Kamis, 19 April 2012

Negara Islam Utopian

1 komentar



Oleh. Rijal M. Mohammadi
Terimakasih sebelumnya penulis ucapkan kepada para pembaca yang setia selalu dalam menunggu tulisan saya yang agak profokatif. Kali ini saya akan membicarakan tentang Negara Islam. Kita ketahui bersama bahwa dalam konteks Negara Islam sudah banyak Negara-negara yang mengatas namakan dirinya sebagai Negara Islam, seperti Iran, Malaysia, dll. Kemudian apa dasar utama untuk diatas namakan suatu Negara sebagai Negara Islam? Sebelum kita membicarakan lebih jauh tentang apa itu Negara Islam, sebaiknya kita pahami Negara itu sendiri.
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Selain itu, manusia juga merupakan mahluk politik yang mempunyai naluri untuk berkuasa. Oleh karena itu keberadaan sebuah negara sangat diperlukan sebagai tempat berlindung bagi individu, kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu, kelompok, atau masyarakat maupun penguasa yang kuat (otoriter) karena manusia dengan manusia yang lainnya memiliki sifat seperti serigala (homo homini lupus).
Kata negara sendiri berasal dari bahasa Inggris (STATE), Bahasa belanda (STAAT), Bahasa Perancis(ETAT) yang sebenarnya kesemua kata itu berasal dari Bahasa Latin (STATUS atau STATUM) yang berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap. Dimana makna luas dari kata tersebut juga bisa diartikan sebagai kedudukan persekutuan hidup manusia. 
Jika kita uraikan kedalam pemahaman penulis, sudah dapat ditebak bahwa sebenarnya tujuan dari terbentuknya Negara karena untuk melindungi setiap individu yang lemah diatas golongan-golongan yang mewakilinya. Sebagaimana pemikiran politik John Lock: Manusia memiliki hak hidup, hak bebas dan hak milik. Kemudian muncul pertanyaan, seperti apakah Negara Islam itu? Ada beberapa konsepsi Negara-negara Islam yang ditaawarkan oleh H. Munawir Sjadzali sebagai berikut.
Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan berpolitik dan bernegara. Golongan ini menyatakan bahwa dalam bernegara, umat Islam tidak perlu meniru system ketatanegaraan barat, tetapi sebaliknya hendaknya kembali kepada system ketatanegaraan Islam. Lebih kongkret lagi system ketatanegaraan yang dijadikan sebagai acuan adalah system Negara yang dilaksanakan oleh nabi Muhammadi SAW dan empat Khulafa Al Rasyidin dimasa awal perkembangan Islam.
Pendapat kedua menyatakan bahwa Islam adalah sebagai suatu agama, sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan. Menurut aliran ini nabi Muhammad SAW, hanyalah seorang Rasul biasa seperti Rasul-Rasul sebelumnya, dengan tugas hanya untuk mengajak manusia kembali kepada kehidupan mulia dan berpekerti baik. Nabi Muhammad SAW, menurut pendapat golongan ini, tidak pernah bertugas dan atau bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara.
Pendapat ketiga menyatakan bahwa tidak sependapat dengan pendapat satu dan dua. Namun, aliran ini menyatakan yang diperlukan dalam Negara untuk berIslam hanya bersifat substantive saja, dengan mengarah kepada nilai-nilai Islam dalam Negara tersebut. Menurut mereka Islam merupakan ajaran totalitas tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk pokok saja. Karena itu menurut mereka, kendatipun dalam Islam tidak terdapat system ketatanegaraan dalam artian teori lengkap, namun disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara[1].
Dalam sejarah kita meyakini bersama bahwa bernegara yang dilakukan nabi Muhammad SAW saat hidup di madinah, menggunakan Negara dalam konsep Negara menurut Aristoteles, istilah Polis untuk untuk negara kota (city state) yang berfungsi sebagai tempat tinggal bersama warga negara dengan pemerintahan dan benteng untuk menjaga keamanan dan serangan musuh[2]. Semasa Rasul hidup, beliau tidak pernah meninggalkan sedikitpun tentang konsep Negara Islam itu. Hanya saja saat itu kadaulatan dibawah tangan rakyat dengan keputusan Rasul. Sebelum lebih jauh mengenal tentang Negara Islam tersebut, ada baiknya kita mengetahui bersama macam-macam kedaulatan pada suatu Negara.
Kemudian dalam system kenegaraan, erat kaitannya dengan kedaulatan. Kedaulatan inilah yang menentukan system suatu Negara dikatakan demokrasi, monarki, dsb. Istilah kedaulatan lazimnya dipahami berasal dari terjemahan kata seperti sovereignty, souverainete, sovereigniteit, souvereyn, sperenus, dan lain-lain yang diambil dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Belanda dan Italia. Semua istilah-istilah itu merujuk kepada pengertian kekuasaan tertinggi dalam atau dari suatu Negara. Menurut Thomas Hobbes kedaulatan merupakan kekuasaan mutlak tidak dapat dibantahkan dan tidak dapat dibagi dan tidak terbatas[3], walaupun banyak pakar yang kemudian tidak setuju dengan teori Hobbes ini.
Kata kedaulatan sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata dala, yadulu, daulatan atau dalam bentuk jamak duwal uang makna awalnya berarti berganti-ganti atau perubahan. Mahmud Yunus selain memberikan makna dasar dari kata duwal ini, seperti berganti atau perubahan juga member arti kerajaan, Negara atau kuasa[4]. Ada bermacam-macam bentuk kedaulatan dalam suatu Negara diantaranya kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum, kedaulatan tuhan, kedaulatan Negara, kedaulatan raja, dll.
Melihat dari uraian diatas jika beberapa kelompok fundamentalis Islam yang menginginkan terbentuknya Negara Islam, maka sudah dapat dilihat posisi kedaulatan berada antara kedaulatan tuhan dan kedalautan rakyat. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kedaulatan tuhan yaitu kekuasaan tertinggi dimiliki oleh tuhan dan atau ada pada tuhan[5]. Dalam kedaulatan rakyat kekuasaan tertinggi dimiliki oleh rakyat. Teori ini dikembangkan oleh John Locke dan Jean Rousseau. Menurut John Locke kehendak rakyat dalam bentuk kehendak umum menjadi dasar kekuasaan negara[6]. Karena jika kita gabungkan dengan sejarah pemerintahan Islam pada masa Rasul dan Khalifah Ar Rasyidin, sudah terlihat bahwa pada masa itu pemerintahan dilakukan atas dasar perintahan ketuhanan dan pengimplementasiannya berdasarkan persetujuan rakyat madinah saat itu.
Sudahlah kita lupakan sejenak berbagai hal diatas, mari kita mengingat pada fase kehidupan Rasulallah dan empat sahabat yang menjadi Khalifahurrasyidin. Pemililihan pemimpin dalam Negara saat fase Rasul dilakukan dengan cara mufakat, karena saat itu Rasul lah yang menjadi pemimpin agama dan Negara kota. Perjalanan kepemimpinan Rasul dilakukan dengan penuh rasa adil ditengah masyarakat karena Rasul sangat menjunjung tinggi aspirasi rakyat saat itu. Sebagai contoh saat hendak berperang dalam berstrategi Rasulullah berinisiatif memposisikan pasukan perang Islam di depan mata air, akan tetapi saat itu salah seorang sahabat tidak cukup terkenal saat itu tidak setuju dengan konsep beliau dan kemudian mengajukan usul agar pasukan perang Islam berada dibelakang sumber mata air, supaya ketika pasukan lawan bisa memukul telak pasukan perang Islam maka pasukan perang Islam pun saat mundur langkah masih dapat memanfaat sumber mata air tersebut. Saat itu Rasulullah pun menyetujui usul dari seorang sahabat itu. Saat terakhir masa kepemimpinan Rasul dalam Islam dan teruskan oleh empat khalifah menunjukan tidak ada anjuran mutlak untuk membentuk Negara Islam, hal ini dapat ditunjukan dengan pengangkatan pemimpin Islam pasca Rasul seperti Abu Bakar sampai Ali bin Abi Thalib.
Ada seorang pemikir Islam yaitu Fazlurrahman, seorang ulama yang berasal dari Pakistan dan menghabiskan hidupnya diluar negaranya. Dalam mendefinisikan Negara Islam Fazlur Rahman sendiri membagi menjadi dua penjelasan sehubungan dengan Negara Islam. Pertama, pendapat antara apakah ada atau tidak Negara Islam. Maksudnya apakah Islam mengajarkan masalah kenegaraan atau tidak. Dalam hal ini telah terpecah kepada tiga pendapat seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu ada yang berpendapat tegas ada, ada yang berpendapat tidak ada dan ada yang berpendapat tidak diajarkan secara tuntas dan totalitas seperti memberi beberapa nilai dan etika bernegara. Kedua, yang berpendapat adanya Negara Islam, baik itu yang berpendapat Islam sebagai agama dan Negara, muapun Negara Islam itu harus ada walaupun bukan merupakan sebuah perintah dalam Islam, akan tetapi lebih merupakan keharusan demi menjaga dalam pengembangan dan pelestarian agama.
Ian Adam dalam bukunya “Political Ideology Today” menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW (670-732) adalah pendiri Negara Islam pertama. Ia terjun langsung mempin ekspansi wilayahnya. Muhammad adalah pemimpin agama, panglima militer, sekaligus pemimpin politik. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad SAW ini sangat berbeda dengan gaya kepemimpinan pendiri agama Kristen. Yesus bukanlah seorang pemimpin politik, apalagi seorang pemimpin militer. Yesus tidak pernah member petunjuk tentang masalahh-masalah politik selain perintah untuk “menyerahkan pada kaisar urusan kaisar dan menyerahkan pada tuhan urusan tuhan”. Perintah ini menyiratkan pemisahan secara tegas antara Negara dan agama.
Tetapi kemudian jika kita tarik kejaman sekarang ini, banyak sekali kelompok-kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai kelompok Islam yang tak luput dari rasa kepentingan dalam berkehidupan. Kedaulatan rakyat yang diuraikan diatas jika mampu gabungkan dengan kedaulatan ketuhanan maka akan terbentuknya dinasti-dinasti dalam dunia Islam. Sebab apa? Melihat dari kondisi kekinian didunia Islam, telah terbagi banyak kelompok Islam yang memiliki dasar ideology berbeda. Seperti dalam contoh makro kita sebut kelompok Islam Sunni dan Syiah. Dari contoh itu kita dapat melihat bersama banyak sekali kontrofersi tentang konflik keduanya, belum lagi kasus kongkrit dalam masalah kedua kelompok itu terdapat di Negara Syuriah. Pembantaian yang dilakukan Syi’ah terhadao Sunni menunjukan “struggle of power”. Tidak bisa penulis bayangkan jika nanti dunia Islam di satukan dan terbentuknya system khalifah, maka akankah terjadi konflik pertumpahan darah antar kelompok Islam.
Tetapi Syafii Ma’arif dalam bukunya “Islam dan masalah kenegaraan” bahwa al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut Negara Islam. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Nurkholis Majid. Dengan menurunkan sejumlah tulisan (A. Syafii Ma’arif, Amien Rais, Mr. Mohd. Room dan surat-suratnya sendiri kepada Mr. Mohd. Room) dia telah berkesimpulan bahwa tidak ada Negara Islam. Memang kita ketahui bersama bahwa tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak kasus yang kontroversi dalam masalah yang terkait dengan dunia Islam khususnya di Indonesia.
Dalam pandangan kelompok –kelompok fundamentalisme, Nabi Muhammad SAW dan para khalifah dipandang berhasil memposisikan hubungan antara agama dan politik dalam keseimbangan yang sempurna. Prestasi yang luar biasa. Kemudian jika kita melihat Islam pasca Khalifa sangat berbanding terbalik. Hal itu ditunjukan dengan perbedaan system yang diberlakukan pada masa itu. Pada masa bani Umayah dan bani Abasyiah cenderung bersikap monarki dan otoriter dalam memerintah Islam saat itu. Maka dari itu dari banyak tokoh intelektual muslim menakutkan terjadinya kembali kemonarkian dalam hidup berIslam, walau dalam hal ini perlu kita koreksi bersama bahwa keterputusan sejarah yang membuat kita enggan dalam melakukan segala hal.
Jika kita pahami bersama bahwa suatu Negara yang menganut system yang monarki dan kecenderungan otoriter. Maka akan mengalami banyak pemberoktan dalam Negara tersebut. Seperti yang Indonesia alami tahun 1959-1966 dalam system demokrasi terpimpin dalam keputusan presiden dengan ketetapan presiden seumur hidup oleh Soekarno. Soekarno yang cenderung saat itu lebih otoriter, menerima banyak pemberontakan seperti tragedy pemboman hotel Cikini yang dilakukan oleh 10 orang.
Dewasa ini diIndonesia sendiri banyak yang mengatas namakan kelompok-kelompok dengan nama lascar jihad sebagai sayap gerakan, dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal- Jama’ah (FKAW), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dua nama terakhir adalah organisasi gerakan Islam aktif yang sangat konsisten memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam system pemerintahan Indonesia. Walaupun terdapat kesamaan ide diantara mereka, tetapi pelaksanaannya dilapangan dilakukan dengan metode atau strategi yang berbeda-beda. Terjadinya perbedaan strategi itu, mungkin dipengaruhi oleh perbedaan kerakter dari masing-masing gerakan Islam tersebut.
Secara historis, ide tentang perkawinan antara agama dan Negara dengan tujuan terbentuknya sebuah Negara Indonesia yang berjalan di atas dasar syari’at Islam bukanlah suatu isu baru dalam sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan. Misalnya beberapa bulan sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, khususnya dalam pertemuan-pertemuan Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI), itu tersebut tekah mulai bergulir.
Kemudian sejak tahun 1945 sampai dengan tahun 1959 diidentifikasi beberapa strategi dan model perjuangan dilakukan oleh elemen politik Islam pada periode tersebut antara lain: Pertama, mendirikan partai politik sebagai basis gerakan politik didalam parlemen (gerakan politik intra-parlementer), seperti misalnya dengan berdirinya partai Masyumi. Kedua, mendirikan organisasi-organisasi massa sebagai alat perjuangan politik diluar parlemen (gerakan politik ekstra-parlementer), misalnya dengan berdirinya PERSIS pimpinan A. Hassan. Ketiga, melakukan perlawanan bersenjata (pemberoktakan) di daerah-daerah yang melibatkan unsur DI/TII dan unsur-unsur sejenis pada berbagai daerah[7].
Dalam realitanya Indonesia merupakan Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak bisa berbuat apa-apa tentang kesekuleran hukum Indonesia, yang kemudian hanya mampu sebagai hiasan dalam rumah sendiri. Tetapi jika dicermati bersama hukum yang terdapat di Indonesia lebih bersifat sekuler dengan nilai Islam didalamnya. Jadi setujukah jika saya katakan bahwa Indonesia dalam kajian Negara Islam menurut H. Munawir Sjadzali masuk dalam karakter ketiga dalam pemaparannya diatas.

Diterbitkan Pada Kamis, 19 April 2012


[1] H. Munawir Sjadzari, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press,1990), hal 1-2.
[3] Thomas Hobbes, Leviathan, diedit oleh Richard Turk (Vivtoria, Australia: Cambridge University Press, 1992), hal. 127.
[4] H. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1989), hal. 132.
[5] M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (UII Press, Yogyakarta: 2000)
[6] J. Locke, Two Treatises of Government, (New York: Hafner Press A. Division of Macmillan Publishing Co., Inc, 1947)
[7] Dapat dikatakan bahwa strategi politik Islam yang ketiga ini lebih bersifat konflik vertical antara pemimpin Islam di daerah dengan pemimpin Indonesia di Jakarta. Pemberontakan-pemberontakan tersebut tidak muncul sebagai bentuk kesadaran teologis-politis pemimpin dan pendukungnya, melainkan sebagai bentuk kekecewaan para pemimpin militer di daerah atas kebijakan pemerintah pusat dalam melakukan restrukturisasi di tubuh militer/TNI.

Read more ►
 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger