Selasa, 21 Mei 2013

BERTAHAN HIDUP: KISAH IBU YETI



(Sebuah analisa yang dilakukan oleh Rijal A. Mohammadi, diangkat dari kisah nyata aktivis Gerwani dan troumatik akibat pembantaian PKI tahun 60an. buku tidak dapat di sebutkan)
Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Anton Lucas
Berawal dari traumatic yang di alami oleh keluarga ibu Yeti setelah suaminya pergi ke China tanggal 21 September 1965 bersama-sama dengan kelompok yang dipimpin oleh Chaerul Sahleh. Mereka yang selamat dari upaya massacre tahun 1965-1969 tidak akan pernah ‘dibebaskan’  dengan cara, katakanlah seperti, dibebaskannya korban-korban kamp kosentrasi di Eropa pada akhir Perang Dunia II. Bertahan hidup adalah sesuatu yang sulit dalam waktu dekat setelah usaha kudeta 30 September 1965 yang gagal itu, tetapi kehidupan setelah berhasil selamat itu juga sulit. Baik itu di dalam maupun di luar penjara, para anggota dan orang-orang yang berhubungan dengan PKI menyaksikan keluarganya bercerai berai, kesehatan mereka menurun, dan karir mereka hancur. Istri-istri para tapol laki-laki menanggung beban yang berat dalam usahanya menjaga keutuhan keluarga, sambil bertarung dengan penyakit dan berusaha memberikan pendidikan bagi anak-anak mereka.
Tuisan ini menggambarkan beban psikologis ganda yang di tanggung oleh orang-orang yang berhasil selamat: lolos dari dengan segala pertanyaan tentang apa salahnya dan makna yang mengikutinya, dan tahun-tahun panjang yang menakutkan dalam kerja keras yang membosankan. Ibu Yeti bertekad bahwa dosa-dosa yang dituduhkan kepada orangtua harus jatuh seringan mungkin kepada anak-anaknya, dan menyaksikan anak-anaknya hidup mapan dengan pendidikan yang baik menjadi prioritasnya yang tinggi. Marjinalisasi yang dilakukan pasca kudeta 30 September 1965 membuat Ibu Yeti tidak akan pernah memaafkan Islam dan orang-orang muslim. Caci maki atas keguguran uang di alaminya, penjarahan rumahnya-bukan hanya perusanakan melainkan juga penjarahan-yang dilakukan oleh pemuda HMI yang meneriakkan “Allahuakbar, Allahuakbar”.
Selama masa pengadilan yang dijalankan setelah kudeta, gereja Katolik dan gereja Protestan berhasil menarik hati sejumlah korban marjinalitas pasca kudeta, termasuk Ibu Yeti. Dengan kerja-kerja amal yang mereka lakukan di penjara dank arena bantuan langsung yang mereka berikan dalampendidikan anak-anaknya. Kemurahan hati dan penantangan terhadap norma-norma sosial yang di tunjukan oleh pihak gereja menarik banyak orang untuk beralih ke agama mereka dan menjadi simpatisan gereja pada bulan-bulan dan tahun-tahun setelah terjadinya maccacre itu, tanpa melihat partisipan orang-orang Kristen dalam pembantaian di beberapa daerah. Rasa hormat Ibu Yeti terhadap gereja semakin memperbesar pertentangannya dengan keluarganya, dan dia berkata:
“saya benar-benar benci pada orangorang Islam. Seluruh keluarga saya beragama Islam. Meskipun mereka membantu saya, tetapi itu tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Saya disebut orang kafir. Ayah saya Islam, ia melakukan puasa dan shalat. Ia tidak suka saya dekat dengan gereja. Kami sering bertengkar”.
Bantuan yang diberikan oleh orang-orang Islam, baik secara perorangan maupun umat dan organisasi-organisasi amal bagi para korban dan orang-orang yang selamat dari pembantaian tidak disebut-sebut oleh Ibu Yeti. Meskipun orang-orang Islam membantu, tampaknya mereka melakukannya tidak sesering dan seterbuka orang-orang Kristen; mungkin karena polarisasi ideology antara Islam dan golongan kiri telah mencapai puncaknya pada tahun 1965, maka mereka yang membantu orang-orang yang diduga sebagai komunis akan dipandang sama dengan simpatisan komunis. Di pihak lain, gereja-gereja Kristen, sebagai pemain minor dalam kancah politik nasional dan dengan tradisi amal yang sudah lama mapan bersedia, dan mempunyai hasrat yang besar, untuk bekerja di kalangan pihak yang kalah.
Dari sekian banyak marjinalisasi yang dialami oleh Ibu Yeti dan keluarganya yang dilakukan oleh lingkungannya merupakan ingatan kelam masa lalu yang tidak mungkin di lupakan. Teringan saat sepulangnya Ibu Yeti dari perawatan pasca kegugurannya dari rumah sakit, terdapat banyak tulisan berupa hinaan, cacian dan sebagainya. Seperti ‘Gestapu kegugran’, tulisan ini terpampang besar di tembok rumahnya. Kemudian pada tanggal 19 Oktober 1965 pukul 12 tengah hari kerumunan orang dewasa dan anak-anak mulai melempari rumahnya dengan batu.
Terhitung 4 hari setelah penganiaian yang dialami oleh Ibu Yeti itu, dia digiring ke penjarah dan kemudian ditangkap selama kurang lebih 3 bulan. Dalam penahanan itu, ha-hal kekejaman yang dirasakan oleh Ibu Yeti, seperti orang hanya mendapat sepotong temped an sayur kangkung yang tidak bersih, karena masih ada batang dan serabut-serabutnya. Disamping itu di dalam proses penyembuhan akhir pasca keguguran yang dialaminya, sehingga dia menjadi kurus karena tidak makan apa-apa.
Beberapa hari kemudian para polisi mengirimkan para tapol itu secara bertahap ke Kodim Jatinegara. Ibu Yeti merupakan tahanan ketiga yang dikirim ke Kodim tersebut. Para tahanan termasuk Ibu Yeti berada di Kodim Jatinegara selama 3 bulan. Menjelang Maret 1966 tidak ada lagi di Kodim itu, karena semuanya terlah di pindahkan ke penjara Bukitduri. Ibu Yeti merupakan orang ketiga terakhir yang dipindahkan. Setibanya di sana Ibu Yeti bertemu dengan teman-teman sesame aktivis Gerwani yang kemudian menenyainya. “Ngapain kamu di sini?” tangga mereka, “kenapa kamu kurus sekali?” “yah, aku tidak tahu kenapa aku ada di sini,” jawab dia.
Pada suatu hari ada seorang wakil (komandan) Sani Gondo namanya, dia beragama Kristen dan biasa dating katanya ke Bukit baru untuk memeriksa para tahanan, termasuk Ibu Yeti. Kolonel itu bertanya kepada para tahanan, “apa yang kalian butuhkan:” mereka diberi hadiah-hadiah Natal oleh para anggota gereja yang datang ke penjarah. Dari bantuan-bantuan yang diterima oleh tapol itulah rasa simpati yang dirasakan Ibu Yeti dan kawan-kawan. Karena didalam penjarah, para tahanan di wajibkan untuk beribadah sesuai agamanya masing-masing, seperti halnya orang beragama Islam selalu mendengarkan ceramah mingguan setiap hari jum’at. Letnan Kolonel Busro, dari bagian urusan keagamaan mengatakan kepada para tapol, “Orang-orang komunis itu criminal, mereka membunuh orang.” Kemudian beralih bahasan tentang Islam.
Setelah sekian lama dalam tahanan, akhirnya para tapol di pindah ke penjara salemba untuk nantinya akan di bebaskan, tanpa hari yang jelas. Setelah pembebasan yang dialami oleh Ibu Yeti, dia sering mengadu nasib atau berkonsultasi kepada Pendeta gereja untuk mengadu nasibnya sekeluarnya dia dari penjarah. Karena kebingungan untuk mengurusi pendidikan dan makan 5 orang anaknya. Dalam proses interaksi kehidupan dengan Pendeta gereja itu, 5 orang anaknya terjamin sekolah dan 4 orang anak dari 6 orang anaknya berhasil menempuh sampai bangku kuliah.

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger