Sabtu, 24 November 2012

WORLD SOCIAL FORUM SEBAGAI GERAKAN GLOBALISASI ALTERNATIF: SUMBANGAN PERSPEKTIF GRAMSCIAN[1]

0 komentar

Oleh. Rijal A. Mohammadi

Kemunculan Gerakan Globalisasi Alternatif
Gerakan anti globalisasi acapkali dikenal dengan berbagai istilah. Beberapa dipahami sebagai gerakan sosial global (global social movement), yang lain disebut-sebut sebagai gerakan global untuk keadilan sosial (the global movement for social justice) atau gerakan keadilan gobal (the global justice movement). Gerakan-gerakan tersebut juga seringkali diasosiasikan secara ideologis sebagai gerakan anti kapitalisme ataupun anti neoliberalisme. Ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan globalisasi alternatif. Dari sekian banyak istilah diatas, pelabelan yang paling populer adalah gerakan anti globalisasi. Namun demikian, penulis dalam makalah ini sepakat dengan el Chamsy el-Ojeili dan Patrick Hayden (2006) yang lebih memilih menyebut gerakan-gerakan tersebut dengan gerakan globalisasi alternatif dari pada gerakan anti globalisasi (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Istilah gerakan anti globalisasi seringkali dianggap sebagai sebuah konsep yang ambigu karena kata “anti” menyiratkan bahwa gerakan-gerakan tersebut mendekonstruksi dan menentang secara total substansi dan atribut-atribut yang menyertai proses globalisasi. Namun pada kenyataannya, hampir setiap gerakan gelombang balik melawan globalisasi memanfaatkan produk–produk nonidoleologis dari globalisasi seperti internet dan kecanggihan teknologi transportasi sebagai sarana untuk menyebarkan id -ide resistensi ke seluruh dunia. Perlawanannya diwujudkan pada resistensi terhadap bentuk-bentuk globalisasi hegemonik yang dijiwai oleh ide-ide neoliberal kapitalisme. Gerakan-gerakan ini memperjuangkan reformasi sosial dan politik untuk mengubah wajah globalisasi dari model top-down globalisasinya neoliberal ke arah kemungkinan terciptanya globalisasi akar rumput ( grass-roots globalization) (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Gerakan-gerakan ini tidak menentang globalisasi secara umum, namun mempersoalkan bentuk -bentuk globalisasi yang dianggap tidak adil. Dari sudut pandang tersebut, penulis lebih condong menggunakan istilah gerakan globalisasi alternatif untuk merepresentasikan fenomena di atas.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, raison detre dari GGA adalah respon kritis masyarakat terhadap implementasi globalisasi neoliberal beserta dampak-dampak negatifnya. Argumen utama kaum neoliberal berakar pada asumsi dasar teori liberal klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith yang menekankan pada privatisasi dan perdagangan bebas. Mereka berpendapat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran global akan dapat terwujud apabila perdagangan international berjalan menurut logika prinsip-prinsip pasar bebas yang menekankan pada ketiadaan hambatan perdagangan sehingga faktor-faktor produksi, distribusi, dan konsumsi dapat bergerak bebas. Pasar bagi mereka, memiliki mekanismenya sendiri yang bersifat universal dan natural (the invisible hand) yang apabila dibiarkan bergerak bebas akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh stake-holders yang terlibat, mengabdi pada optimalisasi terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan mewujudkan kondisi “full employment”  (Saad-Filho 2005, 41). Perbedaan mendasaran antara ide liberal klasik dan neo liberal terletak pada peran negara. Yang pertama menolak keterlibatan negara dan segala unsur di luar ekonomi dalam proses ekonomi, sementara neoliberal percaya bahwa untuk mewujudkan idealisme pasar bebas dalam tataran praksis, negara adalah aktor yang signifikan dalam memfasilitasi dan menerapkan mekanisme pasar bebas secara luas (Polanyi 2001, 258). Ide neoliberal banyak diterapkan pasca perang dingin oleh negara-negara maju yang percaya pada deregulasi pasar, institusi-institusi internasional seperti IMF dan World Bank dengan program structural adjustment-nya, WTO dengan kebijakan perdagangan bebas, serta aktor-aktor swasta internasional seperti perusahaan multinasional, bahkan lembaga-lembaga non pemerintah.
GGA mengklaim bahwa penerapan ide neo liberal tersebut hanya menguntungkan dan membawa dampak positif bagi sebagian kecil penduduk bumi, dengan menyisakan kerugian dan dampak negatif lainnya bagi sebagian besar umat manusia. Kebijakan deregulasi yang diadopsi oleh negara-negara berkembang justru membuat mereka meninggalkan salah satu fungsi utamanya sebagai penyelenggara pelayanan publik serta jaring pengaman sosial bagi kaum miskin. Structural Adjustment Policy (SAP) yang dikeluarkan IMF ternyata tidak mampu membebaskan negara-negara dunia ketiga dari perangkap hutang luar negeri. Kebijakan tersebut justru memperparah struktur lingkaran kemiskinan dan dilema hutang dunia ketiga dengan diterapkannya poin-poin kebijakan SAP yang incompatible seperti deregulasi perbankan, privatisasi perusahaan milik negara, dan liberalisasi perdagangan (el-Ojeili dan Hayden 2006, 197). Kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas WTO juga acapkali dituduh memperparah persoalan tersebut. Seperti apa yang dikatakan oleh Walden Bello, pemimpin Focus on the Global South, salah satu GGA terkemuka: “WTO adalah lembaga yang tidak representatif dan tidak demokratis yang didasarkan pada ideology pasar bebas yang tidak menciptakan suatu kondisi kecuali kesenjangan sosial ekonomi dan problem kemiskinan yang semakin besar.” Lebih jauh, ia juga mengklaim bahwa WTO bukanlah organisasi yang independent, melainkan representasi hegemoni Amerika dan aktor-aktor swasta (Bello 2004a). Perusahaan multinasional dengan sepak terjangnya diberbagai pelosok dunia sering kali dipandang sebagai raksasa-raksasa ekonomi yang mengejar keuntungan semata, mengabaikan tanggung jawab sosial, mengeksploitasi dan merusak lingkungan hidup, serta mengabaikan hak-hak kaum pekerja.
Globalisasi neoliberal juga dituduh telah memperburuk ketidakmerataan distribusi pendapatan dunia. Kesenjangan ekonomi antara kelompok the have dan the have not semakin lebar dari waktu ke waktu . Sebagai contoh, pada 1960, rasio kesenjangan antara kaya dan miskin adalah 30:1, namun 30 tahun kemudian rasionya meningkat tajam menjadi 61:1 (Thomas dalam Baylish dan Smith 1997, 450). Pada 1999 tercatat jumlah total kekayaan dari 200 orang terkaya di dunia mencapai US$ 1,1 trilyun, sedangkan jumlah total pendapatan mayoritas kaum miskin di dunia ketiga adalah US$ 146 milyar. Pendapatan tahunan dari 45 persen orang-orang termiskin di dunia setara dengan pendapatan 358 milyarder (Keane 2003, 90). Banyak orang percaya bahwa tidak adanya kajian teoritik yang komprehensif tentang mekanisme redistribusi pendapatan dalam pemikiran neoliberal turut menjadi kontributor utama munculnya persoalan tersebut. Salah satu mekanisme yang ada, yakni model “trickle down-effect” dianggap sebagai mekanisme redistribusi pendapatan yang semu dan banyak mengalami kegagalan dalam realisasinya.
Dalam konteks tersebut, GGA dapat dilihat sebagai antitesis atau gelombang balik globalisasi yang muncul sebagai reaksi atas relasi eksploitatif kapitalisme global yang membawa dampak negatif bagi sebagian besar warga dunia . GGA berupaya untuk melakukan delegitimasi hegemoni neoliberal dengan menggalang kekuatan-kekuatan sosial global untuk melakukan perlawanan non kekerasan. Politik resistensi terhadap globalisasi neoliberal semakin lama semakin terorganisir dan kemunculannya dapat dilacak pada paruh kedua dekade 1990-an. Pada masa itu, terjadi intensifikasi protes dan resistensi sosial dibeberapa belahan dunia memprotes praktek-praktek neoliberal. Sangatlah penting di sini untuk melihat meningkatnya resistensi terhadap globalisasi dari perspektif historis guna memahami kemunculan GGA.
Kemunculan GGA dapat dilacak sejak berkembangnya gerakan Zapatista di Meksiko. Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari penandatanganan The North American Free Trade Agreement (NAFTA) pada Januari 1994 yang dikhawatirkan akan mengancam proteksi dan subsidi untuk produksi kopi dan jagung lokal, disamping kekhawatiran ekonomi domesti Meksiko terhadap ancaman kebijakan-kebijakan neoliberal secara umum. Gerakan Zapatista dianggap telah berhasil membawa isu-isu perjuangan lokal pada level global. Kunci utama dari keberhasilan gerakan Zapatista terletak pada strategi komunikasi politiknya yang secara cerdas mampu mengoptimalkan penggunaan internet untuk membentuk jaringan global sebagai media utama untuk mentransmisikan dan mendiseminasi ide perlawanan lokal dalam arena global. Hingga saat ini, tercatat tak kurang dari 45.000 website berbasis di 26 negara yang terkait Zapatista dengan memuat pidato-pidato pemimpin mereka yang tersedia dalam 14 bahasa. Strategi tersebut terbukti efektif dalam mengangkat isu lokal ke ruang global, membangun jaringan simpati moral yang berskala massif sehingga mampu menarik perhatian banyak media dan NGO internasional. Kondisi ini tidak hanya membuat gerakan Zapatista semakin solid tetapi juga menutup ruang bagi pemerintah Meksiko untuk menekan gerakan tersebut dengan cara-cara represif (Castell 2000).
Kemenangan gerakan Zapatista pada akhirnya mampu menginspirasi revitalisasi GGA lainnya dengan muatan isu yang bervariasi, mulai dari HAM, feminsime, penyelamatan ekologi, hingga gerakan akar rumput lainnya yang mengidentifikasi dirinya sebagai korban globalisasi neoliberal. Bersatunya gerakan anti-neoliberal untuk pertama kalinya disimbolkan dalam satu perlawanan “Battle of Seattle” pada 1999. Momen monumental tersebut berhasil menarik banyak aktivis yang datang dari berbagai latar belakang; dari mahasiswa hingga ekolog, dari petani hingga aktivis feminisme, dari serikat buruh hingga aktivis hak asasi manusia. Mereka memiliki tujuan perlawanan dan resistensi atas efek buruk globalisasi neoliberal yang beragam satu sama lain , namun mereka disatukan oleh nilai emansipasi yang sama, yakni protes terhadap keberadaan dan efek buruk WTO. Banyak pihak percaya bahwa momen tersebut menjadi: “…momen pembaptisan atas semangat dan konsolidasi skala besar dari berbagai macam gerakan baru melawan ketidakadilan.” (Ramos, n.d.).
Sejak saat itu, berbagai gerakan yang memprotes globalisasi neoliberal bermunculan di seantero dunia dalam skala besar. Selama tahun 2000, tercatat delapan gelombang protes mulai dari Davos (Swiss) ke Nice (Prancis) (el-Ojelli dan Hayden 2006, 192). Tiga demonstrasi dilakukan pada tahun 2001; pertama pada bulan April bertempat di Quebec (Kanada) memprotes keberadaan AFTA (American Free Trade Agreement), yang kedua demonstrasi memprotes EU (European Union) Summit di Gotenberg (Swedia), dan yang terakhir gerakan memprotes pertemuan G-8 di Genoa (Italia) pada bulan Juli di tahun yang sama (el-Ojelli dan Hayden 2006, 192). Tahun selanjutnya, terdapat protes terhadap pertemuan puncak Uni Eropa di Barcelona (Spanyol) pada Maret 2002 serta protes terhadap IMF/WTO di Washington DC pada September 2002. Pada September 2003, sebuah demonstrasi terjadi di Cancun (Meksiko) saat sidang WTO dan pada Juli 2005 di Edinburg (Skotlandia) saat sidang G-8 (el-Ojelli dan Hayden 2006 , 192).
GGA menjadi simbol perlawanan yang semakin mengkristal di saat berbagai gerakan yang berbeda tersebut melakukan konsolidasi dan koordinasi dengan diselenggarakannya Forum Sosial Dunia (World Social Forum / WSF) yang pertama di Porto Alegre (Brasil) pada tahun 2001. Forum tersebut menghasilkan ‘Charter of Principle’ yang menjadi landasan dasar gerakan di mana “WSF mentasbihkan dirinya sebagai arena untuk bertemu dan bertukar pengalaman, untuk mendialektikakan ide secara terbuka dan mengartikulasikan proposal aksi bagi berbagai level civil society guna melawan globalisasi neoliberal.” (http://www.worldsocialforum.org , n.d.). WSF bukan hanya media pertemuan tahunan GGA, namun juga sebuah proses yang permanen dan global yang berusaha menemukan suatu bentuk alternatif dengan tujuan utama mengonstruksi model “globalisasi baru” yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia, keadilan sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan toleransi atas perbedaan (Santos 2003). Seperti Forum Ekonomi Dunia, WSF menghasilkan sedikit ide praktikal. WSF lebih berkonsentrasi pada kritik yang bertentangan dengan arti yang umum dan samar tentang neoliberalisme danimperialisme, dan memperbaiki ide komunis lama. WSF juga menyatakan tidak setuju dengan isu globalisasi, namun karena globalisasi sudah menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan, hampir tidak ada yang membicarakan tentang bagaimana mengatasinya. WSF juga mengangkat kritik yang sama seperti gerakan anti/alternatif globalisasi, bahwa globalisasi dan kapitalisme yang mereka tentang tidak bisa diacuhkan, atau kapitalisme dan globalisasi itu adalah alat yang paling efektif menujukan pemiskinan global. Peserta WSF sudah menanggapi gagasan yang 'penting untuk diperhatikan' dari globalisasi hanyalah suatu dongeng ideologis, sehingga mereka memakai semboyan, "Another World is Possible".
Another world is possible”. Slogan ini bagi sebagian orang bisa menjadi sebuah harapan atau bahkan hanya ide utopis dalam melihat perkembangan hubungan internasional dewasa ini. Tak dapat dipungkiri bahwa ide neoliberal telah mengakar dalam kehidupan sehari-hari baik disadari atau tidak. Flacks menyatakan bahwa model market driven menyebabkan manusia terikat pada proses produksi hingga kehilangan waktu tidur. Tatanan produksi global ini didukung keberadaan perusahaan multinasional dan lembaga internasional seperti WTO, Bank Dunia dan IMF yang menyebabkan manusia tidak bisa terlepas dari jerat kapitalisme. Beberapa pertemuan tingkat dunia juga sering diadakan sebagai upaya melanggengkan jerat neoliberal seperti World Economic Forum, pertemuan tahunan WTO dll. Kenyataan bahwa liberalisme telah mengakar dalam kehidupan masyarakat banyak memberikan implikasi baik positif maupun negatif. Dalam pandangan kaum liberal, proses liberalisasi ditujukan untuk memberikan kemakmuran. Namun, pembangunan di negara ketiga dengan segala dimensinya telah menyebabkan kesenjangan dan keterbelakangan. Kritik dan resistensi baik yang terjadi dalam lingkup lokal dan internasional terhadap tatanan dunia yang dimonopoli oleh ide  liberal mendorong munculnya gerakan sosial global, sebut saja World Social Forum (WSF). WSF dianggap sebagai sebuah gerakan sosial mengacu pada pendapat Buechler, gerakan sosial diartikan,” intentional, collective effort to transform sosial order. WSF dibentuk di Porto Alegre, Brazil pada tahun 2001 sebagai respon atas tumbuh kembangnya gerakan sosial internasional dalam menentang globalisasi dan dampak pembangunan ekonomi neoliberal diberbagai negara. Ide pembentukan WSF berawal dari tim aktivis dari Brazil dan Prancis yang memiliki jaringan dengan aktivis nasional yang ada di Prancis dan Brazil, sepertihalnya kelompok internasional ATTAC ( The Assosiation pour la Taxe Tobin pour l’Aide aux citoyen ). Inisiatif ini mendapatkan dukungan dari partai buruh yang ada di Brazil. Munculnya WSF sebagai gerakan sosial global dianggap sebagai ‘perjuangan demokratik baru’ yaitu keseluruhan bentuk-bentuk perlawanan terhadap bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam masyarakat kapitalisme. Gerakan sosial sebagai bentuk perjuangan menentang globalisasi atau biasa disebut gerakan “anti globalisasi” yang selanjutnya disebut deglobalisasi. Penggunaan istilah ”deglobalisasi” merujuk pada istilah yang digunakan oleh Walden Bello. Walden Bello mengembangkan konsep deglobalisasi sebagai strategi alternatif menentang globalisasi yang ditawarkan oleh neoliberal. Deglobalisasi bukanlah anti-globalisasi dan visinya dalam tatanan dunia baru lebih identik dengan globalisasi demokratis. Menurut Bello, “deglobalisation celebrate global ties while seeking to expand the freedom and choice local communities have about they will live”. Lebih lanjut, Bello menjelaskan bahwa deglobalisasi terdiri dari usaha berkelanjutan untuk mengkonstruksi kembali institusi yang telah ada yang mendukung neoliberal dalam rangka menciptakan ruang membangun tatanan baru untuk mengorganisir kehidupan ekonomi dalam prinsip menghargai keanekaragaman. Selama ini tradisi neoliberal memaksakan homogenitas dan terpusat. Upaya membangun tatanan baru dalam menentang neoliberal dimungkinkan melalui koordinasi global dengan jaringan globalisasi demokratis. Elemen kunci dalam deglobalisasi adalah pemberdayaan kapasitas local, kemandirian dan partisipasi.
Dalam pertemuan berikutnya, WSF juga berhasil menarik keikutsertaan masyarakat yang heterogen. Pertemuan WSF yang kedua diadakan pada Januari hingga Februari, berhasil mengumpulkan  5 .000 delegasi resmi dan peserta dari 131 negara dengan jumlah berkisar antara 50 .000 hingga 80.000 orang. Pertemuan WSF ketiga tahun 2004 diselenggarakan di Mumbai (India) dengan melibatkan tak kurang dari 100,000 delegasi. Pertemuan WSF yang terakhir diadakan pada 2005 di Porto Alegre melibatkan hampir 150 .000 delegasi dan berhasil mendeklarasikan “Porto Al egre Manifesto” (el-Ojelli dan Hayden 2006, 194).
Paparan di atas menjelaskan kemunculan gerakan sosial baru yang ingin mengubah tata dunia saat ini. Praktis diperlukan sebuah kerangka teoritis untuk memahami fenomena-fenomena tersebut.
Teori Civil Society dan Counter -Hegemony
Pada bagian ini, penulis mengulas kembali salah satu varian teori neomarxis, yakni pendekatan Gramscian sebagai dasar teoritis untuk menjelaskan definisi dan strategi dari GGA. Keunggulan konsepsi Gramscian terletak pada aplikasi praktisnya serta kemampuannya untuk menjelaskan proses transformasi politik. Beberapa konsepsi penting Gramsci seperti konsep civil society dan teori hegemoni adalah proposisi utama yang dapat menjelaskan fenomena GGA.
Civil Society dan Hegemoni
Antonio Gramsci adalah seorang pemikir serta pendiri Partai Komunis Italia. Ia telah berhasil membangun sebuah teori praktis untuk memahami formasi tertib dunia (word order) maupun transformasi historis atas perubahan tertib dunia. Teorinya muncul dari pengalaman pribadinya melihat kegagalan partai komunis yang dipimpinnya dalam proses transformasi politik di Italia. Gramsci berusaha  memahami mengapa fasisme dapat meraih kemenangan dan memantapkan status-quo politiknya. Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pijakan awal untuk menemukan strategi yang tepat dalam upayanya meruntuhkan hegemoni fasisme (el-Ojelli dan Hayden 2006, 214). Civil society adalah sebuah wilayah yang berbeda dari negara dan pasar. Konsep civil society dalam pemikiran Gramsci memiliki dua peran yang berbeda, bahkan berbenturan satu sama lain.
Civil society adalah agen yang pada saat bersamaan mampu melindungi dan mempertahankan order (pemerintah yang berkuasa) sekaligus juga dapat bertindak sebagai agen yang mengikis status quo dan menciptakan orde sosial yang baru. Di satu sisi, civil society berkolaborasi dengan negara untuk menghegemoni rakyat dan mengontrol perjuangan kelas, namun di sisi lain civil society dengan posisinya yang independen dari negara juga mampu menciptakan perjuangan kelas itu sendiri dengan melakukan gerakan counter-hegemony. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Gramsci membuat formula formasi negara yakni “state = political society + civil society, dengan kata lain, negara adalah entitas hegemonik yang berbaju zirah” (Gramsci 1971, 263). Artinya, negara dalam konsepsi Gramsci dapat eksis karena mempertahankan dua hal, yakni koersi yang diwakili oleh masyarakat politik ( political society) dan hegemoni konsensual yang dijalankan oleh masyarakat sipil ( civil society). Hegemoni, dalam definisi Gramsci, adalah serangkaian dominasi atas sebagian besar aspek kehidupan manusia, dari ekonomi, sosial, politik, hingga moral dan intelektual, dengan mengedepankan aspek-aspek konsensual nonkoersif (Simon 1982, 21). Dalam kaitannya dengan masyarakat politik dan masyarakat sipil yang melindungi kekuatan status quo negara dalam jangka waktu yang lama, Gramsci cenderung menekankan pentingnya hegemoni yang mengedepankan faktor–faktor nonkekerasan dimana peran masyarakat sipil adalah faktor determinan. Sebagaimana dikatakannya: “Sangat mungkin untuk membayangkan elemen memaksa dari negara menjadi layu sedikit demi sedikit, sejalan dengan munculnya elemen yang menonjol dari masyarakat sipil.” (Gramsci 1971, 263).
Saat kekuatan hegemoni mampu diraih, hubungan antara pemerintah dan yang diperintah berjalan dalam wilayah hubungan yang kompromistis dan konsensual. Dengan kata lain, kelompok subordinat menerima dengan dengan sadar dominasi para hegemon. Mereka yang diperintah telah menerima ide dan nilai utama dari mereka yang memerintah (para hegemon) sebagai nilai dan ide mereka sendiri (Cox 1993, 61). Memahami orde sosial yang ada dalam relasi hegemonik yang nyata di mana peran civil society menonjol, pada akhirnya mampu membuat Gramsci memahami dua hal penting, yakni kegagalan revolusi komunis Italia dan strategi yang tepat untuk melakukan “serangan balik” dan menciptakan orde sosial yang baru.
Dari War of Movement menuju War of Position
Di Rusia sepanjang tahun 1917, ketika kondisi masyarakat sipil lemah (ditandai dengan bentuk masyarakatnya yang masih tradisional dan primordial ), sebuah revolusi komunis dengan serangan yang frontal, yang disebut Gramsci sebagai war of movement dapat meraih kemenangan. Di Italia, sama seperti di negara industry maju Barat yang lain di mana masyarakat sipil memiliki posisi yang mapan, fenomena seperti yang terjadi di Rusia tidak akan pernah terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Gramsci (1971, 238):
“In Russia the State was everything, civil society was primordial and gelatinuous; in the West, there was a proper relation between State and civil society, and when the State trembled a sturdy structure of civil society was at once revealed. The State was only an outer ditch, behind which there stood a powerful system of f ortresses and earthworks; more or less numerous from one State to the next, it goes without saying -but this precisely necessitated an accurate reconnaissance of each individual country”. (Gramsci 1971, 238)
Strategi politik war of movement yang lebih dikenal sebagai revolusi fisik dengan mengimplementasikan penaklukan yang cepat dan akurat atas negara jelas tidak berhasil diterapkan di negara-negara kapitalis maju. Sebuah strategi baru perlu untuk diterapkan. Gramsci mencetuskan war of position yang menekankan gerakan counter-hegemonic untuk memenangkan pertarungan pada wilayah masyarakat sipil terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan frontal kepada negara. Melakukan war of movement sebelum memenangkan dominasi war of position akan berujung pada kegagalan. Memenangkan war of position memerlukan penaklukan atas masyarakat sipil ( civil society) dan memenangkan dominasi atas civil society membutuhkan gerakan untuk mengubah common sense masyarakat dari melindungi hegemoni menjadi mendukung gerakan counter-hegemony (Cox 1993, 53). Dalam hal ini, Robert Cox memberikan komentar bahwa strategi tersebut adalah strategi revolusioner yang sulit dan membutuhkan waktu yang sangat panjang (Cox 1999, 5). Strategi yang mengharuskan kelas pekerja tidak hanya mengonsolidasikan kekuatan didalam kelompoknya, namun juga harus mengambil peran dalam sistem “fortress and earthworks” mendukung gerakan counter-hegemony yang ada dengan membangun aliansi dengan semua gerakan sosial sehingga menumbuhkan motivasi untuk mengubah relasi antar masyarakat sipil. Upaya-upaya tersebut dapat diraih dengan berbagai syarat yang disebut Gramsci sebagai “ organic crisis”. Ia menjelaskan kondisi di mana krisis dan pembangunan dapat muncul:
If the ruling class has lost its consensus, i.e. is no long er “leading” but only “dominant,” exercising coercive force alone, this means precisely that the great masses have become detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they used to believe previously, etc. The crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born. (Gramsci 1971, 275-276)
“Organic-crisis” oleh Gramsci digambarkan sebagai kondisi dimana kelas yang berkuasa telah kehilangan kepercayaan dari kelas yang dikuasainya. Posisinya bukan lagi sebagai “leader”, tetapi hanya sebagai “kelas dominan” dimana instrumen kekuasaan atas kelas yang dikuasai hanya menyisakan mekanisme koersif saja. Rakyat tunduk karena kekuatan militer negara, sementara mereka telah terlepas dari ikatan-ikatan ideologis dan emosional yang sebelumnya mengikat hubungan hierarki antara mereka dengan negara. Sekalipun demikian, kekuatan koersif negara dengan sistematis mencegah munculnya perlawanan. Frase terakhir “the old is dying and the new cannot be born” dengan tepat menggambarkan krisis tersebut.
Ia lebih jauh menjelaskan tentang kondisi yang memungkinkan terjadinya krisis
And the content is the crisis of the ruling class's hegemony, which occurs either because the ruling class has failed in some major political undertaking for which it has requested, or forcibly extracted, the consent of the broad masses (war, for example), or because huge masses (especially of peasants and petit-bourgeois intellectuals) have passed suddenly from a state of political passivity to a certain activity, and put forward demands which taken together, albeit not organically formulated, add up to a revolution. A “crisis of authority” is spoken of: this is precisely the crisis of hegemony, or general crisis of the State. (Gramsci 1971, 349)
Krisis tersebut dapat secara otomatis menciptakan lingkungan yang kondusif dimana war of position dapat diraih dan dipertahankan dan pada akhirya mampu menciptakan sebuah gerakan yang spesifik, bersatu dan solid untuk melawan hegemoni status quo. Gramsci menyebutnya sebagai blok historis counter-hegemony (Gramsci 1971, 275-276), sebuah struktur ideologis solid yang dengan terbuka melawan blok historis hegemonik.
Pendekatan Gramscian atas Gerakan Globalisasi Alternatif
Menggunakan kerangka berpikir Gramsci, penulis menjelaskan fenomena gerakan globalisasi alternatif dalam hal ontologi dan strategi gerakan yang digunakannya.
Kaitannya dengan ontologi gerakan, Gramsci mendefinisikan gerakan globalisasi alternatif sebagai bagian dari masyarakat sipil di luar negara dan pasar di mana fungsi utamanya adalah mentransformasikan tata dunia yang ada saat ini menjadi tata dunia alternatif baru. Cox mendefinisikannya menjadi sebuah “proses dari masyarakat sipil yang bottom-up yang dipimpin oleh suatu strata dalam masyarakat yang dirugikan dan terabaikan oleh tatanan kapitalis dengan membangun gerakan counter-hegemony, yang memiliki aspirasi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dan untuk mengganti tatanan hegemonik” (Cox 1993).
Raison deter-nya bukan hanya merupakan perlawanan langsung terhadap globalisasi neoliberal dengan menolak proposisi dan prakteknya, namun juga memenangkan war of position melawan hegemoni atas masyarakat sipil yang disebut Cox sebagai proses masyarakat sipil yang top-down dimana globalisasi neoliberal telah dirancang secara cermat untuk menguntungkan tatanan hegemonik. Dilihat dari sejarahnya, kemunculan masyarakat sipil yang top-down, yang diperlihatkan oleh perkembangan yang cepat atas NGOs, dimulai pada awal pasca perang dingin di bawah bendera “Agenda Kebijakan Baru (New Policy Agenda).” Agenda tersebut terdiri atas dua kebijakan utama, yakni implementasi ekonomi neoliberal seperti privatisasi, pasar bebas, dan deregulasi ekonomi serta penyebarluasan demokrasi (Edward dan Hume 1996, 961).
Di sisi strategi, GGA cenderung menggunakan strategi nirkekerasan dan diseminasi ide, dan bukan strategi koersif dengan membangun basis kekuatan material. Strategi-strategi tersebut sejalan dengan pemikiran Gramsci, yakni war of position. GGA menghindari strategi war of movement dengan konfrontasi fisik secara langsung melawan hegemoni neoliberal. Cara tersebut pernah dipakai sekali dalam battle of Seatle dan hanya berujung pada kegagalan (Ayres 205, 22). Dengan meminjam bahasa Karl Marx, strateginya yang digunakan adalah menggulingkan neoliberal di level supra struktur (ide dan substansi utamanya) dengan membentuk dan mempromosikan ide alternatif dan bukan pada level struktur (basis materialnya) dengan melakukan revolusi fisik. Dengan kata lain, untuk meruntuhkan hegemoni neoliberal, faktor utama dan pertama yang didekonstruksi adalah kesadaran ide ( consciousness) dan ‘common sense’-nya neoliberal yang salah satunya mengatakan bahwa pasar bebas bermuara pada harmony of interest; aliran modal, produksi, dan distribusi yang bebas hambatan dalam perdagangan dunia pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran global yang menguntungkan semuanya. Kesadaran ide bahwa agenda neoliberal membawa manfaat bagi dunia harus di-counter dengan memperlihatkan motif dan dampak negatif yang diproduksi oleh kapitalisme global. Perdebatan mengenai dampak negatif dari globalisasi neoliberal dan kebutuhan untuk menemukan alternative yang lebih baik harus secara intensif diwacanakan dan disebarluaskan.
Satu contoh yang telah disebutkan di bagian pertama adalah kemenangan gerakan Zapatista yang menggunakan internet dan media global lainnya untuk menyebarkan dan mengkampanyekan dampak negatif NAFTA ke seluruh penjuru dunia. Contoh lain adalah perdebatan yang semakin intensif mengenai MAI yang melibatkan banyak aktivis diberbagai penjuru dunia. Sebagaimana pernyataan Michael Corbin, salah seorang aktivis GGA: “Alasan mengapa oposisi terhadap MAI dapat berhasil adalah bahwa perjanjian tersebut muncul sebagai sebuah perjanjian yang terburu-buru, ceroboh dan mengancam sebagian besar individu dan kelompok yang beragam” (Kobrin 1998, 106-107). Sehingga, kunci sukses utama GGA yang menentang NAFTA dan MAI serta dampak buruk lain dari proyek globalisasi neoliberal adalah kemampuannya mengonstruksi dan membangun citra perjuangan dalam bahasa common sense yang populer, dimana individu dan masyarakat awam dapat memahaminya dengan mudah (Ayres 2005, 9-10). Fenomena tersebut dapat dianggap sebagai kemenangan pertama war of position yang secara moral mampu memicu gerakan sosial yang lain untuk memenangkan war of position. Sejak saat itu, berbagai jenis war of position yang dilakukan oleh GGA mulai banyak bermunculan yang secara massif dan terang-terangan melawan hegemoni neoliberal. Proliferasi berbagai war of position ini juga dipicu oleh apa yang disebut Gramsci sebagai krisis organik (organic crisis). Para hegemon masih memegang kekuasaan dalam arti material, namun kekuatan dalam bentuk soft power dan legitimasinya telah terkikis secara signifikan. Berkaitan dengan persoalan ini, Thomas J. Butko memberikan komentar: “dalam konteks kapitalisme liberal, massa masih dapat percaya pada justifikasi teoritis dan etis yang lebih besar mengenai kebebasan sistemik, individualitas, rasionalitas, namun tidak sepakat atau tidak lagi percaya dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai pemilik ‘kebenaran’ (sebagai contoh adalah blok neoliberal yang ada saat ini)” (Butko 2006, 87). Dalam prakteknya, krisis tersebut lebih condong dihasilkan oleh kesenjangan atas kekayaan yang dijanjikan oleh neoliberal dengan keadaan bertolak belakang yang makin hari makin meningkat yang merupakan dampak dari neoliberal itu sendiri. Sebagai contoh adalah meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin (sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama), degradasi lingkungan, kegagalan program pengentasan kemiskinan, dan bentuk-bentuk lain dari alienasi dan dehumanisasi manusia.
Krisis, sebagaimana gerakan Zapatista yang berfungsi sebagai counter-hegemony war of position melawan tatanan hegemonik telah memicu tumbuhnya gelombang war of position yang terjadi di berbagai penjuru dunia dari Davos hingga Genoa.
Saat war of position bermunculan dan terkristalisasi, ia mengonstruksi bentuk final resistensi yang disebut dengan blok counter-hegemony. Berbagai GGA telah berkolaborasi dan berkoordinasi satu sama lain untuk mempersatukan dan memperkuat gerakan mereka menuju tercapainya transformasi tertib dunia. Transformasi yang mereka idealkan ini hanya dapat dicapai dengan mempersatukan gerakan dan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai collective man:
“An historical act can only be performed by “collective man” and this presupposes the attainment of a “cultural-socio unity” through which a multiplicity of dispersed wills, with het eregenous aims, are welded together with a single aim, on the basis an equal and common conception of the world.” (Gramsci 1971, 349)
Dalam konteks GGA, perkembangan WSF pada 2001 sebagai pertemuan tahunan seluruh gerakan resistensi neoliberal dapat dianggap sebagai konstruksi atas blok counter-hegemony yang tidak hanya melawan pembentukan neoliberal WEF, namun juga sebagai sebuah tindakan perlawanan nyata terhadap proyek–proyek neoliberal yang lain. Meskipun peserta WSF datang dari berbagai macam latar belakang dengan tujuan yang berbeda-beda, namun secara umum mereka memiliki consciousness dan common sense emansipatif sama yang disebut Gramsci sebagai “a cultural-socio unity” atau sebuah kesatuan yang melintas batas sosial budaya untuk mewujudkan mimpi “another world is possible” sebagai tujuan ideal bersama. WSF sebagai “ collective man” mempersatukan gerakan resistensi untuk berkolaborasi dan berjuang guna membentuk dunia alternative yang lebih baik.
Kesimpulan
Globalisasi adalah fenomena yang membawa banyak perubahan dalam pola interaksi antarmanusia. Dalam posisi demikian, globalisasi menciptakan paradoks dalam dirinya sendiri; sebagian adalah “organ” yang diuntungkan oleh proses globalisasi ekonomi, sementara sebagian yang lain adalah kelompok mayoritas yang cenderung dirugikan oleh gerusan cepat aktor-aktor globalisasi. Salah satu dari kelompok yang terakhir adalah Gerakan Globalisasi Alternatif, sebuah entitas korban globalisasi ekonomi yang cenderung mengambil jalan tengah dengan membentuk tertib dunia alternatif yang lebih bermartabat dan humanis. GGA adalah gerakan perlawanan unik yang tidak sepenuhnya menentang globalisasi, dimana kesuksesan gerakan ini di dalam menentang globalisasi ekonomi ditentukan oleh efektivitas penggunaan internet –salah satu produk globalisasi– untuk menggugah konsen penduduk dunia akan arti pentingnya perubahan. GGA merupakan agen perubahan penting yang mulai menguat di akhir 1990-an hingga awal 2000-an ini perlu dipahami dari perspektif teoritis. Salah satunya adalah dengan menggunakan konsepsi Gramsci tentang hegemoni dan civil society yang tidak hanya mampu menjelaskan ontologi gerakan dan strategi GGA secara mendetail, tetapi juga struktur dominasi yang terjadi dalam arena globalisasi.
Melihat struktur dominasi yang ada, pendekatan Gramscian membacanya sebagai struktur dunia yang hegemonik, dimana dominasi neoliberal kapitalisme atas dunia dan aktor-aktor yang disubordinasi olehnya berjalan dalam logika teori hegemoni Gramsci. Struktur dominasi neoliberal tidak banyak disandarkan pada kekuatan koersi, tetapi lebih pada keberhasilannya menguasai common sense dan konsen masyarakat dunia melalui penciptaan top-down civil society. Banyaknya dampak negatif neoliberal globalisasi telah menciptakan kondisi apa yang diistilahkan Gramsci sebagai “ organic crisis”, sebuah situasi yang memberi peluang bagi bottom-up civil society untuk mengusung perubahan dalam wadah GGA.
Dalam konteks tersebut, secara ontologis, GGA dipahami sebagai bottom-up civil society yang bertujuan melakukan counter-hegemony melawan hegemoni neoliberal. Kesuksesan dominasi neoliberal melalui cara-cara hegemonik, membuat GGA belajar bahwa kesuksesan gerakan ditentukan oleh kemenangan war of position dimana strategi yang digunakan tidak dengan cara frontal revolusi fisik, melainkan penguasaan conciousness dan common sense warga dunia untuk mendukung ide-ide perubahan melawan hegemoni neoliberal.
Daftar Pustaka
Buku
·         Cox, Robert W., 1993. Gramsci, Hegemony, and Intern ational Relations: an Essay in Method. dalam Stephen Gill ed . Gramsci Historical Materialism and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press.
·         Castell, Manuel, 2000. The Information A ge :Economy, Society, and Culture –The Power of Identity. Oxford: Blackwell.
·         El-Ojeili, Chamsy dan Patrick Hayden, 2006. Critical Theory of Globalization , New York: Palgrave MacMillan.
·         Filho, Alfredo Saad ed., 2005. Neoliberalism, a Critical Reader . London: Pluto Press.
·         Fisher, W. F. dan T. Ponniah, 2003. Another World is Pos sible: Popular Alternatives to Globalization at the World Social Forum . London: Zed Books.
·         Gramsci, Antonio, 1971. Selections from the Prison Notebooks . dalam Q. Hoare and G. Nowell-Smith eds. New York: International Publishers.
·         Keane, John, 2003. Global Civil Society? . Cambridge: Cambridge University Press.
·         Podobnik, Bruce dan Thomas Reifer eds. n.d. Transforming Globalization: Challenges and Opportunities in the Post 9/11 Era . Leiden and Boston: Bri ll Academic Publishers.
·         Polanyi, K., 2001. The Great Transformation: The Po litical and Economic Origin of Our Times. Boston: Beacon Press.
·         Simon, Roger, 1982. Gramsci’s Political Thought , London: Lawrance and Wishart.
·         Thomas, Caroline, 1997. Poverty, Development, and Hunger. dalam John Baylish dan Steve Smith eds. The Globalization of World Politics . New York: Oxford University Press.
·         Richard Flaks dalam Jackie Smith, Social Movements for Global Democarcy, Baltimore, The Johns Hopkins University Press, 2008.
·         Buechler, 2000 dalam Chamsy el. Ojeili & Patrick Hayden , Critical Theories of Globalization, Basing Stoke, Palgrave, Mac Millan
·         Penjelasan mengenai  kegagalan negara dalam kapitalisme global dapat dilihat lebih lengkap dalam Noreena Heertz, Global Kapitalism and The death of Democracy : The Silent Take Over, New York, Harper Business, 2003. dan Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi., Yogyakarta, Media Presindo, 2007.
·         Flaks dalam Jackie Smith, Social Movements for Global Democarcy, Baltimore : The Johns Hopkins University Press, 2008.
Artikel dalam Jurnal
·         Butko, Thomas J., 2006. Gramsci and the “anti-globalization” Movement: Think Before You Act. Social and Democracy, 20 (2).
·         ------------------, 1999. Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for a n Alternative World Order . Review of International Studies , 25 (7).
·         Edward, Michael dan David Hume, 1996. Too Close for Comford, The Impact of Official Aid on Nongovermental Organizations . World Development, 24.
·         Kobrin, Stephen J., 1998. The MAI and the Clash of Globalizations. Foreign Policy.
·         Ramos, Leonardo Cesar Souza. Civil Society in an Age of Globalization: a Neo-Gramscian Perspectives. Journal of Civil Society , 2 (2), hlm. 157.
Artikel Online
·         Santos, Boaventura de Souza , 2003. The World Social Forum: Toward a Counter Hegemony Globalization [online]. dalam http://www.ces.fe.uc.pt/bss/documentos/wsf.pdf. [diakses 20 November 2012].
·         http://www.worldsocialforum.org [diakses 20 November 2012].
·         Slogan World Social Forum. Dalam  http://www.wsfindia.org/ [diakses 24 November 2012]
·          



[1] Diambil dari jurnal Bapak Winner P. Utama, Dosen FISIPOL UMY. Dengan editan dalam konsep WSF.

Read more ►

Kamis, 22 November 2012

FENOMENA KRISIS DEMOKRASI MELALUI LIBERALISASI MEDIA

0 komentar


Rijal A. Mohammadi
Abstrac:
Paradigm shift in the early days of the medium as control of the third pillar and the underlying performance of checks and balances to be satisfying the elite and the holders of capital, so that citizens are no longer seen as a public sphere but rather to customers. This article shows what led to the crisis of democracy due to the liberalization of media without clear control functions.
Kata-kata kunci:
tatanan demokrasi, market-driven journalism, krisis demokrasi

Munculnya media dalam penyampaian aspirasi publik telah terjadi sejak tahun 1920-an, seperti Pertja Selatan yang berasal dari Palembang. Pada tahun 1920-an, Palembang dan daerah-daerah lain, gerakan antikolonialisme ditandai dengan munculnya organisasi gerakan modern, seperti Serikat Islam, PARI, Gerindo, dan PKI. Kehadiran organisasi gerakan modern itu berdampak terhadap perubahan aktivisme politik lokal dalam menentang kolonialisme. Salah satu perubahan yang signifikan adalah penggunaan penerbitan media massa, seperti surat kabar sebagai alat perlawanan. Munculnya surat kabar tak lepas dari orang-orang atau para aktivis organisasi tersebut yang sudah melek huruf atau mengenal sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial hindia belanda. Implikasi dari sekolah tersebut adalah mereka dapat berfikir terbuka,  bebas, dan radikal, lebih peka terhadap situasi ketertindasan dan ketidakadilan, dan memiliki tanggungjawab.[1] Mereka menggunakan media massa melalui surat kabar sebagai alat-alat perlawanan untuk kepentingan menghimbau massa, menggulirkan isu-isu, dan menyebarkan informasi dan kebijakan-kebijakan politik kepada aktivis maupun para simpatisan organisasi dan rakyat. Bahkan surat kabar di fungsikan sebagai counter-news dan sekaligus kritik terhadap kebijakan rezim kolonial hindia belanda.
Kemudian dewasa ini pada era demokrasi, media massa memiliki kemerosotan terhadap paradigma awal munculnya media massa di awal tahun1920-an. Pengalihfungsian media dari fungsi sebenarnya telah terlihat pada masa awal rezim orde baru, lebih memihak kepada pemerintah Soeharto. Dalam beberapa waktu belakangan, industri media di Indonesia mengalami beberapa pergeseran. Pertama, dalam industri televisi, muncul berbagai macam tayangan yang menyajikan berita-berita kriminal dan infotaiment. Tayangan-tayangan semacam ini seperti menjadi program ‘wajib’ pada hampir semua stasiun televisi kecuali TVRI dan stasiun lokal. Dalam program kriminal yang sering kali muncul di peredaran televisi Indonesia seperti Sidik (MNCTV), Sergap (RCTI), Buser (SCTV), Sorot (GlobalTV) dan TKP (Trans7). Adapun program yang menyajikan program infotaiment seperti Intens, kabar-kabari dan Silet (RCTI), Insert (TransTV), Go Show (MNCTV), kasak-kusuk (SCTV), Berita Selebriti (ANTV), Kiss (Indosiar) dan Star 7 (Trans7). Kedua, dalam industry media cetak, beberapa Koran juga tengah mengubah tampilannya seperti yang dilakukan oleh Koran Tempo, Republika, Kompas dan Jawa Pos. Selain dalam rangka efisiensi, mengubah format tampilan seperti ini dilakukan dalam rangka mengemas korannya agar nampak lebih aktraktif.
Perubahan-perubahan yang terjadi sejak fase awal media berdiri di Indonesia tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi pasti ada balutan politik yang menyentuhnya. Seperti halnya dalam pengaruh pemerintahan rezim-rezim yang telah ada di Indonesia. Karena pada hakikatnya, barang siapa hendak menguasai perpolitikan dalam suatu rezim maka kuasai terlebih dahulu lini medianya. Hal ini yang dilakukan PKI dalam merebut stasiun RRI pada tahun 1960-an untuk menumbangkan kuasa dewan jenderal yang terbunuh  dalam tragedy G30S di saat pemerintahan presiden Soekarno. Indonesia yang telah mengalami banyak peralihan model demokrasi dari terpimpin, parlemen dan lain sebagainya berpengaruh sekali terhadap perkembangan media di dalamnya. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis. Menurut Miriam Budiardjo, bahwa salah satu ciri negara demokrasi adalah memiliki pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sedangkan, Inti dari demokrasi adalah adanya kesempatan bagi aspirasi dan suara rakyat (individu) dalam mempengaruhi sebuah keputusan. Dalam Demokrasi juga diperlukan partisipasi rakyat, yang muncul dari kesadaran politik untuk ikut terlibat dan andil dalam sistem pemerintahan. Pada berbagai aspek kehidupan di negara ini, sejatinya masyarakat memiliki hak untuk ikut serta dalam menentukan langkah kebijakan suatu Negara.
Pers merupakan  pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers sebagai kontrol atas ketiga pilar itu dan melandasi kinerjanya dengan check and balance. untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. disamping itu pula untuk menegakkan pilar keempat ini, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan  politik. pers yang tidak sekedar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar. Kemungkinan kebebasan lembaga pers yang terkapitasi oleh kepentingan kapitalisme dan politik tersebut, mendorong semangat lahirnya citizen journalism. Istilah citizen journalism untuk menjelaskan kegiatan proses dan penyajian berita oleh warga masyarakat bukan jurnalis profesional. Aktivitas jurnalisme yang dilakukan oleh warga sebagai wujud aspirasi dan penyampaian pendapat rakyat inilah yang menjadi latar belakang bahwa citizen journalism sebagai bagian dari pers merupakan sarana untuk mencapai suatu demokrasi.
Dalam tatanan pemerintahan demokrasi seperti yang di utarakan Miriam Budiardjo, kebebasan yang dilakukan oleh pers dan media dalam menyalurkan aspirasi merupakan ciri utama bagi Negara demokrasi. Akan tetapi fungsi kontrol pemerintah dan badan pengawas media dan pers harus benar-benar ditegakan untuk menghindari market-driven journalism. Agar pers dan media tidak dengan mudah di bayang-bayangi oleh berbagai macam kepentingan yang dapat merugikan Negara ini. Dalam market-driven journalism, masyarakat dianggap sebagai customer bukan sebagai warga Negara. Karenanya jurnalisme diorientasikan untuk melayani kelompok tertentu (berdasarkan target marketing), dibandingkan untuk melayani warga negaranya secara keseluruhan. Akibatnya media telah gagal merepresentasikan dirinya sebagai pilar demokrasi yang penting.
Atas alasan-alasan di atas, tulisan ini akan ditujukan untuk melakukan eksplorasi lebih jauh menyangkut bagaimana praktek media dalam bidang jurnalis dalam tatanan demokrasi. Hipotesis yang diajukan dalam tulisan ini adalah media yang dikendalikan kapital/penguasa (market-driven journalism) menyumbang bagi kemunduran kualitas media massa, dengan demikian menyumbangkan bagi terjadinya krisis demokrasi. Hipotesis ini didasarkan pada media massa dewasa ini banyak dibayang-banyangi oleh kepentingan para penguasa yang mana telah melenceng terhadap paradigma awal media berdiri yaitu penyambung aspirasi rakyat yang dengannya suara rakyat dapat tersalurkan dan di dengar atau mungkin diapresiasi oleh pemerintah dalam sistem Negara yang demokrasi. Karena pada dasarnya media mempunyai posisi penting dalam sistem politik demokrasi, terutama dalam penyediaan informasi. Akan tetapi, fungsi kontrol yang melihat liberalisasi penggunaan media tidak terbatas, sehingga dapat dengan mudah di bayang-bayangi oleh banyak kepentingan. Hal ini yang menggeser media berorientasi publik ke arah media yang berorientasi pasar untuk menghasilkan profit dengan menjual hal yang berbau sensasional, kriminalitas, gossip dan kekerasan.
Tulisan ini akan diawali dengan membahas apa yang dimaksud dengan tatanan demokrasi? Selanjutnya, dalam rangka melacak liberalisasi media dalam perkembangannya di Negara-negara demokrasi maka akan dibahas perspektif analisis untuk membedah kemunculan market-driven journalism yang akan di bahas pada bagian selanjutnya. Akhirnya, tulisan ini akan ditutup dengan pencarian alternative terhadap persoalan-persoalan yang muncul akibat dominasi pemilik modal/kapital dalam pengelolaan media yang berujung pada kemunduran demokrasi, karena empat pilar dalam demokrasi terasa dikhianati.
Tatanan Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani: demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Definisi “pemerintahan oleh rakyat”. Terlihat mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintah oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintah dalam masyarakat yang berbeda dan pada waktu yang berbeda. Liberalism muncul untuk dapat menyerang sistem yang lama yaitu menurunkan kekuasaan Negara dan kemudian menciptakan masyarakat sipil di mana hubungan-hubungan sosial berkembang tanpa ada campur tangan Negara. Tradisi yang muncul adalah terbentuknya demokrasi liberal yaitu liberal dahulu (bertujuan untuk membatasi kekuasaan Negara terhadap masyarakat sipil) lalu demokrasi (bertujuan untuk menciptakan struktur yang akan mengamankan mandat rakyat untuk para pemegang kekuasaan Negara). Dalam beberapa hal, pengembangan pemikiran demokrasi liberal berkembang di seputar penyelesaian hubungan kompleks diantara kedua elemen ini.
Menurut Friedrich von Hayek, membedakan secara tajam liberalism dan demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah doktrin mengenai bagaimana seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi sebagai sebuah doktrin mengenai cara menentukan bentuk hukum tersebut.[2] Bagi Hayek demokrasi bukan hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi adalah kebebasan (liberty), yang dapat tercapai hanya jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah. Dalam pandangan ini, demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga bahwa mayoritas akan menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu. Robert Dahl menyatakan bahwa kapitalisme modern cenderung  “menciptakan ketimpangan dalam sumber daya sosial dan ekonomi yang sangat besar yang menyebabkan pelanggaraan terhadap persamaan politik dan arena itu, terhadap proses demokratisasi.”[3] Dahl menyarankan sebuah sistem kontrol bersama atas perekonomian. Dahl juga mempunyai definisi tentang demokrasi idealnya memiliki: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Pengertian sempit demokrasi dirumuskan oleh Schumpeter. Baginya demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga Negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Di antara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga Negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemempuan untuk memilih di antara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi. Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik di mana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara.”[4]
Pada ujung spectrum lainnya kita mempunyai pengertian demokrasi yang sangat komprehensif yang diusulkan oleh David Held. Held menggabungkan pemahaman pandangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi:
Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannaya; yaitu, mereka harus memperoleh yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak orang lain.[5]
Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas Negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan pertisipasi substansial secara langsung pada lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Ototnomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of rights) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir oleh warga Negara terhadap agenda politik. Termasuk juga hak-hak sosial dan ekonomi memastikan bahwa tersedia sumber daya yang cukup bagi otonomi demokrasi. ”Tanpa hak-hak ekonomi dan sosial yang kuat, hak-hak yang berhubungan dengan Negara tidak dapat diperoleh sepenuhnya; dan tanpa hak-hak Negara (state rights), wujud baru ketimpangan kekuasaan, kesejahteraan dan status secara sistematis akan mengacaukan implementasi kebebasan sosial dan ekonomi.”[6]
Liberalisasi Media di Tengah Negara Demokrasi
Lebih dari dua puluh tahun silam, terdapat 3 (tiga) kasus yang tidak popular pada pemerintahan di Asia Tenggara yang tidak disukai oleh rakyatnya dan diprotes melalui gerakan perlawanan rakyat. Di Filipina tahun 1986, gerakan People Power berhasil mengusir Marcos dari kursi kuasa kepresidenan. Di Thailand tahun 1992 yang terkenal dengan Peristiwa Mei mendepak pemerintah Suchinda Kraprayoon dari kekuasaan negara, dan Indonesia tahun 1998 terkenal dengan tragedi reformasi berhasil menurunkan kedoiktatoran Soeharto (McCargo, 1999:131).[7] Media memainkan peranan penting dalam gerakan yang terjadi di negara-negara tersebut, kecuali Myanmar (1988). Asumsi utama dalam kajian demokratisasi adalah, semakin press independent dengan semakin besar kebebasan yang dimiliki maka akan memberi kontribusi positif pada perubahan politik, mendukung transisi demokrasi dan meruntuhkan rejim yang otoritarian. Dengan kata lain, media dapat memainkan peranan yang sangat besar khususnya pada saat babak politik dalam transisi, karena media dapat bertindak sebagai agen perubahan. Neumann menjelaskan bahwa kebebasan memegang peranan penting  di Asia Tenggara, khususnya dalam proses liberalisasi politik yang berhubungan dengan munculnya pers yang lebih terbuka dan kritis (Neumann, 1998).   Lalu, apa fungsi yang ditunjukkan oleh media sebagai institusi politik? Salah satu fungsi yang telah dirancang oleh Soeharto dan elite negara dalam negara berkembang adalah, mempromosikan ideologi nasional dan melegitimasi proses pembangunan. Dalam  menjalankan fungsi ini, pers adalah sebagai sebuah agen stabilitas, yang bertugas membantu melestarikan tatanan sosial politik. Fungsi ini umumnya berkaitan dengan istilah development journalism. Fungsi kedua adalah memonitor tatanan politik pada masa damai, melakukan checks and balances.
Dalam bab yang berjudul why don’t we call journalists political actors?, Cook (1998:4) mengemukakan beberapa hal: Pertama, para jurnalis telah bekerja keras untuk mendorong masyarakat agar tidak berpikir bahwa mereka (jurnalis) merupakan aktor politik. Mereka sangat berhasil dalam upaya ini, sehingga mereka pun sepertinya sangat yakin dengan hal ini. Kedua, studi mengenai komunikasi politik berkembang di tengah-tengah sebuah tradisi yang menekankan efek media, dan disiplin ilmu yang terkait dengan studi politik tentang media berita pun telah pula menyembunyikan implikasi dari kegiatan mereka. Pada umumnya, ketika pakar politik merasa nyaman dengan melihat konstribusi politik dari media, maka mereka menjadi kurang memiliki keinginan untuk melihat media berita sebagai sebuah institusi. Dengan kata lain, para jurnalis telah berhasil untuk meyakinkan kalangan akademisi, bahwa mereka bukan aktor politik, dan para peneliti yang membahas tentang studi politik maupun media telah melalaikan hal ini. Fungsi ketiga adalah sebagai fire-fighting, yaitu membantu dalam menentukan hasil dari perubahan politik dan sosial dramatik yang terjadi saat krisis. Beberapa contoh di Asia dapat menunjukkan hal ini, yakni peran media dalam menggulingkan rezim Marcos di Filipina di tahun 1986, atau dukungan yang ditunjukkan pers pada demonstrasi pro-demokrasi pada bulan Mei 1992 di Bangkok. Dalam fungsi ketiga ini, pers merupakan agen perubahan (agent of change).[8]
Kajian mengenai media di negara berkembang cenderung lebih menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara atau menjadi alat kepentingan untuk melestarikan ideologi penguasa (hegemoni). Dalam hal ini ada kepentingan yang cukup signifikan dari pemegang kekuasaan untuk menggunakan media sebagai alat politik dalam mencapai tujuannya. Misalnya saja, dalam kasus di Thailand, fokusnya selalu mengenai penggunaan media elektronik oleh pihak militer dan aktor negara lainnya. Media dipandang sebagai pion dari kekuasaan negara, atau sebut saja sebagai aktor yang melayani negara (servant of the state). Kaitannya yang erat dengan kontrol dan sensor negara, dan pamahaman tentang bagaimana aspek media berfungsi dalam titik waktu tertentu, juga kecenderungannya untuk terlalu berpusat pada negara (state-centric). Media pada dasarnya memiliki karakter yang bermacam-macam dan jamak, terlihat dari  kenyataan bahwa media cetak sering meliput tentang isu-isu politik. Seiring dengan kekuasaan negara yang semakin melemah di seluruh dunia, sensor dari negara menjadi semakin melemah pula. Upaya untuk mempengaruhi muatan dan nada dari publikasi pemberitaan menjadi tidak selalu berkaitan dengan negara, namun oleh politisi oposisi, petinggi militer, pihak publik, pelobi, perusahaan, dan kelompok non-pemerintah, dan pihak lain, semuanya terlibat di sini. Hal menarik untuk menjelaskan tentang konsep peran politik dari media adalah bab yang ditulis oleh pengamat Jepang, Susan Pharr, yang mengemukakan adanya 4 (empat) pandangan yang saling berlawanan, yaitu: pertama media sebagai penonton (spectator); kedua, sebagai penjaga (watchdog); ketiga, sebagai pelayan (servant); dan keempat, sebagai penipu (trickster). Pharr memandang media sebagai penipu, sebuah kosa kata yang dibuatnya sendiri. Menurutnya, penipu merupakan partisipan aktif dalam proses politik. Dampak utama dari peran penipu sebagai pembangun komunitas. Label penipu kemudian berubah menjadi kosa kata yang positif, yaitu mencerminkan perilaku media yang penuh dengan kebaikan (Pharr, 1996:24-36).[9]
Perilaku media secara frekuentatif menampilkan sisi yang ambigu, hipokrit, dan inkonsisten, singkatnya mereka itu bersifat licin dan dan menipu. Menipu dalam konteks ini, meski dapat dipandang sebagai positif, tetapi juga mengandung sisi yang bersifat membahayakan dan destruktif. Pharr berpendapat bahwa media penipu tidak mewakili kepentingan satu kelompok tertentu pun, seperti media di Asia Tenggara yang secara frekuentatif terjebak dalam berbagai kepentingan. Tipuan ini tidak datang dari kurangnya loyalitas, namun dari loyalitas yang berlipat, pluralitas dalam kewajiban, dan beragamnya stakeholder mereka. Sangat jelas bahwa stakeholder mereka yang bermacam-macam menghasilkan kekuatan sekaligus kelemahan. Analis media dari barat cenderung melihat hubungan partisan dalam konteks hubungan formal dan informal antara organisasi media dan partai politik. Dalam konteks Asia Tenggara, definisi ini belumlah memadai; hubungan partisan harus dipahami sebagai rangkaian keseluruhan dari hubungan antar- praktisi, secara paralel dengan dunia media dan politik. Banyak literatur media di negara berkembang menekankan dominasi atau hegemoni kekuasaan negara, di mana media digunakan sebagai alat propaganda negara (Pharr, 1996:24 -36).[10]
Media dapat dipahami sebagai sebuah titik pertemuan dari banyak kekuatan yang berkonflik dalam masyarakat modern, dan karena itu tingkat kerumitan isu dalam media tinggi. Hubungan antara pemerintah dan media dan politik, dan media dengan masalah globalisasi dan lokalitas, keduanya menjadi hal yang controversial dalam kajian media umumnya (Koike: 2002:13 -14).[11] Penggambaran tentang bagaimana media berandil dalam meruntuhkan sistem politik Orde Baru pada Mei 1998. Koike mengidentifikasi peranan politis media dalam gerakan reformasi menentang pemilik stasiun televisi, di mana anak-anak Soeharto dan kroninya. Teknologi mutakhir semacam internet memainkan peranan sangat besar dalam mendukung reformasi dan gerakan demokrasi. Contoh email yang ditulis oleh George Aditjondro yang dipublikasi dalam sebuah website oleh orang-orang Indonesia di Jerman. Para pelajar Indonesia menemukan artikel Aditjondro pada internet, mencetaknya dan menjual fotocopi dari artikel itu di jalanan, dan hal ini merupakan informasi kontroversial yang langsung menyebar dengan cepat dan meluas di Indonesia. Hal ini merupakan salah satu contoh dari masalah dimana sebuah medium baru dan medium tradisional sangat efektif bila digabung.
Ada karakter yang berlawanan dari dinamika media pada era pasca Soeharto yang memunculkan perobahan politik yang drastis yang telah membawa Soeharto turun dan memberi jalan yang lebih demokratis dan liberasi media, dimana mengarahkan pada munculnya ruang publik dan civil society di Indonesia. Saat itu, suara warga dibisukan oleh penguasa. Sistem politik yang represif telah mengawasi warga secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain dari pada yang dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media massa media yang diekspresikan melalui bahasa tulis dan lisan. Sebagai wacana baru (newspeack), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan-kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu. Hal menarik yang bisa mendukung telaah ini adalah kasus Chili. Di Negara Chili ada upaya mendemokratisasi media. Artinya ada proses untuk melibatkan pembentukan mekanisme yang memungkinkan civil society turut berpartisipasi dalam pembuatan keputusan mengenai muatan dan sifat pesan, dan untuk mempengaruhi keputusan yang berkaitan dengan kebijakan komunikasi politik. (Reyes Matta, 1981:90). Di Chili, Armand Mattelart (1980:51-52, 189-213) mengkritisi kebijakan media Unidad Popular atas vertikalitas mereka yang eksesif (terlalu berlebihan)–dengan berdasar pada peningkatan jumlah media yang diproduksi secara profesional dan upaya yang kurang memadai untuk mengubah hubungan antara produksi dan penerimaan media (Bresnahan, 2003:39-68).[12]
Mattelart mendukung upaya penyediaan sumber daya dan latihan dasar untuk menciptakan massa yang lebih terorganisasi dan dapat menjadi pembuat pesan bagi diri mereka sendiri, yang lahir dari perjuangan sosial mereka, dengan menunjuk surat kabar terkemuka cordones industriales (sabuk industri) dan militant poblaciones (surat kabar dari kota kecil) sebagai model. Pusat dari teori media demokrasi saat ini adalah teori Habermas (1997) tentang konsep lingkungan publik (public sphere) sebagai ruang sosial (social space) untuk artikulasi mengenai masyarakat sipil, yaitu semua tempat fisik dan  ruang yang termediasi, dimana diskusi terbuka mengenai masalah kepentingan publik dapat dilakukan dengan bebas.[13] Seiring dengan perkembangan media yang semakin menjadi arena primer dari lingkungan publik, demokratisasi media telah diakui sebagai komponen penting dari demokratisasi politik penuh; Garnham mengemukakan bahwa institusi dan proses komunikasi publik sendiri merupakan bagian sentral dan integral dari struktur dan proses politik (1994:361), dan Bernett menekankan bahwa selama transisi politik, rancangan proses komunikasi menjadi sama pentingnya dengan rancangan institusi  politik, ekonomi, dan sosial (1998:206), hal ini sedikit telah diabaikan oleh para teorisi transisi terkemuka. Hampir sama pula McChesney menyatakan bahwa untuk respon mengenai konsentrasi, konglomerasi dan transnasionalisasi media, hal yang terpenting adalah bagaimana media dikontrol, distrukturisasi, dan disubsidi seharusnya menjadi topik utama dalam perdebatan demokrasi (Bresnahan, 2003:39-68).[14]
Mendemokratisasi komunikasi menuntut adanya kebebasan untuk berbicara dan menggunakan hak tersebut untuk berkomunikasi. Ini menempatkan kewajiban yang sama pada masyarakat demokrasi untuk memberi kesempatan dan sarana untuk menggunakan hak ini, yaitu dengan membantu, mendukung dan mensubsidi badan atau organisasi dan kegiatan operasional dari surat kabar, jurnal, media penyiaran, dan sebagainya, yang diter bitkan oleh organisasi, kelompok minoritas, dan semua kelompok yang tidak mampu mendanai pendirian dan kegiatan operasional media mereka. Dengan kata lain, penciptaan sektor sipil dari media massa, merupakan upaya non komersial untuk berbicara dan bagi kelompok sosial, ini memberi kesempatan pada mereka untuk berbicara dengan suara mereka sendiri. Sejak model demokrasi juga menjadi model parsipatoris (lihat McQuail, 1987), sektor sipil ini tidak hanya akan terdiri atas media massa, namun juga media yang terdesentralisasi atau media akar rumput. Seperti halnya media kecil yang yang memberi perlawanan penting kepada rezim otoriter dan berperan sebagai agen civil society dalam proses pembentukannya dan juga tahap pelaksanaannya (Jakubowicz, 1995a:33-34), ketika demokrasi tercapai, mereka berperan dalam distribusi kekuatan komunikasi diantara kelompok sosial (politik, ekonomi, etnis, budaya, agama, dan sebagainya) dan memainkan peran khusus dengan mengekspresikan sikap, kebutuhan, kepentingan dan aspirasi dari sektor sosial pada tingkat lokal (Vreg, 1995:60-61).
Berkaitan dengan subsidi publik terhadap sektor media sipil yang independen, teorisi demokrasi seperti McChesney, Garnham, dan Keane menekankan pentingnya penyelenggaraan antitrust yang giat untuk membatasi kepemilikan silang dan konsentrasi media. Mereka juga mengemukakan pentingnya untuk mengatur perkembangan media transnasional besar yang dapat berperan dalam  meningkatkan kontrol terhadap sistem distribusi media, terutama dalam upaya mengembangkan infrastruktur informasi digital global. Kebijakan publik lain yaitu mendukung upaya promosi demokratisasi media, yang meliputi perlindungan hukum untuk berbicara tentang masalah politik, terutama bagi media yang bergerak dalam sektor sipil, yang memiliki jumlah iklan yang terbatas, khususnya iklan untuk anak -anak, serta partisipasi aktif dari wakil yang dipilih oleh masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan media. Pengajuan tambahan, seperti mendanai sektor media sipil dengan pajak iklan dan penggunaan spektrum, menuntut pihak penyiar untuk memberikan kontrol program harian pada wakil masyarakat sipil atau menempatkan mereka sebagai pembawa muatan yang bertugas untuk membawa pesan dari masyarakat luas, seperti halnya dengan pihak pengiklan, dan memberi peran yang besar bagi jurnalis dan pekerja media yang lain dalam manajemen perusahaan media dapat merepresentasikan visi demokratisasi media yang jauh dari realisasinya dimanapun di dunia ini. Untuk mengukur kebijakan media Chili dengan standar ini merupakan suatu hal yang tidak realistis.
Market-driven Journalism
Dengan berdasar pada teori Downs, teori politik media mengambil pendekatan pilihan rasional yang bersifat bebas terhadap subyeknya. Teori politik media yang dibangun Zaller merupakan perluasan dari kajian Anthony Downs, An Economic Theory of Democracy . Pada tahun 1957, Downs mendapat temuan tentang proses politik dari partai saat berkompetisi untuk memperebutkan dukungan pemilih rasional. Temuan riset Downs benar -benar dapat menjelaskan berbagai fitur yang paling penting dalam politik demokrasi umumnya. Namun teori Downs hampir tidak menyebutkan jurnalis dan tidak memberi peran pada jurnalis yang independen dalam politik. Dalam studi yang dilakukan, Zaller merumuskan tentang peran teoretis dari jurnalis dalam sistem demokrasi Downs dan menemukan akibat -akibat dari perubahan tersebut. Secara khusus, Zaller berpendapat bahwa politisi yang tengah memperluas ruang gerak dan pengaruhnya untuk berkomunikasi dengan pemilih (voters), paling tidak dalam beberapa waktu melalui profesi jurnalistik yang memiliki kepentingan untuk memberikan suara dan peran kepada para pembaca. Oleh karena teori Downs dan teori perluasan Zaller ini berakar pada kekuatan politik dasar, maka sangatlah masuk akal untuk meyakini bahwa teori Zaller tentang politik media dapat menjelaskan berita politik tidak hanya di Amerika Serikat secara um um, termasuk pemilihan umum presiden, melainkan juga di Indonesia.[15]
Kuatnya kapitalisasi dalam institusi media telah melahirkan praktik jurnalisme yang lebih dikendalikan oleh pasar atau yang sering disebut market-driven journalism. Oleh para ahli, market-driven journalism didefinisikan sebagai berita yang mengikuti logika pasar guna menciptakan suatu lingkungan yang mendukung ke arah usaha komersialisasi (McManus seperti dikutip kurpius, 2003: 77). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh McManus terhadap industri televisi di AS, ada tiga ciri penting market-driven journalism. Pertama, motivasi mengejar keuntungan dengan memaksa stasiun-stasiun untuk mengambil liputan yang mempunyai area liputan yang sama. Kesepakatan semacam ini telah mendorong para jurnalis televisi untuk mendefinisikan berita didasarkan pada kategori-kategori pokok seperti kriminalitas, pendidikan, hiburan, dan lain sebagainya. Kedua, para konsultan televisi menjadi salah satu pihak yang bertanggungjawab terhadap liputan yang hampir seragam. Ketiga, pasar menjadi kekuatan yang menentukan rutinitas peliputan berita, pemilihan, dan pelaporan. Rutinitas semacam ini dibatasi oleh biaya-biaya liputan, sedapat mungkin laporan berita mengeluarkan biaya minimal, tetapi mampu menjangkau audience yang luas.
Dalam market-driven journalism, audience lebih dilihat sebagai “customer” dibandingkan dengan sebagai “citizen”. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Joel Kramer (seperti dikutip Underwood, 2001:5) marketing menjadi jurnalisme, editor mengambil keputusan dalam garis kebijakan ini. Surat kabar di susun berdasarkan unit-unit customer dan editor bertanggungjawab dalam mencari pembaca dan keuntungan. Dengan demikian, surat kabar lebih diabdikan untuk mencetak uang (making money), meraih tujuan-tujuan pemasaran, dan melayani kebutuhan-kebutuhan pengiklan dibandingkan dengan memainkan peran tradisional mereka sebagai pelayan publik dalam menyediakan informasi bagi warga Negara dan melaksanakan peran pengawasan (watchdog) bagi pemerintah dan pelaku bisnis.
Dalam market-driven journalism, liputan media akan bergeser dari isu-isu sosial politik jangka panjang menjadi berita-berita yang menyentuh kebutuhan personal masyarakat. Seperti dikemukakan McChesney (1998:17-18), liputan yang dahulunya begitu kuat dalam wilayah-wilayah politik, kini, beralih ke liputan-liputan mengenai kejahatan, olahraga, dan kehidupan kaum selebritis. Life style, kesehatan dan hobi juga menjadi isu-isu yang banyak diminati oleh para pembuat berita. Dengan kata lain, segmentasi dan targeting telah mempengaruhi banyak pengelolaan media sehingga sehingga muncullah Koran dan majalah yang sangat tersegmentasi berdasarkan kelompok-kelompok pasar tertentu. Ini semua terjadi karena kuatnya pertimbangan-pertimbangan pasar dalam menentukan bagaimana media dikelola, yang pada akhirnya berujung pada area liputan media dan segmen pasar mana yang harus mereka layani.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas  dapat disimpulkan bahwa tatanan demokrasi telah berimbas pada bagaimana dipandang dan difungsikan dalam masyarakat. Dalam tatanan demokrasi, media seharusnya menjadi fasilitator suara masyarakat ke pemerintah. Yang mana media merupakan pilar keempat setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terlihat dan yang dialami media dewasa ini hanya menjadi alat bagi pemilik modal untuk mengembangkan kekayaan mereka. Dalam situasi seperti ini muncullah fenomena market-driven journalism, dimana produk jurnalistik lebih diorientasikan untuk melayani pasar melalui segmentasi dan targeting, dibanding melayani warga Negara secara keseluruhan.
Pada akhirnya, ini telah membuat media gagal untuk merepresentasikan dirinya sebagai institusi sosial yang seharusnya bertindak sebagai “public servant” dalam menyediakan informasi bagi masyarakat sebagai prasyarat penting berjalannya sistem demokrasi. Krisis demokrasi diakibatkan oleh liberalisasi media yang secara gamblang membuka privat atau rahasia Negara demi kepentingan salah seorang elit pemegang modal semata. Jika ditunjau dari tatanan demokrasi menurut Friedrich von Hayek, membedakan secara tajam liberalism dan demokrasi. Ia menyebut liberalism sebagai sebuah doktrin mengenai bagaimana seharusnya bentuk hukum, dan menyebut demokrasi sebagai sebuah doktrin mengenai cara menentukan bentuk hukum tersebut.[16] Bagi Hayek demokrasi bukan hal terpenting. Tujuan politik yang tertinggi adalah kebebasan (liberty), yang dapat tercapai hanya jika ada batas yang tegas terhadap aktivitas pemerintah. Dalam pandangan ini, demokrasi dilihat sebagai sebuah mekanisme untuk menjaga bahwa mayoritas akan menentukan bagaimana seharusnya bentuk hukum itu.
Kebebasan ini yang diperoleh dari berubahnya sistem yang ada, karena pada hakikatnya jika berkiblat dari pengertian demokrasi menurut Hayek, “yang terpenting bukan demokrasi, tetapi kebebasan.” Fungsi kontrol media dalam menyebarkan produknya di tengah masyarakat tidak terfasilitasi dari pemegang modal semata, akan tetapi menyuarakan hak-hak rakyat yang belum dapat terdengar oleh pemerintah. Dalam hal ini, media justru mendorong kemunduran demokrasi. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, segmentasi dan targeting yang diterapkan dalam market-driven development telah memberikan prioritas kepada kelompok masyarakat tertentu yang potensial secara ekonomi dengan menegasikan kelompok lain dalam masyarakat. Akibatnya muncul ketimpangan dalam hal informasi. Pada satu sisi, terdapat satu kelompok masyarakat yang kelimpahan informasi, tetapi disisi lain terdapat kelompok masyarakat yang kekurangan informasi. Kedua, kuatnya motif mencari keuntungan telah membuat media menggeser orientasi jurnalismenya dengan lebih menekankan pada liputan-liputan yang lebih menyentuh kebutuhan personal dan keinginan masyarakat. Munculnya infotaiment memberikan contoh mengenai hal ini. Liputan-liputan semacam ini telah mendorong terjadinya depolitisasi dalam masyarakat karena terlalu banyaknya mengkonsumsi liputan-liputan seperti infotaiment dibanding dengan liputan politik yang menentukan masa depan mereka sebagai warga Negara. Ketiga, ketergantungan media terhadap dukungan korporasi dalam bentuk iklan dan kepemilikan institusi-institusi media kepada swasta telah membuat media ini tidak lagi kritis terhadap korporasi dan pemiliknya. Akhirnya, media lebih mengabdi kepada kepentingan korporasi dan pemilik modal dibandingkan dengan mengabdikan kepada kepentingan warga Negara. Akhirnya, liberalisasi yang membentuk kecenderungan media gagal merepresentasikan dirinya sebagai “public sphere” dalam masyarakat. Isu atau wacana media lebih mengarah dan didominasi oleh kepentingan-kepentingan elit dan korporasi.
Oleh karena itu, dalam rangka memperjuangkan arah gerak media sebenarnya dalam upaya membangun kembali demokrasi yang krisis di tengah masyarakat karena ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan para elit dan korporasi ada beberapa hal yang mungkin dilakukan. Pertama, membatasi kepemilikan media dalam satu kelompok masyarakat. Dalam beberapa dekade belakangan, konglomerasi media telah menjadi fenomena yang mencengankan. Masa depan demokrasi benar-benar dalam keadaan krisis. Ketika media ini hanya dimiliki oleh beberapa sebagian kecil orang maka keberagaman sebagai salah satu prinsip penting demokrasi akan lenyap, dan jika itu terjadi, tidak hanya terjadi krisis demokrasi akan tetapi kematian demokrasi pun akan teralami. Kedua, orientasi kebebasan pasar dalam market-driven journalism telah membuat warga Negara dilihat seperti cutomer dibandingkan sebagai warga Negara. Oleh karena itu, bagaimana membuat warga Negara menjadi kritis melihat media tidak lagi menjadi hal dapat ditawar. Asumsinya, ketika masyarakat kritis terhadap isi media bahkan menolak suatu tayangan media yang tidak mendidik dan memenuhi hak-hak mereka sebagai warga Negara maka sesuai dengan hokum pasar media juga akan meninggalkan tayangan-tayangan tersebut. Dengan kata lain, yang terpenting adalah mendorong daya kritis masyarakat dalam menyikapi media sehingga merekalah yang mempungaruhi dan menentukan isi media, bukan sebaliknya.


[1] Dikutip dari Satrio Arismunandar dan J. Anto, Kisah Jurnalis antikolonialisme di Sumatera Timur: Dari Soetan Koemala sampai Pada Harahap, makalah tidak di publikasikan, 1996.
[2] F. A. Hayek, The Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.
[3] Robert A. Dahl, A Preface to Economic Democracy (Cambridge: Polity Press, 1985), hal. 60.
[4] Joseph Schumpeter,’ Capitalism, Socialism and Democracy (1942; reprint, London: Allen and Unwin, 1976), hal. 260.
[5] David Held, Model of Democracy (Cambridge: Polity Press, 1987), hal. 271.
[6] Ibid., hal. 285.
[7] McCargo, Duncan, Media and Democratic Transitions in Southeast Asia, makalah untuk diskusi panel tentang ‘Democracy in the Third World: What Should be Done? ECPR Joint Sessions, Mannheim 26-31 March 1999.
[8] Cook, Timothy E., Governing with the News: the News Media as a Political Institution , (Chicago: Chicago University Press, 1998).
[9] Pharr and Ellis S. Krauss (eds.), Media and politics in Japan (Honolulu: University of Hawai Press, 1996).

[10] Ibid.
[11] Koike, Makato, Globalizing Media and Local Society in Indonesia, makalah dalam workshop 13-14 September 2002 (Leiden, Nederland, dalam IIAS News, 2002).
[12] Bresnahan, Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November 2003.
[13] Habermas, Jürgen, The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into aCategory of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence (Cambridge, MA: MIT Press, 1994).

[14] Bresnahan, Rosallind, The Media and the Neoliberal Transition in Chile Democratic Promise Unfulfilled, Latin American Perspective, Issue 133, Vol. 30 No. 6, November 2003.
[15] Zaller,  John,  A Theory of Media Politics: How the Interests of Politicians,Journalists, and Citizens Shape the News, paper, October 24, 1999. Versi buku ada pada Inaugural Miller Converse Lecture, University of Michigan, April 14, 1997.
[16] F. A. Hayek, The Constitution of Liberty (London: Routledge and Kegan Paul, 1960), hal. 103.
Read more ►
 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger