dan mereka yakini masing-masing.
Akan Tetapi dalam Konsep sosiologi mengenai sekte dan gerakan kepercayaan biasanya mengacu pada kelompok religius atau kelompok semu, kecil maupun besar, dengan bentuk organisasi yang sederhana maupun rumit yang oleh anggota-anggotanya atau bukan anggotanya dianggap sebagai sebuah penyimpangan dalam hubungannya dengan konteks doktrin dan budaya yang lebih luas. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut namun memiliki konotasi positif bagi para pengikutnya. Dalam hal ini perlu memperlakukan ‘kelompok semu’ sama dengan kelompok lainnya: kelompok yang dinilai sektarian cenderung menjunjung solidaritas internal kelompok dan identifikasi personal kelompoknya, sedangkan kelompok semu yang bersifat gerakan kepercayaan tidak mampu secara sistematis menciptakan kohesi kelompoknya dan melakukan pertukaran ide.
Ada dua alasan mengapa selama ini sekte lebih sering dipelajari dari pada gerakan kepercayaan. Pertama, untuk keperluan tertentu, ternyata tidak penting membedakan keduanya, dan para ilmuwan sosial biasa menggunakan istilah ‘sekte’. Kedua, meskipun sekte sudah dikenal sebagai istilah yang merendahkan (umat Kristen sudah lama memakai istilah ini untuk menyatakan perbuatan murtad yang menyimpang dari doktrin resmi), para ahli sosiologi di abad 20 sudah memakai istilah tersebut tanpa menyiratkan penilaian apapun. Orientasi ini timbul dari pandangan para ilmuwan bahwa sejarah agama Kristen (dan mungkin juga agama-agama besar lain) dicirikan dengan hubungan yang saling mempengaruhi antara heterodoksi sektarian (sectarian heterodoxy) dan ortodoksi gereja (churchly orthodoxy. Orientasi ini juga berasal dari argumen bahwa beberapa gerakan sekte memberi pengaruh amat penting terhadap perkembangan konsepsi barat tentang individualisme, organisasi relawan, dan demokrasikhususnya sekte-sekte Protestan abad 17. Dalam ini penulis menekankan bahwa pada kelompok yang mengatasnamakan Muslim Brotherhood sejatinya memang terdiri dari beberapa sekte yang berlandaskan nama laskar jihad. Sehingga disetiap laskar jihad yang mendiami Suriah sedari pemerintahan Hafez al Assad yang awalnya bertindak atas nama solidaritas Muslim Brotherhood beralih kepada kepentingan kelompok setiap sekte. Seperti yang dijelaskan oleh Mehdi Hassan seorang Syiah asli Inggris yang konsen terhadap kajian konflik Timur Tengah dan an award-winning British journalist, broadcaster,  author and political commentator dalam pidato orasinya. Mahmed Hassan mengatakan bahwa, “Remember whether we are Sunni or Shia we face the same challenges and obstacles, we face the same ISLAMOPHOBIA, and anti-Muslims bigotry, the same debate about RADICALIZATION and EXTREMISM, the same attack on our dress cloth and HALAL MEAT that we eat. we need to stick together, support one another, have empathy with one another.” “konflik Suriah bukan konflik saudara antara Sunni dan Syi’ah, akan tetapi ini adalah Middle East Politics, Arab Politics and Sekratianism Politics.”6
Di sisi sebaliknya, gerakan kepercayaan tidak memiliki pengaruh inovatif pada masyarakat. Gerakan kepercayaan tidak mau menjadi kelompok terpencil. Mereka memberikan keuntungan konkrit dan khusus pada pengikut, jadi bukan pandangan komprehensif dan konsep-konsep tentang keselamatan sebagaimana biasanya disampaikan sekte-sekte religius. Upaya membedakan sekte dan gerakan kepercayaan menjadi makin sulit di tahun 1970-an, karena makin maraknya berbagai kelompok ‘pergerakan agama baru’ yang kontroversial (banyak di antaranya terinspirasi oleh ide-ide atau pemimpin non barat). Para wartawan dan pemimpin gerakan kemudian menjulukinya sebagai gerakan kepercayaan yang bertujuan mendorong kontrol hukum atas berbagai kegiatan mereka, khusunya teknik dan metode konversi dalam mempertahankan calon pengikut. Namun banyak dari gerakan baru ini lebih tepat disebut sekte dari sudut pandang sosiologis.
Banyak perspektif modern menunjukkan pengaruh Richard Niebuhr, penulis buku The Social Sources of Denominationalism (1929), yang memfokuskan perhatiannya pada macam-macam keadaan sosial dan ekonomi yang mendorong individu bergabung dengan gerakan religius yang menyimpang, dan juga memfokuskan pada derajat dan kerangka di mana sekte religius menjauh dari suatu penyimpangan menuju posisi yang lebih umum di tengah masyarakat. Di bawah pengaruh Niebuhr, dan dengan referensi khusus pada masyarakat Amerika Utara dan Inggris, posisi ini dapat digolongkan dengan istilah organisasi religius dari tipe denominational. Dalam perspektif ini, denominasi dilihat sebagai jalan tengah antara sekte yang menuntut partisipasi penuh dari pengikutnya dan memposisikan dalam suatu hubungan negatif dengan masyarakat yang lebih luas dan Gereja yang lebih terfokus pada masyarakat dan karenanya tidak menuntut anggotanya untuk melawan budaya masyarakat luas. Para ahli sosiologi yang melakukan investigasi terhadap isu ini menyimpulkan bahwa sekte yang mencari anggota sebanyak mungkin cenderung melupakan komitmen awal mereka, sementara sekte yang menekankan pada doktrin esoterik (yang dipahami oleh orang-orang tertentu saja), mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk melakukan hal demikian (untuk mana ‘imbalannya’ adalah kelompoknya tetap kecil). Dewasa ini, kajian mengenai sekte mencapai fase baru, sedangkan kajian tentang gerakan kepercayaan termasuk keadaan di mana gerakan kepercayaan mengalami transformasi menjadi sekte dibangkitkan kembali.7
Relevansi yang dipakai penulis tentang sektarianisme yang ada pada konflik Suriah dengan apa yang diuraikan diatas sangat tepat. Pada poin diatas terkait kelompok yang dinilai sektarian cenderung menjunjung solidaritas internal kelompok dan identifikasi personal kelompoknya memang terlihat jelas saat satu kelompok yang merasa dirinya benar dalam koloninya dan menganggap kelompok lain salah. Penyimpangan tersebut memiliki konotasi negatif bagi non-pengikut namun memiliki konotasi positif bagi para pengikutnya. Kecenderungan sektarian kelompoknya juga memicu solidaritas lebih tinggi dan kuat. Tetapi perlu diperhatikan, bahwa dalam kelompok sektarian tersebut memiliki kepentingan yang dibawa kelompok tersebut. Kepentingan yang dibawa satu kelompok terhadap kelompok lainnya menimbulkan konflik yang berpengaruh terhadap pengkultusan pembenaran yang dibawa kelompok tersebut. Maka dari itu, pada poin selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang keterkaitan sektarianisme terhadap kelompok kepentingan yang ada pada konflik di Suriah.
Kelompok Kepentingan
Mengenai batasan atau pengertian kelompok kepentingan, Eugene J. Kolb dalam bukunya yang berjudul A Framework for Political Analysis menyatakan sebagai berikut ……..” a collectivity of individuals who either formally organize or informally cooperate to protect or promote some common, similar, identical, or shared interest or goal. Kemudian J. Denis Debyshire mendefinisikan kelompok kepentingan sebagai suatu organisasi yang didirikan untuk mewakili, mempromosikan dan mempertahankan sebuah kepentingan tertentu atau sekumpulan kepentingan. Kemudian untuk melihat menjadikan adanya keterkaitan dengan uraian yang penulis tulis diatas tentang sektarianisme ini dikemukakan secara ringkas tentang strategi-strategi yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan dalam menyalurkan tuntutan-tuntutan mereka menurut Gabriel A. Almond sebagai berikut:
  • Demonstrasi dan tindakan kekerasan adalah merupakan salah satu saluran yang dipergunakan oleh kelompok kepentingan untuk menyatakan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutannya. Demonstrasi dan tindakan kekerasan (yang didalamnya termasuk huru-hara, kerusuhan, konfrontasi, dan lain-lainnya) merupakan saluran yang sering dipergunakan oleh kelompok kepentingan anomik. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi kelompok-kelompok kepentingan yang lainnya untuk mempergunakan saluran ini. Biasanya kelompok-kelompok kepentingan yang lainnya (yang bukan kelompok kepntingan anomik) mempergunakan saluran ini dikarenakan saluran-saluran yang lainnya (saluran yang sifatnya konvensional, seperti perwakilan langsung) sudah tertutup untuk dapat mencapai dan mempengaruhi para pembuat keputusan. Oleh karena itu, perlu dibedakan antara tindakan kekerasan yang dilakukan secara spontan oleh kelompok kepentingan anomik, dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh setiap kelompok kepentingan lainnya untuk menyatakan tuntutannya.
  • Media massa – termasuk didalamnya adalah televisi, radio, surat kabar, dan majalah – adalah merupakan salah satu saluran untuk mengkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutan dari kelompok kepentingan. Pada tiap-tiap masyarakat atau negara, peranan media massa untuk megkomunikasikan kepentingan-kepentingan ataupun tuntutan-tuntutan dari kelompok kepentingan berbeda-beda.8
Implikasi yang terjadi pada konflik Suriah memang tak akan terelakan dari demonstrasi, baik demonstrasi dalam bentuk kemanusiaan maupun dalam bentuk penindasan atas nama tirani pemerintahan yang berkuasa. Sehingga menyebabkan paradoks bagi kelompok yang berada diluar konflik tersebut antara penghukuman salah dan benar dengan peran media massa yang sangat mempengaruhi perspektif atau kebijakan publik tentang penilaian konflik yang terjadi di Suriah. Kemudian pihak yang mengatasnamakan kemanusiaan lebih melihat konflik Suriah sebagai pelanggaran HAM yang tersistem. Hal ini dimaksudkan dengan pembantaian yang dilakukan pemerintahan Suriah akan kelompok yang mengatasnamakan Muslim Brotherhood dari golongan Sunni terjadi tidak hanya sekali, akan tetapi terjadi berulang kali dan terjadi dibeberapa tempat yang ada di Suriah. Bahwa terdapat kaitan antara pelanggaran HAM di dalam konflik bersenjata atau peperangan antara dua kudu di Suriah. Perang merupakan peristiwa yang sudah berlangsung secara berulang-ulang. Pada kenyataanya perang dilakukan secara luas tanpa ada aturan yang banyak menimbulkan kerugian serta penderitaan bagi umat manusia. Karena perang selalu membawa dampak yang merugikan bagi para pihak yang berperang maka dibuatlah hukum humaniter untuk mengatur tata cara berperang.
Melihat perseteruan yang terjadi, oposisi bersenjata bertekad menyingkirkan mereka. Hasilnya adalah perang tiada henti. Usaha untuk mengakhiri perang saudara tersebut telah dilakukan oleh banyak pihak, akan tetapi tanpa suatu perundingan perdamaian, kecuali salah satu pihak kalah dalam pertempuran maka perang kan terus berlanjut dan itu akan menambah penderitaan rakyat Suriah. Oleh karena itu oposisi dan rezim Damaskus harus mencapai suatu kesepakatan untuk berdamai.
Pertempuran yang memakan korban dan cucuran darah yang jika meminjam istilah dari Amarthya Sen merupakan proses suatu negara mencapai pembangunannya. Karena suatu negara terlihat akan pembangunan yang pesat dinegara tersebut dilihat dari cucuran darah dan banyaknya korban yang berjatuhan dijadikan sebagai proses. Tetapi jika kita masukan kedalam perihal kemanusiaan, hal ini sangatlah bertentangan. Jika kita melihat pembicara asal Inggris Mahmed Hassan berbicara tentang konflik yang terjadi di Suriah merupakan bukan konflik antara Sunni dan Syi’ah, akan tetapi semua ini merupakan politik yang terjadi di Timur Tengah. Konflik ini merupakan efek dari Middle East Spring yang menghampiri Suriah, sebagai negara otoriterianisme yang dibawa hanya oleh beberapa aktor politik saja. Sehingga ajakan Demokratisasi menghampiri Suriah. Walau memakan banyak korban. Banyaknya korban jika dilihat dari kaca mata ilmu politik merupakan suatu efek dari demokratisasi yang harus dipilih dari negara Suriah, seperti yang menghinggapi negara Mesir, Libia dll.
Daftar Pustaka
Buku:
  • Kuncahyono, Trias., 2012. Musim Semi di Suriah. Jakarta. PT Kompas Nusantara.
  • Cantwell Smith, Wilfred., 1969. Islam in Modern History. New York. Mentor Bokk.
  • Budiyanto., 1997. Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Jakarta. Erlangga.
Web:
Jurnal:
  • Wangke, Humphrey., Vol. IV, No. 03/I/P3DI/Februari/2012. Krisis Politik dan Konflik Kepentingan di Suriah. ISSN: 2088-2351.
1 Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim: Suatu Kritik Metodologis. PLP2M. Hal. 18
2 Wilfred Cantwell Smith. Islam in Modern History. Mentor Bokk. Hal 4
3 Trias Kuncahyono. Musim Semi di Suriah. PT Kompas Nusantara. Hal. 247
4 Humphrey Wangke. Krisis Politik dan Konflik Kepentingan di Suriah. ISSN: 2088-2351. Vol. IV, No. 03/I/P3DI/Februari/2012. Hal. 02.
5 Ibid.
6 https://www.youtube.com/watch?v=WMXiRTajigo
8 Budiyanto, Dasar-dasar Ilmu Tata Negara, Erlangga, Hal. 48

1 komentar:

apaaja mengatakan...

saya mulai berpikir, mungkin orang-orang di Timur Tengah memang tidak cocok dengan demokrasi, mereka bisa lebih sejahtera dengan sistem emirate warisan budaya tribal mereka..
penilaian kita dan terutama barat bahwa orang-orang Arab "terbelakang" itu kan bisa jadi bias budaya Barat yg menempatkan individu di atas segalanya, beda dengan ciri komunal dan tribal di Arab..
hal itu yg dulu nggak dipahami betul oleh petinggi2 negara Eropa Barat yg seenaknya membuat "peta baru" bagi Timur Tengah stelah berhasil merebutnya dari imperium Turki..

Libya misalnya, mereka sejahtera di bawah Kadafi, sekang apa? Arab memang buth rezim emirat yg baik dan menghargai hak manusia, kemajuan dan kesejahteraan harus diikur dari kepuasan masyarakatnya sendiri, bukan dari asumsi pengamat asing

ngomong opo to hehehe.. mantap brooo.. nambah ilmu lagi,

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger