Oleh.
Rijal A. Mohammadi
Dengan
wajah yang berbeda, tiran selalu memiliki banyak cara untuk hadir dalam
kehidupan. Dulu, ia berperan dengan topeng penjajah kolonial. Ia juga pernah
menjelma menjadi sosok Hitler dan Stalin yang telah membunuh jutaan korban. Di
negeri ini, belum hilang dari ingatan sejarah kelam 32 tahun kita dipimpin
rezim orde baru yang bertindak sewenang-wenang.
Seberbeda
apapun, selalu ada sebuah kesamaan diantara mereka. Kebaikan dan kepentingan
yang lebih besar digunakan sebagai dalih untuk melakukan penindasan. Ditambah
satu ciri yang lain, tangisan penderitaan tak lagi didengar dan nurani
diabaikan.
Belum
lama bangsa ini menikmati euforia reformasi, sejarah kembali berulang. Laku
menindas dan kesewenang-wenangan kembali terjadi. Lagi, harga minyak yang
menjadi penggerak mesin perekonomian dan kehidupan rakyat dinaikan.
Penyelamatan APBN menjadi alasan, subsidi harus dicabut dan tak mengapa rakyat
menjadi korban.
Sebuah
alasan, atau hanya dalih kebohongan? Pemerintah terus mengatakan bahwa BBM
harus dinaikan karena harga minyak bumi internasional beringsut naik. Sebuah
pernyataan yang harus dipertanyakan tentunya.
Mungkin
asumsi itu benar, jika seluruh kebutuhan minyak bumi kita 100% dari impor. Tapi
faktanya, produksi minyak kita mencapai 930 ribu barel per hari. Kita “hanya”
mengimpor minyak 300ribu barel per hari. Sehingga asumsinya, harga BBM yang
mengikuti harga minyak global tidak seluruh kebutuhan kita, melainkan 300 ribu
barel tersebut.
Sekian
lama kita dicuci otak dan dibuat lupa kalau kita masih memproduksi minyak bumi.
Menurut perhitungan oleh ekonom Kwik Kian Gie, tidak benar jika subsidi
pemerintah meningkat. Pemerintah telah mengatakan hal yang tidak benar kepada
rakyat dengan mengatakan mengeluarkan uang tunai sebesar Rp. 126 triliun.
Mereka malah mengambil untung dari penjualan BBM Rp. 97,939 triliun per tahun
(sebagai dana bagi hasil APBN). Dengan menaikkan premium menjadi Rp. 6.000 per
liter, pemerintah akan mendapat keuntungan yang lebih besar lagi, Rp. 192,455
triliun.
Itu
merupakan perhitungan ekonomi murni, tanpa mempertimbangkan persoalan-persoalan
lain termasuk mengenai mafia minyak di Pertamina. PT. Petral, anak perusahaan
yang bergerak di bidang distribusi minyak, diduga kuat memainkan harga minyak
nasional. Dan tentu saja rakyat yang akan dirugikan. Belum lagi persoalan
korupsi yang sedang mennimpa petinggi-petinggi partai berkuasa. Tak hanya
mencederai, ditengah krisis keteladanan dan kepemimpinan nasional, perasaan
rakyat akan semakin hancur lebur jika harga BBM jadi dinaikan.
Entah
apa yang ada di pikiran pemimpin (baca: presiden) kita. Mungkin kegalauan dan
ke’alay’an telah benar-benar merasuk ke dalam benaknya. Dengan tatapan mata
yang datar, retorika yang penuh keluh kesah, mimik wajah yang pesimis, dan
pidato yang membosankan, tergambar jelas masa depan negeri kita yang penuh
dengan kusuraman.
Perhitungan
harga BBM adalah penuh kebohongan sehingga tidak boleh dinaikan. Lantas, apa
yang bisa kita lakukan? Pesimis dan putus asa jelas bukan pilihan. Terus lawan
dan tetap berjuang. Sejarah pasti berpihak pada kebenaran, dan cepat atau
lambat para tiran pasti akan tumbang.
Bersama
aksi ini, IMM Cabang AR Fakhruddin kota Yogyakarta dengan menuntut dan menyatakan
sikap:
1.
Tolak kenaikan harga BBM
2.
Transparansi dalam perhitungan
penentuan harga BBM
3.
Cabutan UU Migas nomor 22 tahun 2001
4.
Bubarkan PT.Petral dan usut tuntas
mafia minyak di Pertamina
5.
Nasionalisasi eksplorasi migas
nasional yang dikuasai asing
6.
Tolak SPBU asing di Indonesia
7.
Menyerukan kepada seluruh rakyat dan
elemen mahasiswa untuk turun ke jalan dan menyuarakan aksi penolakan kenaikan
harga BBM
Demikian
pernyataan sikap ini kami buat. Jika tuntutan kami tidak ditanggapi dan
dipenuhi, kami akan turun aksi kembali dengan masa aksi yang jauh lebih besar.
BillaahiFiiSabiililHaq
FastabiqulKhairaat