Jumat, 11 Oktober 2013

Bedah Buku Untold Story KH Ahmad Dahlan

0 komentar

edisi revisi tempat pindah ke aula lantai 3 PP Muh Cikdiktiro.
tolong dshare dan dihadiri ya acaranya,,,insyaallah bermanfaat,,
ada cara pandang lain dalam bedah buku ini terkait Muhammadiya dulu (KH Ahmad Dahlan) dan sekarang,,insyaallah kita punya pencerahan baru terkait Muhammadiyah dan aliran islam modernis (salafi reformis) dalam kacamata ke-Indonesiaan...terutama spirit revivalisme islamnya..sebagai kader Muhammadiyah kita perlu itu..
Read more ►

Rabu, 19 Juni 2013

TUHAN JANGAN KAU KUTUK PEMIMPIN KAMI

0 komentar


Tuhanku..
Ku lihat ibu pertiwi, penuh luka di hati
air matanya berlinang, merah darahnya mengalir deras
kau anugerahi ilhami kepada mereka dengan subsidi yang ada
kau ingatkan mereka dengan menaikan harga hidup
berapa bentuk adzab lagi dari engkau berikan dengan memberikan pemimpin bodoh kepada kami
pahlawan kami terlalu banyak, sampai kami tak kenal mana pahlawan bangsa kami
sampai kami tak kenal nabi pahlawan kami
Tuhanku. ..
kau kenalkan kami kebaikan dan keburukan
tapi kami enggan memilih mana yang baik untuk kami
kami merasa zuhud, tapi kami berhuraria
kami malu karna kami muna, tapi kami malu mengakuinya
Tuhanku. ..
salahkan mereka siapa yang merasa bersalah
tegurkan mereka yang terbiasantertegur dan menegur
tuhanku, jangan kau kutuk pemimpin kami
Read more ►

Selasa, 21 Mei 2013

BERTAHAN HIDUP: KISAH IBU YETI

0 komentar


(Sebuah analisa yang dilakukan oleh Rijal A. Mohammadi, diangkat dari kisah nyata aktivis Gerwani dan troumatik akibat pembantaian PKI tahun 60an. buku tidak dapat di sebutkan)
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anton Lucas
Berawal dari traumatic yang di alami oleh keluarga ibu Yeti setelah suaminya pergi ke China tanggal 21 September 1965 bersama-sama dengan kelompok yang dipimpin oleh Chaerul Sahleh. Mereka yang selamat dari upaya massacre tahun 1965-1969 tidak akan pernah ‘dibebaskan’  dengan cara, katakanlah seperti, dibebaskannya korban-korban kamp kosentrasi di Eropa pada akhir Perang Dunia II. Bertahan hidup adalah sesuatu yang sulit dalam waktu dekat setelah usaha kudeta 30 September 1965 yang gagal itu, tetapi kehidupan setelah berhasil selamat itu juga sulit. Baik itu di dalam maupun di luar penjara, para anggota dan orang-orang yang berhubungan dengan PKI menyaksikan keluarganya bercerai berai, kesehatan mereka menurun, dan karir mereka hancur. Istri-istri para tapol laki-laki menanggung beban yang berat dalam usahanya menjaga keutuhan keluarga, sambil bertarung dengan penyakit dan berusaha memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Tuisan ini menggambarkan beban psikologis ganda yang di tanggung oleh orang-orang yang berhasil selamat: lolos dari dengan segala pertanyaan tentang apa salahnya dan makna yang mengikutinya, dan tahun-tahun panjang yang menakutkan dalam kerja keras yang membosankan. Ibu Yeti bertekad bahwa dosa-dosa yang dituduhkan kepada orangtua harus jatuh seringan mungkin kepada anak-anaknya, dan menyaksikan anak-anaknya hidup mapan dengan pendidikan yang baik menjadi prioritasnya yang tinggi. Marjinalisasi yang dilakukan pasca kudeta 30 September 1965 membuat Ibu Yeti tidak akan pernah memaafkan Islam dan orang-orang muslim. Caci maki atas keguguran uang di alaminya, penjarahan rumahnya-bukan hanya perusanakan melainkan juga penjarahan-yang dilakukan oleh pemuda HMI yang meneriakkan “Allahuakbar, Allahuakbar”.
Selama masa pengadilan yang dijalankan setelah kudeta, gereja Katolik dan gereja Protestan berhasil menarik hati sejumlah korban marjinalitas pasca kudeta, termasuk Ibu Yeti. Dengan kerja-kerja amal yang mereka lakukan di penjara dank arena bantuan langsung yang mereka berikan dalampendidikan anak-anaknya. Kemurahan hati dan penantangan terhadap norma-norma sosial yang di tunjukan oleh pihak gereja menarik banyak orang untuk beralih ke agama mereka dan menjadi simpatisan gereja pada bulan-bulan dan tahun-tahun setelah terjadinya maccacre itu, tanpa melihat partisipan orang-orang Kristen dalam pembantaian di beberapa daerah. Rasa hormat Ibu Yeti terhadap gereja semakin memperbesar pertentangannya dengan keluarganya, dan dia berkata:
“saya benar-benar benci pada orangorang Islam. Seluruh keluarga saya beragama Islam. Meskipun mereka membantu saya, tetapi itu tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Saya disebut orang kafir. Ayah saya Islam, ia melakukan puasa dan shalat. Ia tidak suka saya dekat dengan gereja. Kami sering bertengkar”.
Bantuan yang diberikan oleh orang-orang Islam, baik secara perorangan maupun umat dan organisasi-organisasi amal bagi para korban dan orang-orang yang selamat dari pembantaian tidak disebut-sebut oleh Ibu Yeti. Meskipun orang-orang Islam membantu, tampaknya mereka melakukannya tidak sesering dan seterbuka orang-orang Kristen; mungkin karena polarisasi ideology antara Islam dan golongan kiri telah mencapai puncaknya pada tahun 1965, maka mereka yang membantu orang-orang yang diduga sebagai komunis akan dipandang sama dengan simpatisan komunis. Di pihak lain, gereja-gereja Kristen, sebagai pemain minor dalam kancah politik nasional dan dengan tradisi amal yang sudah lama mapan bersedia, dan mempunyai hasrat yang besar, untuk bekerja di kalangan pihak yang kalah.
Dari sekian banyak marjinalisasi yang dialami oleh Ibu Yeti dan keluarganya yang dilakukan oleh lingkungannya merupakan ingatan kelam masa lalu yang tidak mungkin di lupakan. Teringan saat sepulangnya Ibu Yeti dari perawatan pasca kegugurannya dari rumah sakit, terdapat banyak tulisan berupa hinaan, cacian dan sebagainya. Seperti ‘Gestapu kegugran’, tulisan ini terpampang besar di tembok rumahnya. Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1965 pukul 12 tengah hari kerumunan orang dewasa dan anak-anak mulai melempari rumahnya dengan batu.
Terhitung 4 hari setelah penganiaian yang dialami oleh Ibu Yeti itu, dia digiring ke penjarah dan kemudian ditangkap selama kurang lebih 3 bulan. Dalam penahanan itu, ha-hal kekejaman yang dirasakan oleh Ibu Yeti, seperti orang hanya mendapat sepotong temped an sayur kangkung yang tidak bersih, karena masih ada batang dan serabut-serabutnya. Disamping itu di dalam proses penyembuhan akhir pasca keguguran yang dialaminya, sehingga dia menjadi kurus karena tidak makan apa-apa.
Beberapa hari kemudian para polisi mengirimkan para tapol itu secara bertahap ke Kodim Jatinegara. Ibu Yeti merupakan tahanan ketiga yang dikirim ke Kodim tersebut. Para tahanan termasuk Ibu Yeti berada di Kodim Jatinegara selama 3 bulan. Menjelang Maret 1966 tidak ada lagi di Kodim itu, karena semuanya terlah di pindahkan ke penjara Bukitduri. Ibu Yeti merupakan orang ketiga terakhir yang dipindahkan. Setibanya di sana Ibu Yeti bertemu dengan teman-teman sesame aktivis Gerwani yang kemudian menenyainya. “Ngapain kamu di sini?” tangga mereka, “kenapa kamu kurus sekali?” “yah, aku tidak tahu kenapa aku ada di sini,” jawab dia.
Pada suatu hari ada seorang wakil (komandan) Sani Gondo namanya, dia beragama Kristen dan biasa dating katanya ke Bukit baru untuk memeriksa para tahanan, termasuk Ibu Yeti. Kolonel itu bertanya kepada para tahanan, “apa yang kalian butuhkan:” mereka diberi hadiah-hadiah Natal oleh para anggota gereja yang datang ke penjarah. Dari bantuan-bantuan yang diterima oleh tapol itulah rasa simpati yang dirasakan Ibu Yeti dan kawan-kawan. Karena didalam penjarah, para tahanan di wajibkan untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing, seperti halnya orang beragama Islam selalu mendengarkan ceramah mingguan setiap hari jum’at. Letnan Kolonel Busro, dari bagian urusan keagamaan mengatakan kepada para tapol, “Orang-orang komunis itu criminal, mereka membunuh orang.” Kemudian beralih bahasan tentang Islam.
Setelah sekian lama dalam tahanan, akhirnya para tapol di pindah ke penjara salemba untuk nantinya akan di bebaskan, tanpa hari yang jelas. Setelah pembebasan yang dialami oleh Ibu Yeti, dia sering mengadu nasib atau berkonsultasi kepada Pendeta gereja untuk mengadu nasibnya sekeluarnya dia dari penjarah. Karena kebingungan untuk mengurusi pendidikan dan makan 5 orang anaknya. Dalam proses interaksi kehidupan dengan Pendeta gereja itu, 5 orang anaknya terjamin sekolah dan 4 orang anak dari 6 orang anaknya berhasil menempuh sampai bangku kuliah.
Read more ►

Arti Hidup Itu (Sebuah Celoteh)

0 komentar


Oleh. Rijal A. Mohammadi
“Dunia ini panggung sandiwara”, kata penyair. Kehidupan ini apakah suratan yang tak satu hambapun menentukannya? Seakan kita lari pada rel yang telah di letakannya. Kemudian dimanakah kemerdekaan seorang hamba untuk menentukan jalan rel yang berliku yang ingin di pilihnya?
“Ceritanya bisa berubah”, tambah sang penyair. Hah inilah adanya kemerdekaan seorang hamba untuk berdaulat di rel yang telah di sediakan. Melihat dunia meliputi mati, rezeki, dan jodoh. Banyak orang berkata tiga aspek itu telah di gariskan oleh tuhan, tapi apakah semuanya benar? Bagaimana dengan orang yang meninggal dunia dengan bunuh diri, apakah dia patut untuk protes kepada tuhannya kenapa dia mati dengan bunuh diri? Pantaslah kiranya dia masuk ke neraka? Apa dan siapa yang patut di persalahkan?
“Ada peran wajar, ada peran berpura-pura”, tambah sang penyair. Bagaimana dengan keadilan hidup yang tak wajar? Apakah kemiskinan itu wajar, kemudian apakah kejahatan akibat kemiskinan itu diwajarkan? Sepertinya semua tercipta karena manusia itu sendiri pintar mengubah hidup ini untuk menjadi yang teratas dan menyengaja menindas yang di bawah (pertahanan status quo). Tidak mungkin kemiskinan dan kejahatan hasil dari keberpuraan hidup setiap manusia yang ditakdirkan dijalannya.
Kenapa jika kita tahu yang benar itu benar dan yang salah itu salah bukan garisan dari sang tuhan, kita tidak berusaha mendobraknya? Lawan dan dobrak selagi bisa, katanya tuhan bersama orang yang lemah dan miskin selagi fakir. Apakah kita tidak percaya dengan dogma agama itu? Bagaimana keimanan kita terhadap tuhan yang kita agungkan itu.
Read more ►

Selasa, 23 April 2013

TARING IKATAN PELAJAR MUHAMMADIYAH (IPM) MULAI NAMPAK: UAN di Anggap Melanggar Konstitusi Negara

0 komentar

(sumber: pdipmsleman.blogspot.com)
Oleh. Rijal A. Mohammadi
-“Tugas pendidikan adalah memproduksi kesadaran kritis untuk suatu proses pembebasan”-
(Paulo Freire)
Setelah usai tahun 2007 lalu turunnya IPM kejalan menyuarakan hak suara umat muslim Indonesia dengan memprotes dan mengkutuk perbuatan Israel yang dianggap biadab oleh sebagian besar umat muslim Indonesia karena penyerangannya terhadap bangsa Palestina. Disusul dengan turunnya kembali IPM untuk mendukung tidak di bubarkannya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), karena demi membela kaum muda terhindar dari sikap tamak untuk korupsi dalam hal apapun. Dan tahun ini di tahun 2013, Ikatan Pelajar Muhammadiyah atau yang kerap di panggil IPM kembali mengeluarkan taringnya, demi untuk mengevaluasi kinerja pemerintah yang gamang terhadap berlangsungnya pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang dianggap kurang evektif bahkan melanggar konstitusi Negara (merujuk pada poin-poin pasal 31 Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan UUD 1945 dan pasal 2 UU Sisdiknas No. 20/2003).
IPM merupakan organisasi setingkat pelajar yang mempunyai cabang bawahan setingkat wilayah, daerah dan ranting yang bergerak dalam dakwah penerus Muhammadiyah sebagai organisasi terbesar di Indonesia di tingkat pemuda dan pelajar. Walau IPM banyak mengalami fase pergantian nama dari IPM menjadi IRM dan kembali lagi menjadi IPM, tetapi hal itu tidak menyusutkan semangat juang kader-kader penerusnya. Hal itu dapat ditunjukan dengan para kader militannya yang telah berhasil menduduki jabatan strategis di elemen Negara ini, seperti Busyro Mukodas yang pernah menjabat menjadi ketua umum KPK.
Evaluasi terhadap pemerintah dengan turun aksi kejalan dianggap perlu karena mengingat paradigma pendidikan Indonesia yang dianggap sudah melenceng dari khittah perjuangan bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945. Tuntutan dalam benuk demonstrasi ini dilakukan IPM diikuti oleh 11 provinsi besar yang ada di Indonesia (Medan, Banten, Makassar, DKI, dst) dalam pengevaluasian kinerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada penyelenggaraan Ujian Akhir Nasional berlangsung. “Terlihat jelas ketidakseriusan pemerintah dalam melaksanakan program tahunan ini”, ujar M. Abduh Zulfikar sebagai koordinator lapangan aksi di kota Yogyakarta. “Tidak serempaknya waktu untuk penyelenggaraan UAN ini disinyalir sebagai salah satu ketidakseriusan itu”, tambah zulfikar dalam sesi wawancara dengan sejumlah wartawan.
Paradigma pendidikan yang dipahami Indonesia dari dahulu sampai saat ini seperti warisan kolonialisme Belanda dan Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dengan pencapaian jenjang kesadaran yang dialami peserta didik Indonesia. Menilik sedikit dari buku Paulo Freire tentang pendidikan kritis, pendidikan yang dilihatnya mempunyai fase-fase kesadaran, diantaranya kesadaran magis, kesadaran naïf, kesadaran kritis dan sampai puncaknya yaitu kesadaran transformative. Dewasa ini indonesia hanya dapat mencapai kesadaran naïf dari hasil proses kegiatan belajar mengajar, yang mana peserta didik sebenarnya tahu posisi dan kondisi mereka, akan tetapi mereka tidak tahu perbuatan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) telah berani keluar dari kesadaran naif menuju kepada kesadaran kritis yang sadar dan mengerti bagaimana cara menanggapi fenomena yang terjadi pada peserta didik dan sistem yang mereka gunakan. Salah satu jajaran ketua Pimpinan Pusat IPM dalam orasi aksinya di kota Yogyakarta bahwa, “sistem pendidikan kita hari ini masih mengacu kepada kolonialisme, UAN hanya sudah inkonstitusional, sangat melanggar hokum, dan sekarang hapuskan UAN dan turunkan M. Nuh”. Tuntutan yang diingikan IPM dalam demonstrasi tersebut memiliki beberapa poin, diantaranya:
1.  Mengingatkan kepada Mendiknas Muhammad Nuh, bahwa pelaksanaan Ujian Nasional adalah inkonstitusional.
2.  Mendesak kepada Mendiknas agar segera mengindahkan putusan MA dengan menghapus Ujian Nasional.
3.      Mengajak semua pelajar yang mengikuti UN agar tetap tenang dalam menghadapi kebijakan Pemerintah yang tidak manusiawi.
4.   Mengajak semua elemen masyarakat agar lebih peka terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro dengan pencerdasan kehidupan bangsa.
5.      Mendesak Mendiknas agar membuka transparansi penggunaan anggaran UN 2013.
6.      Mendesak kepada presiden SBY agar mencopot Muhammad Nuh sebagai Mendiknas.
Read more ►

Sabtu, 20 April 2013

_SAYAP-SAYAPKU MALAIKAT MERANA DENGAN KEADAAN CINTAMU_

0 komentar


Oleh: Rijal A. Mohammadi
Hari ini ketika ku lepaskan jaring-jaring cintaku ke dalam haribaanmu, kau tak sekalipun memaknainya dengan kesungguhan hati yang hakiki. Aku tak mengharap keibaanmu untuk menerimaannya, tapi cobalah anggaplah aku sebagai manusia yang mengharap cinta suci darimu, layaknya seorang hamba mengharapkan kasih sayang dari sang robbnya. Sejak hari lalu, hari kemarin lalu dan hari kemarin itu langkahku terseok-seok mengikuti langkahmu yang menepi di pelupuk hati. Enyah ada angina apa, pesonamu menyadarkanku bahwa kaulah yang terindah ketiga di hatiku setelah robbku, dan ibundaku.
Kau telah membaca syair-syair cinta yang telah ku buat, sebut saja satu diantaranya tentang phoenix dan matahari. Lentik matamu saat membacanya, seraya berbicara kepada hatiku tentang bahasa tak satu makhluk robbku yang mengetahuinya. Engkau memaknai semua tulisanku yang tertuang dalam blog pribadiku, membenarkan coretan tintaku yang penuh dengan makna. Sampai hatiku pun tak sanggup memaknainya.
Layaknya malaikat yang mempunyai dua buah sayap tetapi yang berfungsi hanya satu, pastilah akan terseok-seok untuk terbang menjalankan tugas dari sang robbnya. Begitupun dengan cinta seorang hamba kepada hamba lainnya, jika tak di sambut gayung berlabu ke hati semuanya akan sia dan sirna. Cinta yang di harapkan akan mubadzir terbuat, karena sebuah pengharapan yang tak pasti. Semuanya sudah mengetahuinya, bahkan hati diantara kita sudahpun, tapi apakah kau masih bertanya dan bernyata bahwa “aku belum bisa memulainya”. Sudah sering ku mengulang kepadamu bahwa cinta tidak akan kita sadari kedatanganya, karena malaikat cinta tak pernah meminta izin kepada manusia untuk bertamu ke hatinya. “proses yang kita lalui bersama membuat kita tak menyadari bahwa kita telah memulainya”, itulah ujarku setiap kau tanyakan pertanyaan dan pernyataan itu.
Memang susah membuang sejarah masa kelam lalui, karena menurut Soe Hok gie dalam catatannya sejarah hanya sebuah penghianatan dari apa yang dilaluinya. Apakah tanpa penghianatan sejarah takann pernah ada? Sejarah masa lalu yang mengingatkanmu  pernah di sakitin, begitupun denganku. Hal itu sama dan bisa kita lewati bersama. “cinta tidak menjadikan seseorang berubah dari sebelumnya”, kata sang penyair (Khalil Gibran).
Seringkali aku pernah berkata, bahwa jomlo merupakan suatu kutukan dan single hanya berupa suratan takdir. Apa yang membuat keduanya sama dan beda. Semua itu hanya persepsi kasih. “Jadilah jomlo terhormat, karena belum ada saja orang yang beruntung mendapatkan kita”, itu yang kemudian menjadi prinsipku dalam mencari tambatan hati. Salahkah jika aku menjadikanmu orang yang paling beruntung kedua di dunia ini setelah bundaku, karena memiliki anak sepertiku? Sepertinya tidak kasih! Karena pada hakikatnya robbku telah menyengaja menciptakan dua buah tangan untuk memegang harapan kita, dua buat mata untuk melihat masa depan kita, tetapi kenapa robbku menciptakan lidah dan hati hanya satu pasang? Dan kemudian aku merasa, kita di perintahkan mencari pasangan lidah kita untuk bersama merasakan indah dan suramnya hidup begitupun dengan hati yang membuat kita mencari di mana sekeping hati satunya.
Ini sekelumit curahanku padamu, tetaplah kau slalu bernyanyi. Menemani aku bermimpi, kata penyair. Lanjutkan sinar kita yang telah di amanahi oleh nabi terakhir kita yaitu Muhammad SAW untuk menyambung sinar kema’rufan agama kita dan membumi hanguskan kemungkaran itu yang telah dianggap mungkar kepadanya.
Read more ►

Minggu, 31 Maret 2013

Sumbangan Perspektif Johan Galtung dalam: Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO terhadap Ketimpangan Ekonomi Negara Berkembang

0 komentar

Pendahuluan
Dalam perkembangan sejarah perkembangan perekonomian dunia baik pada teori maupun praktiknya tidak ada hentinya mengalami pergolakan. Menurut berbagai litelatur dan dalam diskusi-diskusi saat ini tentang ekonomi dunia, para pegiat ekonomi kerap kali menyebut era saat ini sebagai era globalisasi, pembangunanisme, neo-liberalisme, dan lain sebagainya. Proses menuju tahapan sekarang ini tidaklah cepat atau instan. Menurut hukum umum perkembangan masyarakat diketahui bahwa diawal kehidupan manusia atau yang disebut zaman primitif. Dikatakan sebagai fase komune primitif karena pemenuhan kebutuhan hidup dilakukan dan dinikmati secara bersama-sama oleh anggota komune dengan alat produksi yang sangat primitif, yakni penggunaan batu dan tulang sebagai alat kerja dan alam tempat berburu sebagai sasaran kerjanya. Fase komune primitif lahir dari perkembangan alat produksi yang masih sangat primitif. Penggunaan batu dan tulang sebagai alat produksi, yang hanya memungkinkan manusia untuk berburu dan meramu makanan (food gathering) dan hanya dapat dikerjakan secara kolektif. Hal ini melahirkan cara pandang masyarakat komune yang sangat bergantung terhadap alam, bagaimana alam mampu menyediakan kebutuhan hidup bagi suatu komune. Itu sebabnya, ketika alam sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup suatu komune, maka komune tersebut akan pindah untuk mencari tempat lain yang masih cukup memenuhi kebutuhan hidup komune tersebut.
Dalam zaman kapitalisme yang terus berkembang hingga saat ini yang sudah mencapai puncak tertingginya (imperialisme) ternyata tidak juga menunjukan sebuah kemajuan tingkat kesejahteraan masyarakat dunia. Dunia dibawah belenggu kapitalisme ternyata tidak menjawab permasalahan yang dialami pada fase-fase sebelumnya yaitu adanya ketimpangan dan sistem yang menindas kelas lain. Kekuatan kapitalisme yang berada ditangan para pemodal atau koorporasi besar justru semakin banyak menimbulkan masalah kemanusiaan. Kontradiksi antara borjuasi dan proletariat semakin memanas bahkan dalam konteks hubungan kenegaraan juga mengalami kontradiksi. Negara-negara maju dibawah pimpinan Amerika Serikat merupakan negara kapitalis yang senantiasa melakukan ekspansi bahkan sampai melakukan invasi terhadap negara-negara yang sedang berkembang demi memuaskan hasrat mereka untuk dapat mengeksploitasi segala macam sumber daya dan menjadikan pasar yang cukup baik, serta bertujuan akhir mengakumulasikan modal mereka.
Pada masa sekarang dimana kapitalisme tumbuh subur didalam maupun diluar negara kapitalis dan seiring dengan semakin beradaptasinya paham ini dari keadaan kontemporer dan arus deras kritik yang menghujatnya maka kapitalisme membuat aturan main melalui lembaga-lembaga resmi internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank yang tentu saja bertujuan untuk memperpanjang masa waktu pengusaan atas dunia oleh sistem kapitalisme.
Fenomena WTO adalah verifikasi empiris terhadap gagasan–gagasan ekonomi liberal. Verifikasi ini akan membawa konsekuensi pada konteks liberalism sebagai pandangan filsafat yang dimanifestasikan dalam berbagai upaya yang bertajuk “liberalism perdagangan”. Liberalisme merupakan sebuah ideology, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang berpegang pada kebebasan sebagai nilai politik yang primer.[1] Liberalism memiliki akar pada era Pencerahan Barat, namun sekarang sudah melingkupi berbagai pandangan politik yang beragam. Secara umum, liberalism kontemporer bertujuan membela hak-hak individu.
Pandangan ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang karakternya memiliki kebebasan berpikir bagi individual dan pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap pemerintah dan agama. Selain itu, ada rule of law, pendidikan bebas untuk masyarakat, dan kebebasan dalam melakukan pertukaran pemikiran, kebebasan bagi korporasi swasta dalam konteks ekonomi pasar, transparansi pemerintah dan perlindungan atas seluruh hak warga begara. Dalam masyarakat modern, liberal dalam konteks demokrasi liberal terkait dengan keterbukaan dan kejujuran dalam pemilihan umum, dimana seluruh warga Negara memiliki hak yang sama di mata hukum dan kesetaraan dalam kehidupan yang layak.
Kaum Neo-Marxist percaya bahwa globalisasi ekonomi telah mengonstruksi wajah struktur ekonomi dunia menjadi dua kutub yang saling berbenturan . Pada kutub pertama, terdapat sekelompok minoritas manusia yang menguasai mayoritas faktor-faktor produksi dan akses yang luas atas distribusi dan konsumsi dunia . Kelompok ini seringkali dia sosiasikan pada kelompok negara maju, para pelaku pasar serta aktor -aktor ekonomi transnasional yang mencoba menerap kan agenda-agenda neoliberalisme melalui sistem ekonomi global. Di kutub yang lain, terdapat kelompok mayoritas yang terabaikan dan termarginalisasi secara si stemik dan struktural oleh proses globalisasi ekonomi. Kelompok ini terdiri atas sebagian besar negara berkembang, aktivis lingkungan hidup dan feminisme , serta gerakan-gerakan akar rumput yang tersebar di seluruh dunia.
Tulisan ini merujuk kepada perspektif Johan Galtung dalam ‘Depedency Theory’ untuk memahami rezim perdagangan bebas yang dilakukan World Trade Organization yang selanjutnya disebut WTO berimplikasi kepada Negara berkembang sehingga sikap interdepedensi ada pada tubuh Negara berkembang dalam dewasa ini terhadap Negara Industry Maju selanjutnya disebut NIM. Penulis percaya bahwa sifat interdepedensi yang terdapat antara Negara berkembang dan NIM ada hubungan yang menurut Johan Galtung disebut hubungan Imprealistik. Sehingga konsep tersebut memberikan tekanan halus yang tidak terasa oleh Negara berkembang yang nantinya berefek negative. Disamping itu, surat persetujuan atau janji yang ditawarkan pada setiap anggota WTO membrikan tekanan terhadap Negara berkembang sebagai aktor figuran dalam sandiwara tipu mushlihat yang dilakukan oleh NIM.
Dalam mengelaborasikan argument diatas, secara sistematis tulisan ini di bagi menjadi tiga bagian pembahasan, agar keterkaitan antara poin perpoin dapat tersambung dengan singkron. Bagian pertama, mengulas latar belakang dan sebab-sebab kemunculan WTO (WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru dan Struktur WTO). Konsep Galtung digunakan sebagai pisau analisis WTO dipaparkan pada bagian kedua. Secara lebih mendetail, bagian ini mengulas mengenai konsep interdepedensi kedua kubu, terciptanya hegemoni baru terkait hubungan imprealistik, dan terakhir adalah fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical.
Kemunculan World Trade Organization
WTO (World Trade Organisationatau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi  Piagam Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tarif. masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
WTO Sebagai Alat Kekuasaan Baru
Dalam perkembangannya, dunia menunjukan adanya situasi baru dimana telah lahirnya WTO (World Trade Organization) dan mulai aktif pada 1 Januari 1995. World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
WTO telah mengatur banyak hal di luar perdagangan. Dengan hadirnya WTO di kancah perekonomian dunia bersandingan dengan World Bank dan IMF kini menjadi kekuatan baru atau senjata baru dari kapitalisme. Lengkaplah sudah kekuatan kapitalisme global dengan kehadiran WTO. Kapitalisme sudah tak tertahankan lagi, kini menjadi sebuah sistem global, yang dikenal dengan globalisasi. Globalisasi adalah kapitalisme global yang memaksakan berbagai agenda pasar bebas demi kepentingan akumulasi modal. Dalam konsepnya WTO bercita-cita untuk dapat mengatur berjalannya arus perdagangan dunia dengan baik agar tidak terjadi krisis yang disebabkan oleh perlombaan perdagangan yang tidak sehat.
”Problem kita dengan perdagangan bebas adalah ketimpangan yang terjadi ketika bisnis diproteksi sementara buruh dan lingkungan diabaikan,” kata Jeff Faux, Presiden Economic Policy Institute, sebuah kelompok pemikir independen yang berkantor di Washington. Ia menambahkan bahwa keuntungan yang didapat dari perdagangan bebas selama beberapa dekade terakhir tidak pernah bisa menutup kerugian yang disebabkan oleh banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan dan rusaknya lingkungan. Isu-isu lingkungan dan ketenagakerjaan ini pulalah yang menyebabkan 30.000 aktivis, mewakili 500 organisasi dari seluruh belahan bumi, menggelar unjuk rasa di jalan-jalan di Seattle, Washington, ketika WTO mengadakan pertemuannya di sana pada akhir November 1999. Inilah gelombang protes terbesar yang pernah dialamatkan ke WTO. Para demonstran mendesak organisasi itu untuk melindungi hak-hak warga dan lingkungan sebagaimana ia melindungi kepentingan perusahaan.
Tentu saja, di sisi lain, WTO juga memiliki pendukung yang mempertahankan keberadaannya. Ada banyak negara, menurut petinggi WTO, yang berhasil meningkatkan standar hidupnya melalui perdagangan bebas. Korea Selatan adalah salah satu negara yang di jadikan contoh betapa perdagangan bebas telah meningkatkan standar hidup di negeri tersebut hingga mendekati standar hidup negara-negara maju. Berkat perdagangan bebas, Korea Selatan beralih dari negara pertanian ke negara industri, yang memproduksi mobil, televisi, dan beberapa produk canggih lainnya. ”...sejumlah masalah lingkungan yang serius di negara-negara miskin, seperti pembakaran hutan dan kurang bersihnya air minum, tidak disebabkan oleh perdagangan tetapi oleh kemiskinan,” kata David Vogel, Profesor Etika Bisnis dan Ilmu Politik Universitas California, Berkeley, yang menjadi pembela perdagangan bebas. ”negara-negara miskin tidak bisa menyediakan sistem airbersih, dan warga mereka mungkin menebang hutan untuk dijadikan kayu bakar dan untuk membuka ladang.”
Struktur WTO
Dalam situs resminya (www.wto.org) WTO menyatakan diri sebagai organisasi yang dikendalikan oleh anggota (a member driven) atau organisasi yang berbasis consensus (consensus-based organization). Setiap keputusan besar diambil oleh seluruh anggotanya, baik melalui menteri-menteri yang bertemu setidaknya sekali dalam dua tahun atau oleh duta besar atau delegasi yang secara regular bertemu di Jenewa.
Umumnya, keputusan diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi atau badan pimpinan. Peraturan-peraturan dalam WTO, termasuk kemungkinan untuk menjatuhkan sangsi, di tetapkan secara bersama oleh seluruh Negara anggotanya.
Seluruh sanksi yang diambil WTO dilaksanakan oleh dan atas dasar kewenangan dari Negara anggota. Hal inilah yang membedakan dengan lembaga-lembaga internasional lainnya, di mana struktur memiliki kewenangan untuk memengaruhi kebijakan suatu Negara tanpa mempertimbangkan pandangan dari Negara tersebut.
Untuk mencapai kesepakatan di antara 149 negara anggota bisa jadi sangat sulit. Meski begitu, cara itu di pandang dapat lebih memberikan manfaat karena setiap keputusan yang diambil akan lebih mudah diterima oleh semua Negara anggota karena telah melalui penggodogan bersama. WTO mengaku, meski harus ditempuh dengan cara sulit, beberapa kesepakatan penting telah diraih. Consensus adalah tradisi GATT yang dilanjutkan oleh WTO. Seperti dikemukakan di atas, hal ini dilakukan untuk menjamin seluruh anggota terakomodasi dalam setiap keputusan WTO.
Konsep Johan Galtung dalam Teori dependensi
Pada bagian ini, penulis mengulas teori depedensi yang didasari oleh pemikiran Johan Galtung yakni, Ketergantungan terhadap negara-negara kapitalis cenderung melahirkan bentuk imperialisme baru. Gampangnya penulis hendak memaparkan kaitan antara rezim yang telah di bawa WTO dengan ketergantungan Negara berkembang dalam keterlibatan sebagai anggota. Karena dampak dari ketergantungan tersebut menimbulkan terjadinya kemiskinan structural, timbul kolonialisme pada level domestic, munculnya gap dalam pembangunan domestic, konflik internal, kolaborasi kekuatan asing dan Negara, dan munculnya negara komprador
Hegemoni Melalui Hubungan Imprealistik
Hegemoni merupakan titik awal konsep yang ditawarkan oleh Antonio Gramsci adalah, bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam catatannya terhadap karya Machiavelli, The Prince (Sang Penguasa), Gramsci menggunakan centaur mitologi yunani, yaitu setengah binatang dan setengah hewan, sebagai symbol dari ‘perspektif ganda’ suatu tindakan politik – kekuatan dan consensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melaikan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu organisasi consensus. Dalam beberapa paragraf dari karyanya Prison Notebook, Gramsci menggunakan kata direzione (kepemimpinan, pengarahan) secara bergantian dengan egemonia (hegemoni) dan berlawanan dengan deminazione (dominasi). Penggunaan kata hegemoni dalam pengertian Gramsci harus dibedakan dari makna asalnya dalam Bahasa Yunani, yaitu penguasaan satu bangsa terhadap bangsa lain.
Kemudian penulis dalam hal ini mengaitkan implikasi hubungan imprealistik menurut konsep Galtung hubungannya dengan rezim WTO yang kemudian mengakibatkan ketimpangan terhadap Negara berkembang. Terdapat keselerasan kepentingan antara center (elite) di negara Center dengan center di negara Periphery. Hal ini dapat dibuktikan pada bagian struktur WTO di atas bahwa keterkaitan Negara pusat yang menjadi anggota inti WTO seperti Amerika Serikat sangat mempengaruhi kebijakan Negara periphery yang yang diwakili oleh delegasi atau perwakilan dari Negara periphery. Karena keputusan diambil dengan cara consensus. Dalam konteks ini, mekanisme WTO relative berbeda dengan organisasi-organisasi internasional lain seperti bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Di dalam WTO, kekuasaan tidak didelegasikan kepada Dewan Direksi atau badan pimpinan. Kemudian terdapat lebih banyak disharmoni atau konflik kepentingan antara center dan perypheri di negara Periphery dari pada di negara Center. Hal ini ditunjukan banyak sekali protes dalam bentuk demonstrasi, salah satu contohnya di Korea Selatan seorang demonstran bunuh diri akibat konflik yang di timbulkan oleh Negara berkembang atau periphery. Karena center di Negara periphery tidak memandang kepentingan para periphery di Negaranya seperti para kativis daln lain sebagainya, disebabkan kontrak kesepakatan hasil consensus harus dilakukan demi terlaksananya kesepakatan antar anggota WTO. Terakhir yakni terdapat disharmoni atau konflik kepentingan antara periphery di negara Center dengan periphery di negara Periphery. Fenomena seperti ini ditimbulkan karena permainan para elit Negara yang bermain pada consensus yang dilakukan di WTO, sehingga kedua periphery di dua Negara menjadi tidak paham akan arti hasil kesepakatan yang diimplementasikan pada kedua Negara karena hasil consensus ini tidak memandang pandangan kepentingan Negara terkait sehingga hasil consensus pun bisa saja banyak merugikan Negara-negara yang minor kekuatan. Yang kemudian muncullah ketimpangan dalam bentuk efeknya.
Fenomena Asimetris-Dyadic-Vertical
Pada bagian ini penulis hendak memaparkan logika persaingan dan kompetisi yang ada didalam tubuh WTO meliputi Asimetris, Dyadic, dan Vertical sebenarnya hanya akan menguntungkan  lagi-lagi kepada negara kapitalis. Kompetisi sehat yang digadang-gadang oleh para kapitalis hanyalah ilusi karena negara berkembang tidak akan mampu melakukan persaingan dengan negara maju, karena negara berkembang hanya dijadikan objek dari agenda-agenda besar dunia. Bentuk nyata dari kebusukan WTO adalah dengan meliberalkan sektor-sektor negara dan pada akhirnya melakukan privatisasi sektor negara. Hal ini dilakukan agar para negara kapitalis dapat melakukan intervensi lebih mudah dan dapat menanamkan modal untuk mendapat keuntungan. Contohnya adalah ketika Indonesia sepakat atas perjanjian dengan WTO dan mulai dari 1995 hingga saat ini kebijakan ekonomi yang dikeluarkan terus menerus berpihak pada asing. Segala macam sektor seperti kesehatan dan pendidikan juga menjadi korban sehingga perlahan kedua sektor tersebut menjadi swasta.
Kesimpulan
Menggunakan kerangka berpikir Galtung, penulis menjelaskan fenomena rezim WTO terhadap ketimpangan Negara berkembang. Galtung mendefinisikan keterkaitan Negara berkembang dalam kerjasama bidang perdagangan WTO hanya menciptakan ketimpangan yang semakin jelas antara si kaya dan si miskin atau sering kita sebut Center dan Peripheri. Hal ini di buktikan dengan saling ketergantungan kedua Negara tersebut dalam berinteraksi, sehingga banyak sekali konflik-konflik yang ditimbulkan dalam dua Negara tersebut.

Daftar Pustaka:
Jurnal:
·         Winner Agung Pribadi, “Sumbangan Perspektif Gramscian dalam Memahami Gerakan Globalisasi Alternatif ”, Global & Strategis, Th. II, No. 1, Januari-Juni 2008,.
·         Dewi Andita Sari, MAKALAH POLITIK INTERNASIONAL: Analisa Pengaruh Kebijakan Free Trade WTO Terhadap, “Terciptanya Ketimpangan Ekonomi Global Studi Kasus: Perbandingan Perekonomian India dengan Amerika Serikat”,  Thn 2012
Buku:
·         J Juliantono, Ferry., 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.
·         Simon,  Roger., 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
·         Fakih, Mansour. 2009. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta : INSIST PRESS.
·         Setiawan, Bonnie. 2000. Stop WTO Dari Seattle Sampai Bangkok. Yogyakarta : Kreasi Wacana
·         Smick, M David. 2009. Kiamat Ekonomi Global. Jakarta : Daras
·         Ritzer, George dan Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Webside:
·         http://www.wto.org [diakses 18 Maret 2013 M pukul 23.12 WIB]

[1]Liberalisme” dipahami sebagai suatu etika sosial yang mengadvokasi kebebasan dan kesetaraan secara umum. C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E, and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, halaman 440.: diambil dari J Juliantono, Ferry. 2007. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta Selatan. Banana.
Read more ►
 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger