Oleh. Rijal A. Mohammadi
Kemunculan
Gerakan Globalisasi Alternatif
Gerakan anti globalisasi acapkali dikenal dengan berbagai istilah.
Beberapa dipahami sebagai gerakan sosial global (global social movement), yang
lain disebut-sebut sebagai gerakan global untuk keadilan sosial (the global
movement for social justice) atau gerakan keadilan gobal (the
global justice movement). Gerakan-gerakan tersebut juga seringkali
diasosiasikan secara ideologis sebagai gerakan anti kapitalisme ataupun anti neoliberalisme.
Ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan globalisasi alternatif. Dari sekian
banyak istilah diatas, pelabelan yang paling populer adalah gerakan anti
globalisasi. Namun demikian, penulis dalam makalah ini sepakat dengan el Chamsy
el-Ojeili dan Patrick Hayden (2006) yang lebih memilih menyebut gerakan-gerakan
tersebut dengan gerakan globalisasi alternatif dari pada gerakan anti
globalisasi (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Istilah gerakan anti globalisasi
seringkali dianggap sebagai sebuah konsep yang ambigu karena kata “anti”
menyiratkan bahwa gerakan-gerakan tersebut mendekonstruksi dan menentang secara
total substansi dan atribut-atribut yang menyertai proses globalisasi. Namun pada
kenyataannya, hampir setiap gerakan gelombang balik melawan globalisasi
memanfaatkan produk–produk nonidoleologis dari globalisasi seperti internet dan
kecanggihan teknologi transportasi sebagai sarana untuk menyebarkan id -ide
resistensi ke seluruh dunia. Perlawanannya diwujudkan pada resistensi terhadap
bentuk-bentuk globalisasi hegemonik yang dijiwai oleh ide-ide neoliberal
kapitalisme. Gerakan-gerakan ini memperjuangkan reformasi sosial dan politik
untuk mengubah wajah globalisasi dari model top-down globalisasinya
neoliberal ke arah kemungkinan terciptanya globalisasi akar rumput ( grass-roots
globalization) (el-Ojelli dan Hayden 2006, 186). Gerakan-gerakan ini tidak
menentang globalisasi secara umum, namun mempersoalkan bentuk -bentuk
globalisasi yang dianggap tidak adil. Dari sudut pandang tersebut, penulis
lebih condong menggunakan istilah gerakan globalisasi alternatif untuk
merepresentasikan fenomena di atas.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, raison detre dari GGA
adalah respon kritis masyarakat terhadap implementasi globalisasi neoliberal beserta
dampak-dampak negatifnya. Argumen utama kaum neoliberal berakar pada asumsi
dasar teori liberal klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith yang menekankan
pada privatisasi dan perdagangan bebas. Mereka berpendapat pertumbuhan ekonomi
dan kemakmuran global akan dapat terwujud apabila perdagangan international
berjalan menurut logika prinsip-prinsip pasar bebas yang menekankan pada
ketiadaan hambatan perdagangan sehingga faktor-faktor produksi, distribusi, dan
konsumsi dapat bergerak bebas. Pasar bagi mereka, memiliki mekanismenya sendiri
yang bersifat universal dan natural (the invisible hand) yang apabila
dibiarkan bergerak bebas akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
seluruh stake-holders yang terlibat, mengabdi pada optimalisasi
terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan mewujudkan kondisi “full
employment” (Saad-Filho 2005, 41).
Perbedaan mendasaran antara ide liberal klasik dan neo liberal terletak pada
peran negara. Yang pertama menolak keterlibatan negara dan segala unsur di luar
ekonomi dalam proses ekonomi, sementara neoliberal percaya bahwa untuk
mewujudkan idealisme pasar bebas dalam tataran praksis, negara adalah aktor
yang signifikan dalam memfasilitasi dan menerapkan mekanisme pasar bebas secara
luas (Polanyi 2001, 258). Ide neoliberal banyak diterapkan pasca perang dingin
oleh negara-negara maju yang percaya pada deregulasi pasar, institusi-institusi
internasional seperti IMF dan World Bank dengan program structural
adjustment-nya, WTO dengan kebijakan perdagangan bebas, serta aktor-aktor
swasta internasional seperti perusahaan multinasional, bahkan lembaga-lembaga
non pemerintah.
GGA mengklaim bahwa penerapan ide neo liberal tersebut hanya
menguntungkan dan membawa dampak positif bagi sebagian kecil penduduk bumi,
dengan menyisakan kerugian dan dampak negatif lainnya bagi sebagian besar umat
manusia. Kebijakan deregulasi yang diadopsi oleh negara-negara berkembang justru
membuat mereka meninggalkan salah satu fungsi utamanya sebagai penyelenggara
pelayanan publik serta jaring pengaman sosial bagi kaum miskin. Structural
Adjustment Policy (SAP) yang dikeluarkan IMF ternyata tidak mampu
membebaskan negara-negara dunia ketiga dari perangkap hutang luar negeri.
Kebijakan tersebut justru memperparah struktur lingkaran kemiskinan dan dilema
hutang dunia ketiga dengan diterapkannya poin-poin kebijakan SAP yang incompatible
seperti deregulasi perbankan, privatisasi perusahaan milik negara, dan
liberalisasi perdagangan (el-Ojeili dan Hayden 2006, 197). Kesepakatan-kesepakatan
perdagangan bebas WTO juga acapkali dituduh memperparah persoalan tersebut.
Seperti apa yang dikatakan oleh Walden Bello, pemimpin Focus on the Global South,
salah satu GGA terkemuka: “WTO adalah lembaga yang tidak representatif dan
tidak demokratis yang didasarkan pada ideology pasar bebas yang tidak
menciptakan suatu kondisi kecuali kesenjangan sosial ekonomi dan problem
kemiskinan yang semakin besar.” Lebih jauh, ia juga mengklaim bahwa WTO
bukanlah organisasi yang independent, melainkan representasi hegemoni Amerika
dan aktor-aktor swasta (Bello 2004a). Perusahaan multinasional dengan sepak
terjangnya diberbagai pelosok dunia sering kali dipandang sebagai raksasa-raksasa
ekonomi yang mengejar keuntungan semata, mengabaikan tanggung jawab sosial,
mengeksploitasi dan merusak lingkungan hidup, serta mengabaikan hak-hak kaum
pekerja.
Globalisasi neoliberal juga dituduh telah memperburuk
ketidakmerataan distribusi pendapatan dunia. Kesenjangan ekonomi antara
kelompok the have dan the have not semakin lebar dari waktu ke
waktu . Sebagai contoh, pada 1960, rasio kesenjangan antara kaya dan miskin
adalah 30:1, namun 30 tahun kemudian rasionya meningkat tajam menjadi 61:1
(Thomas dalam Baylish dan Smith 1997, 450). Pada 1999 tercatat jumlah total
kekayaan dari 200 orang terkaya di dunia mencapai US$ 1,1 trilyun, sedangkan
jumlah total pendapatan mayoritas kaum miskin di dunia ketiga adalah US$ 146
milyar. Pendapatan tahunan dari 45 persen orang-orang termiskin di dunia setara
dengan pendapatan 358 milyarder (Keane 2003, 90). Banyak orang percaya bahwa
tidak adanya kajian teoritik yang komprehensif tentang mekanisme redistribusi
pendapatan dalam pemikiran neoliberal turut menjadi kontributor utama munculnya
persoalan tersebut. Salah satu mekanisme yang ada, yakni model “trickle
down-effect” dianggap sebagai mekanisme redistribusi pendapatan yang semu
dan banyak mengalami kegagalan dalam realisasinya.
Dalam konteks tersebut, GGA dapat dilihat sebagai antitesis atau
gelombang balik globalisasi yang muncul sebagai reaksi atas relasi eksploitatif
kapitalisme global yang membawa dampak negatif bagi sebagian besar warga dunia
. GGA berupaya untuk melakukan delegitimasi hegemoni neoliberal dengan
menggalang kekuatan-kekuatan sosial global untuk melakukan perlawanan non
kekerasan. Politik resistensi terhadap globalisasi neoliberal semakin lama
semakin terorganisir dan kemunculannya dapat dilacak pada paruh kedua dekade
1990-an. Pada masa itu, terjadi intensifikasi protes dan resistensi sosial dibeberapa
belahan dunia memprotes praktek-praktek neoliberal. Sangatlah penting di sini
untuk melihat meningkatnya resistensi terhadap globalisasi dari perspektif
historis guna memahami kemunculan GGA.
Kemunculan GGA dapat dilacak sejak berkembangnya gerakan Zapatista
di Meksiko. Gerakan ini muncul sebagai reaksi dari penandatanganan The North
American Free Trade Agreement (NAFTA) pada Januari 1994 yang dikhawatirkan akan
mengancam proteksi dan subsidi untuk produksi kopi dan jagung lokal, disamping
kekhawatiran ekonomi domesti Meksiko terhadap ancaman kebijakan-kebijakan
neoliberal secara umum. Gerakan Zapatista dianggap telah berhasil membawa
isu-isu perjuangan lokal pada level global. Kunci utama dari keberhasilan
gerakan Zapatista terletak pada strategi komunikasi politiknya yang secara
cerdas mampu mengoptimalkan penggunaan internet untuk membentuk jaringan global
sebagai media utama untuk mentransmisikan dan mendiseminasi ide perlawanan
lokal dalam arena global. Hingga saat ini, tercatat tak kurang dari 45.000 website
berbasis di 26 negara yang terkait Zapatista dengan memuat pidato-pidato
pemimpin mereka yang tersedia dalam 14 bahasa. Strategi tersebut terbukti
efektif dalam mengangkat isu lokal ke ruang global, membangun jaringan simpati
moral yang berskala massif sehingga mampu menarik perhatian banyak media dan
NGO internasional. Kondisi ini tidak hanya membuat gerakan Zapatista semakin
solid tetapi juga menutup ruang bagi pemerintah Meksiko untuk menekan gerakan
tersebut dengan cara-cara represif (Castell 2000).
Kemenangan gerakan Zapatista pada akhirnya mampu menginspirasi
revitalisasi GGA lainnya dengan muatan isu yang bervariasi, mulai dari HAM,
feminsime, penyelamatan ekologi, hingga gerakan akar rumput lainnya yang
mengidentifikasi dirinya sebagai korban globalisasi neoliberal. Bersatunya
gerakan anti-neoliberal untuk pertama kalinya disimbolkan dalam satu perlawanan
“Battle of Seattle” pada 1999. Momen monumental tersebut berhasil menarik
banyak aktivis yang datang dari berbagai latar belakang; dari mahasiswa hingga
ekolog, dari petani hingga aktivis feminisme, dari serikat buruh hingga aktivis
hak asasi manusia. Mereka memiliki tujuan perlawanan dan resistensi atas efek
buruk globalisasi neoliberal yang beragam satu sama lain , namun mereka
disatukan oleh nilai emansipasi yang sama, yakni protes terhadap keberadaan dan
efek buruk WTO. Banyak pihak percaya bahwa momen tersebut menjadi: “…momen
pembaptisan atas semangat dan konsolidasi skala besar dari berbagai macam gerakan
baru melawan ketidakadilan.” (Ramos, n.d.).
Sejak saat itu, berbagai gerakan yang memprotes globalisasi
neoliberal bermunculan di seantero dunia dalam skala besar. Selama tahun 2000,
tercatat delapan gelombang protes mulai dari Davos (Swiss) ke Nice (Prancis)
(el-Ojelli dan Hayden 2006, 192). Tiga demonstrasi dilakukan pada tahun 2001;
pertama pada bulan April bertempat di Quebec (Kanada) memprotes keberadaan AFTA
(American Free Trade Agreement), yang kedua demonstrasi memprotes EU (European
Union) Summit di Gotenberg (Swedia), dan yang terakhir gerakan memprotes
pertemuan G-8 di Genoa (Italia) pada bulan Juli di tahun yang sama (el-Ojelli
dan Hayden 2006, 192). Tahun selanjutnya, terdapat protes terhadap pertemuan puncak
Uni Eropa di Barcelona (Spanyol) pada Maret 2002 serta protes terhadap IMF/WTO
di Washington DC pada September 2002. Pada September 2003, sebuah demonstrasi
terjadi di Cancun (Meksiko) saat sidang WTO dan pada Juli 2005 di Edinburg
(Skotlandia) saat sidang G-8 (el-Ojelli dan Hayden 2006 , 192).
GGA menjadi simbol perlawanan yang semakin mengkristal
di saat berbagai gerakan yang berbeda tersebut melakukan konsolidasi dan
koordinasi dengan diselenggarakannya Forum Sosial Dunia (World Social Forum /
WSF) yang pertama di Porto Alegre (Brasil) pada tahun 2001. Forum tersebut menghasilkan
‘Charter of Principle’ yang menjadi landasan dasar gerakan di mana “WSF
mentasbihkan dirinya sebagai arena untuk bertemu dan bertukar pengalaman, untuk
mendialektikakan ide secara terbuka dan mengartikulasikan proposal aksi bagi berbagai
level civil society guna melawan globalisasi neoliberal.”
(http://www.worldsocialforum.org , n.d.). WSF bukan hanya media pertemuan
tahunan GGA, namun juga sebuah proses yang permanen dan global yang berusaha
menemukan suatu bentuk alternatif dengan tujuan utama mengonstruksi model
“globalisasi baru” yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia,
keadilan sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan toleransi atas perbedaan
(Santos 2003). Seperti Forum Ekonomi Dunia, WSF menghasilkan sedikit ide
praktikal. WSF lebih berkonsentrasi pada kritik yang bertentangan dengan arti
yang umum dan samar tentang neoliberalisme danimperialisme,
dan memperbaiki ide komunis lama. WSF juga menyatakan tidak setuju dengan
isu globalisasi,
namun karena globalisasi sudah menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan,
hampir tidak ada yang membicarakan tentang bagaimana mengatasinya. WSF juga
mengangkat kritik yang sama seperti gerakan anti/alternatif globalisasi, bahwa
globalisasi dan kapitalisme yang mereka tentang tidak bisa diacuhkan, atau
kapitalisme dan globalisasi itu adalah alat yang paling efektif menujukan
pemiskinan global. Peserta WSF sudah menanggapi gagasan yang 'penting untuk
diperhatikan' dari globalisasi hanyalah suatu dongeng ideologis, sehingga
mereka memakai semboyan, "Another World is Possible".
”Another world is possible”.
Slogan ini bagi sebagian orang bisa menjadi sebuah harapan atau bahkan hanya
ide utopis dalam melihat perkembangan hubungan internasional dewasa ini. Tak
dapat dipungkiri bahwa ide neoliberal telah mengakar dalam kehidupan
sehari-hari baik disadari atau tidak. Flacks menyatakan bahwa model market driven menyebabkan manusia terikat pada
proses produksi hingga kehilangan waktu tidur. Tatanan produksi global ini didukung
keberadaan perusahaan multinasional dan lembaga internasional seperti WTO, Bank
Dunia dan IMF yang menyebabkan manusia tidak bisa terlepas dari jerat
kapitalisme. Beberapa pertemuan tingkat dunia juga sering diadakan sebagai
upaya melanggengkan jerat neoliberal seperti World
Economic Forum, pertemuan tahunan WTO dll. Kenyataan bahwa liberalisme
telah mengakar dalam kehidupan masyarakat banyak memberikan implikasi baik
positif maupun negatif. Dalam pandangan kaum liberal, proses liberalisasi
ditujukan untuk memberikan kemakmuran. Namun, pembangunan di negara ketiga
dengan segala dimensinya telah menyebabkan kesenjangan dan keterbelakangan.
Kritik dan resistensi baik yang terjadi dalam lingkup lokal dan internasional
terhadap tatanan dunia yang dimonopoli oleh ide liberal mendorong
munculnya gerakan sosial global, sebut saja World
Social Forum (WSF). WSF
dianggap sebagai sebuah gerakan sosial mengacu pada pendapat Buechler, gerakan
sosial diartikan,” intentional,
collective effort to transform sosial order. WSF dibentuk di Porto Alegre, Brazil
pada tahun 2001 sebagai respon atas tumbuh kembangnya gerakan sosial
internasional dalam menentang globalisasi dan dampak pembangunan ekonomi
neoliberal diberbagai negara. Ide
pembentukan WSF berawal dari tim aktivis dari Brazil dan Prancis yang memiliki
jaringan dengan aktivis nasional yang ada di Prancis dan Brazil, sepertihalnya
kelompok internasional ATTAC ( The
Assosiation pour la Taxe Tobin pour l’Aide aux citoyen ). Inisiatif ini mendapatkan dukungan
dari partai buruh yang ada di Brazil.
Munculnya WSF sebagai gerakan sosial global dianggap sebagai ‘perjuangan
demokratik baru’ yaitu keseluruhan bentuk-bentuk perlawanan terhadap
bentuk-bentuk penindasan baru yang muncul dalam masyarakat kapitalisme. Gerakan
sosial sebagai bentuk perjuangan menentang globalisasi atau biasa disebut
gerakan “anti globalisasi” yang selanjutnya disebut deglobalisasi. Penggunaan
istilah ”deglobalisasi” merujuk pada istilah yang digunakan oleh Walden Bello.
Walden Bello mengembangkan konsep deglobalisasi sebagai strategi alternatif
menentang globalisasi yang ditawarkan oleh neoliberal. Deglobalisasi bukanlah
anti-globalisasi dan visinya dalam tatanan dunia baru lebih identik dengan
globalisasi demokratis. Menurut Bello, “deglobalisation celebrate global
ties while seeking to expand the freedom and choice local communities have
about they will live”. Lebih lanjut, Bello menjelaskan bahwa deglobalisasi
terdiri dari usaha berkelanjutan untuk mengkonstruksi kembali institusi yang
telah ada yang mendukung neoliberal dalam rangka menciptakan ruang membangun
tatanan baru untuk mengorganisir kehidupan ekonomi dalam prinsip menghargai
keanekaragaman. Selama ini tradisi neoliberal memaksakan homogenitas dan
terpusat. Upaya membangun tatanan baru dalam menentang neoliberal dimungkinkan
melalui koordinasi global dengan jaringan globalisasi demokratis. Elemen kunci
dalam deglobalisasi adalah pemberdayaan kapasitas local, kemandirian dan
partisipasi.
Dalam pertemuan berikutnya, WSF juga berhasil menarik keikutsertaan
masyarakat yang heterogen. Pertemuan WSF yang kedua diadakan pada Januari
hingga Februari, berhasil mengumpulkan 5
.000 delegasi resmi dan peserta dari 131 negara dengan jumlah berkisar antara
50 .000 hingga 80.000 orang. Pertemuan WSF ketiga tahun 2004 diselenggarakan di
Mumbai (India) dengan melibatkan tak kurang dari 100,000 delegasi. Pertemuan
WSF yang terakhir diadakan pada 2005 di Porto Alegre melibatkan hampir 150 .000
delegasi dan berhasil mendeklarasikan “Porto Al egre Manifesto” (el-Ojelli dan
Hayden 2006, 194).
Paparan di atas menjelaskan kemunculan gerakan sosial baru yang
ingin mengubah tata dunia saat ini. Praktis diperlukan sebuah kerangka teoritis
untuk memahami fenomena-fenomena tersebut.
Teori
Civil Society dan Counter -Hegemony
Pada bagian ini, penulis mengulas kembali salah satu varian teori
neomarxis, yakni pendekatan Gramscian sebagai dasar teoritis untuk menjelaskan
definisi dan strategi dari GGA. Keunggulan konsepsi Gramscian terletak pada
aplikasi praktisnya serta kemampuannya untuk menjelaskan proses transformasi
politik. Beberapa konsepsi penting Gramsci seperti konsep civil society dan
teori hegemoni adalah proposisi utama yang dapat menjelaskan fenomena GGA.
Civil
Society dan Hegemoni
Antonio Gramsci adalah seorang pemikir serta pendiri Partai
Komunis Italia. Ia telah berhasil membangun sebuah teori praktis untuk memahami
formasi tertib dunia (word order) maupun transformasi historis atas
perubahan tertib dunia. Teorinya muncul dari pengalaman pribadinya melihat
kegagalan partai komunis yang dipimpinnya dalam proses transformasi politik di
Italia. Gramsci berusaha memahami
mengapa fasisme dapat meraih kemenangan dan memantapkan status-quo politiknya.
Pemahaman tersebut dijadikan sebagai pijakan awal untuk menemukan strategi yang
tepat dalam upayanya meruntuhkan hegemoni fasisme (el-Ojelli dan Hayden 2006,
214). Civil society adalah sebuah wilayah yang berbeda dari negara dan
pasar. Konsep civil society dalam pemikiran Gramsci memiliki dua peran
yang berbeda, bahkan berbenturan satu sama lain.
Civil society adalah agen yang pada saat bersamaan mampu melindungi dan
mempertahankan order (pemerintah yang berkuasa) sekaligus juga dapat
bertindak sebagai agen yang mengikis status quo dan menciptakan orde
sosial yang baru. Di satu sisi, civil society berkolaborasi dengan negara
untuk menghegemoni rakyat dan mengontrol perjuangan kelas, namun di sisi lain civil
society dengan posisinya yang independen dari negara juga mampu menciptakan
perjuangan kelas itu sendiri dengan melakukan gerakan counter-hegemony.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Gramsci membuat formula formasi negara
yakni “state = political society + civil society, dengan kata lain, negara
adalah entitas hegemonik yang berbaju zirah” (Gramsci 1971, 263). Artinya, negara
dalam konsepsi Gramsci dapat eksis karena mempertahankan dua hal, yakni koersi
yang diwakili oleh masyarakat politik ( political society) dan hegemoni
konsensual yang dijalankan oleh masyarakat sipil ( civil society). Hegemoni,
dalam definisi Gramsci, adalah serangkaian dominasi atas sebagian besar aspek
kehidupan manusia, dari ekonomi, sosial, politik, hingga moral dan intelektual,
dengan mengedepankan aspek-aspek konsensual nonkoersif (Simon 1982, 21). Dalam
kaitannya dengan masyarakat politik dan masyarakat sipil yang melindungi
kekuatan status quo negara dalam jangka waktu yang lama, Gramsci cenderung
menekankan pentingnya hegemoni yang mengedepankan faktor–faktor nonkekerasan
dimana peran masyarakat sipil adalah faktor determinan. Sebagaimana dikatakannya:
“Sangat mungkin untuk membayangkan elemen memaksa dari negara menjadi layu
sedikit demi sedikit, sejalan dengan munculnya elemen yang menonjol dari
masyarakat sipil.” (Gramsci 1971, 263).
Saat kekuatan hegemoni mampu diraih, hubungan antara pemerintah
dan yang diperintah berjalan dalam wilayah hubungan yang kompromistis dan
konsensual. Dengan kata lain, kelompok subordinat menerima dengan dengan sadar
dominasi para hegemon. Mereka yang diperintah telah menerima ide dan nilai
utama dari mereka yang memerintah (para hegemon) sebagai nilai dan ide mereka
sendiri (Cox 1993, 61). Memahami orde sosial yang ada dalam relasi hegemonik
yang nyata di mana peran civil society menonjol, pada akhirnya mampu
membuat Gramsci memahami dua hal penting, yakni kegagalan revolusi komunis
Italia dan strategi yang tepat untuk melakukan “serangan balik” dan menciptakan
orde sosial yang baru.
Dari War
of Movement menuju War of Position
Di Rusia sepanjang tahun 1917, ketika kondisi masyarakat sipil
lemah (ditandai dengan bentuk masyarakatnya yang masih tradisional dan
primordial ), sebuah revolusi komunis dengan serangan yang frontal, yang
disebut Gramsci sebagai war of movement dapat meraih kemenangan. Di
Italia, sama seperti di negara industry maju Barat yang lain di mana masyarakat
sipil memiliki posisi yang mapan, fenomena seperti yang terjadi di Rusia tidak
akan pernah terjadi. Sebagaimana dijelaskan oleh Gramsci (1971, 238):
“In Russia the State was everything, civil society was
primordial and gelatinuous; in the West, there was a proper relation between
State and civil society, and when the State trembled a sturdy structure of
civil society was at once revealed. The State was only an outer ditch, behind
which there stood a powerful system of f ortresses and earthworks; more or less
numerous from one State to the next, it goes without saying -but this precisely
necessitated an accurate reconnaissance of each individual country”. (Gramsci
1971, 238)
Strategi politik war of movement yang lebih dikenal sebagai
revolusi fisik dengan mengimplementasikan penaklukan yang cepat dan akurat atas
negara jelas tidak berhasil diterapkan di negara-negara kapitalis maju. Sebuah
strategi baru perlu untuk diterapkan. Gramsci mencetuskan war of position yang
menekankan gerakan counter-hegemonic untuk memenangkan pertarungan pada
wilayah masyarakat sipil terlebih dahulu sebelum melancarkan serangan frontal
kepada negara. Melakukan war of movement sebelum memenangkan dominasi war
of position akan berujung pada kegagalan. Memenangkan war of position memerlukan
penaklukan atas masyarakat sipil ( civil society) dan memenangkan dominasi
atas civil society membutuhkan gerakan untuk mengubah common sense masyarakat
dari melindungi hegemoni menjadi mendukung gerakan counter-hegemony (Cox
1993, 53). Dalam hal ini, Robert Cox memberikan komentar bahwa strategi
tersebut adalah strategi revolusioner yang sulit dan membutuhkan waktu yang
sangat panjang (Cox 1999, 5). Strategi yang mengharuskan kelas pekerja tidak
hanya mengonsolidasikan kekuatan didalam kelompoknya, namun juga harus
mengambil peran dalam sistem “fortress and earthworks” mendukung gerakan
counter-hegemony yang ada dengan membangun aliansi dengan semua gerakan
sosial sehingga menumbuhkan motivasi untuk mengubah relasi antar masyarakat
sipil. Upaya-upaya tersebut dapat diraih dengan berbagai syarat yang disebut
Gramsci sebagai “ organic crisis”. Ia menjelaskan kondisi di mana krisis
dan pembangunan dapat muncul:
If the ruling class has lost its consensus, i.e. is no long er
“leading” but only “dominant,” exercising coercive force alone, this means
precisely that the great masses have become detached from their traditional
ideologies, and no longer believe what they used to believe previously, etc.
The crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new
cannot be born. (Gramsci 1971, 275-276)
“Organic-crisis” oleh Gramsci digambarkan sebagai kondisi dimana kelas yang
berkuasa telah kehilangan kepercayaan dari kelas yang dikuasainya. Posisinya
bukan lagi sebagai “leader”, tetapi hanya sebagai “kelas dominan” dimana
instrumen kekuasaan atas kelas yang dikuasai hanya menyisakan mekanisme koersif
saja. Rakyat tunduk karena kekuatan militer negara, sementara mereka telah
terlepas dari ikatan-ikatan ideologis dan emosional yang sebelumnya mengikat
hubungan hierarki antara mereka dengan negara. Sekalipun demikian, kekuatan
koersif negara dengan sistematis mencegah munculnya perlawanan. Frase terakhir
“the old is dying and the new cannot be
born” dengan tepat menggambarkan krisis tersebut.
Ia lebih jauh menjelaskan tentang kondisi yang memungkinkan
terjadinya krisis
And the content is the crisis of the ruling class's hegemony,
which occurs either because the ruling class has failed in some major political
undertaking for which it has requested, or forcibly extracted, the consent of the
broad masses (war, for example), or because huge masses (especially of peasants
and petit-bourgeois intellectuals) have passed suddenly from a state of
political passivity to a certain activity, and put forward demands which taken
together, albeit not organically formulated, add up to a revolution. A “crisis
of authority” is spoken of: this is precisely the crisis of hegemony, or
general crisis of the State. (Gramsci 1971, 349)
Krisis tersebut dapat secara otomatis menciptakan lingkungan yang
kondusif dimana war of position dapat diraih dan dipertahankan dan pada
akhirya mampu menciptakan sebuah gerakan yang spesifik, bersatu dan solid untuk
melawan hegemoni status quo. Gramsci menyebutnya sebagai blok historis counter-hegemony
(Gramsci 1971, 275-276), sebuah struktur ideologis solid yang dengan
terbuka melawan blok historis hegemonik.
Pendekatan
Gramscian atas Gerakan Globalisasi Alternatif
Menggunakan kerangka berpikir Gramsci, penulis menjelaskan
fenomena gerakan globalisasi alternatif dalam hal ontologi dan strategi gerakan
yang digunakannya.
Kaitannya dengan ontologi gerakan, Gramsci mendefinisikan gerakan
globalisasi alternatif sebagai bagian dari masyarakat sipil di luar negara dan
pasar di mana fungsi utamanya adalah mentransformasikan tata dunia yang ada
saat ini menjadi tata dunia alternatif baru. Cox mendefinisikannya menjadi
sebuah “proses dari masyarakat sipil yang bottom-up yang dipimpin oleh
suatu strata dalam masyarakat yang dirugikan dan terabaikan oleh tatanan
kapitalis dengan membangun gerakan counter-hegemony, yang memiliki
aspirasi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat dan untuk mengganti tatanan
hegemonik” (Cox 1993).
Raison deter-nya bukan hanya merupakan perlawanan langsung terhadap globalisasi
neoliberal dengan menolak proposisi dan prakteknya, namun juga memenangkan war
of position melawan hegemoni atas masyarakat sipil yang disebut Cox sebagai
proses masyarakat sipil yang top-down dimana globalisasi neoliberal
telah dirancang secara cermat untuk menguntungkan tatanan hegemonik. Dilihat
dari sejarahnya, kemunculan masyarakat sipil yang top-down, yang
diperlihatkan oleh perkembangan yang cepat atas NGOs, dimulai pada awal pasca
perang dingin di bawah bendera “Agenda Kebijakan Baru (New Policy Agenda).”
Agenda tersebut terdiri atas dua kebijakan utama, yakni implementasi ekonomi
neoliberal seperti privatisasi, pasar bebas, dan deregulasi ekonomi serta penyebarluasan
demokrasi (Edward dan Hume 1996, 961).
Di sisi strategi, GGA cenderung menggunakan strategi nirkekerasan
dan diseminasi ide, dan bukan strategi koersif dengan membangun basis kekuatan material.
Strategi-strategi tersebut sejalan dengan pemikiran Gramsci, yakni war of
position. GGA menghindari strategi war of movement dengan konfrontasi
fisik secara langsung melawan hegemoni neoliberal. Cara tersebut pernah dipakai
sekali dalam battle of Seatle dan hanya berujung pada kegagalan (Ayres
205, 22). Dengan meminjam bahasa Karl Marx, strateginya yang digunakan adalah
menggulingkan neoliberal di level supra struktur (ide dan substansi utamanya)
dengan membentuk dan mempromosikan ide alternatif dan bukan pada level struktur
(basis materialnya) dengan melakukan revolusi fisik. Dengan kata lain, untuk meruntuhkan
hegemoni neoliberal, faktor utama dan pertama yang didekonstruksi adalah
kesadaran ide ( consciousness) dan ‘common sense’-nya neoliberal
yang salah satunya mengatakan bahwa pasar bebas bermuara pada harmony of
interest; aliran modal, produksi, dan distribusi yang bebas hambatan dalam
perdagangan dunia pada akhirnya akan meningkatkan kemakmuran global yang menguntungkan
semuanya. Kesadaran ide bahwa agenda neoliberal membawa manfaat bagi dunia
harus di-counter dengan memperlihatkan motif dan dampak negatif yang
diproduksi oleh kapitalisme global. Perdebatan mengenai dampak negatif dari
globalisasi neoliberal dan kebutuhan untuk menemukan alternative yang lebih
baik harus secara intensif diwacanakan dan disebarluaskan.
Satu contoh yang telah disebutkan di bagian pertama adalah kemenangan
gerakan Zapatista yang menggunakan internet dan media global lainnya untuk menyebarkan
dan mengkampanyekan dampak negatif NAFTA ke seluruh penjuru dunia. Contoh lain
adalah perdebatan yang semakin intensif mengenai MAI yang melibatkan banyak
aktivis diberbagai penjuru dunia. Sebagaimana pernyataan Michael Corbin, salah
seorang aktivis GGA: “Alasan mengapa oposisi terhadap MAI dapat berhasil adalah
bahwa perjanjian tersebut muncul sebagai sebuah perjanjian yang terburu-buru,
ceroboh dan mengancam sebagian besar individu dan kelompok yang beragam”
(Kobrin 1998, 106-107). Sehingga, kunci sukses utama GGA yang menentang NAFTA
dan MAI serta dampak buruk lain dari proyek globalisasi neoliberal adalah
kemampuannya mengonstruksi dan membangun citra perjuangan dalam bahasa common
sense yang populer, dimana individu dan masyarakat awam dapat memahaminya
dengan mudah (Ayres 2005, 9-10). Fenomena tersebut dapat dianggap sebagai
kemenangan pertama war of position yang secara moral mampu memicu
gerakan sosial yang lain untuk memenangkan war of position. Sejak saat
itu, berbagai jenis war of position yang dilakukan oleh GGA mulai banyak
bermunculan yang secara massif dan terang-terangan melawan hegemoni neoliberal.
Proliferasi berbagai war of position ini juga dipicu oleh apa yang
disebut Gramsci sebagai krisis organik (organic crisis). Para hegemon
masih memegang kekuasaan dalam arti material, namun kekuatan dalam bentuk soft
power dan legitimasinya telah terkikis secara signifikan. Berkaitan dengan persoalan
ini, Thomas J. Butko memberikan komentar: “dalam konteks kapitalisme liberal,
massa masih dapat percaya pada justifikasi teoritis dan etis yang lebih besar
mengenai kebebasan sistemik, individualitas, rasionalitas, namun tidak sepakat
atau tidak lagi percaya dengan mereka yang mengklaim dirinya sebagai pemilik
‘kebenaran’ (sebagai contoh adalah blok neoliberal yang ada saat ini)” (Butko
2006, 87). Dalam prakteknya, krisis tersebut lebih condong dihasilkan oleh kesenjangan
atas kekayaan yang dijanjikan oleh neoliberal dengan keadaan bertolak belakang
yang makin hari makin meningkat yang merupakan dampak dari neoliberal itu
sendiri. Sebagai contoh adalah meningkatnya kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin (sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama), degradasi
lingkungan, kegagalan program pengentasan kemiskinan, dan bentuk-bentuk lain
dari alienasi dan dehumanisasi manusia.
Krisis, sebagaimana gerakan Zapatista yang berfungsi sebagai counter-hegemony
war of position melawan tatanan hegemonik telah memicu tumbuhnya gelombang war
of position yang terjadi di berbagai penjuru dunia dari Davos hingga Genoa.
Saat war of position bermunculan dan terkristalisasi, ia
mengonstruksi bentuk final resistensi yang disebut dengan blok counter-hegemony.
Berbagai GGA telah berkolaborasi dan berkoordinasi satu sama lain untuk
mempersatukan dan memperkuat gerakan mereka menuju tercapainya transformasi
tertib dunia. Transformasi yang mereka idealkan ini hanya dapat dicapai dengan mempersatukan
gerakan dan membentuk apa yang disebut Gramsci sebagai collective man:
“An historical act can only be performed by “collective man” and this
presupposes the attainment of a “cultural-socio unity” through which a multiplicity
of dispersed wills, with het eregenous aims, are welded together with a single
aim, on the basis an equal and common conception of the world.” (Gramsci 1971,
349)
Dalam konteks GGA, perkembangan WSF pada 2001 sebagai pertemuan
tahunan seluruh gerakan resistensi neoliberal dapat dianggap sebagai konstruksi
atas blok counter-hegemony yang tidak hanya melawan pembentukan neoliberal
WEF, namun juga sebagai sebuah tindakan perlawanan nyata terhadap proyek–proyek
neoliberal yang lain. Meskipun peserta WSF datang dari berbagai macam latar belakang
dengan tujuan yang berbeda-beda, namun secara umum mereka memiliki consciousness
dan common sense emansipatif sama yang disebut Gramsci sebagai “a
cultural-socio unity” atau sebuah kesatuan yang melintas batas sosial
budaya untuk mewujudkan mimpi “another world is possible” sebagai tujuan
ideal bersama. WSF sebagai “ collective man” mempersatukan gerakan resistensi
untuk berkolaborasi
dan berjuang guna membentuk dunia alternative yang lebih baik.
Kesimpulan
Globalisasi
adalah fenomena yang membawa banyak perubahan dalam pola interaksi antarmanusia.
Dalam posisi demikian, globalisasi menciptakan paradoks dalam dirinya sendiri;
sebagian adalah “organ” yang diuntungkan oleh proses globalisasi ekonomi,
sementara sebagian yang lain adalah kelompok mayoritas yang cenderung dirugikan
oleh gerusan cepat aktor-aktor globalisasi. Salah satu dari kelompok yang
terakhir adalah Gerakan Globalisasi Alternatif, sebuah entitas korban
globalisasi ekonomi yang cenderung mengambil jalan tengah dengan membentuk
tertib dunia alternatif yang lebih bermartabat dan humanis. GGA adalah gerakan
perlawanan unik yang tidak sepenuhnya menentang globalisasi, dimana kesuksesan
gerakan ini di dalam menentang globalisasi ekonomi ditentukan oleh efektivitas
penggunaan internet –salah satu produk globalisasi– untuk menggugah konsen
penduduk dunia akan arti pentingnya perubahan. GGA merupakan agen perubahan
penting yang mulai menguat di akhir 1990-an hingga awal 2000-an ini perlu
dipahami dari perspektif teoritis. Salah satunya adalah dengan menggunakan
konsepsi Gramsci tentang hegemoni dan civil society yang tidak hanya
mampu menjelaskan ontologi gerakan dan strategi GGA secara mendetail, tetapi
juga struktur dominasi yang terjadi dalam arena globalisasi.
Melihat
struktur dominasi yang ada, pendekatan Gramscian membacanya sebagai struktur
dunia yang hegemonik, dimana dominasi neoliberal kapitalisme atas dunia dan
aktor-aktor yang disubordinasi olehnya berjalan dalam logika teori hegemoni
Gramsci. Struktur dominasi neoliberal tidak banyak disandarkan pada kekuatan
koersi, tetapi lebih pada keberhasilannya menguasai common sense dan konsen
masyarakat dunia melalui penciptaan top-down civil society. Banyaknya dampak
negatif neoliberal globalisasi telah menciptakan kondisi apa yang diistilahkan
Gramsci sebagai “ organic crisis”, sebuah situasi yang memberi peluang
bagi bottom-up civil society untuk mengusung perubahan dalam wadah GGA.
Dalam
konteks tersebut, secara ontologis, GGA dipahami sebagai bottom-up civil society
yang bertujuan melakukan counter-hegemony melawan hegemoni neoliberal.
Kesuksesan dominasi neoliberal melalui cara-cara hegemonik, membuat GGA belajar
bahwa kesuksesan gerakan ditentukan oleh kemenangan war of position dimana
strategi yang digunakan tidak dengan cara frontal revolusi fisik, melainkan
penguasaan conciousness dan common sense warga dunia untuk mendukung
ide-ide perubahan melawan hegemoni neoliberal.
Daftar
Pustaka
Buku
·
Cox,
Robert W., 1993. Gramsci, Hegemony, and Intern ational Relations: an Essay in
Method. dalam Stephen Gill ed . Gramsci Historical Materialism and International
Relations. Cambridge: Cambridge University Press.
·
Castell,
Manuel, 2000. The Information A ge :Economy, Society, and Culture –The Power
of Identity. Oxford: Blackwell.
·
El-Ojeili,
Chamsy dan Patrick Hayden, 2006. Critical Theory of Globalization , New
York: Palgrave MacMillan.
·
Filho,
Alfredo Saad ed., 2005. Neoliberalism, a Critical Reader . London: Pluto
Press.
·
Fisher,
W. F. dan T. Ponniah, 2003. Another World is Pos sible: Popular Alternatives
to Globalization at the World Social Forum . London: Zed Books.
·
Gramsci,
Antonio, 1971. Selections from the Prison Notebooks . dalam Q. Hoare and
G. Nowell-Smith eds. New York: International Publishers.
·
Keane,
John, 2003. Global Civil Society? . Cambridge: Cambridge University
Press.
·
Podobnik,
Bruce dan Thomas Reifer eds. n.d. Transforming Globalization: Challenges and
Opportunities in the Post 9/11 Era . Leiden and Boston: Bri ll Academic
Publishers.
·
Polanyi,
K., 2001. The Great Transformation: The Po litical and Economic Origin of
Our Times. Boston: Beacon Press.
·
Simon,
Roger, 1982. Gramsci’s Political Thought , London: Lawrance and Wishart.
·
Thomas,
Caroline, 1997. Poverty, Development, and Hunger. dalam John Baylish dan Steve
Smith eds. The Globalization of World Politics . New York: Oxford University
Press.
·
Richard Flaks
dalam Jackie Smith, Social
Movements for Global Democarcy, Baltimore, The Johns Hopkins University
Press, 2008.
·
Buechler, 2000
dalam Chamsy el. Ojeili & Patrick Hayden , Critical Theories of Globalization,
Basing Stoke, Palgrave, Mac Millan
·
Penjelasan
mengenai kegagalan negara dalam kapitalisme global dapat dilihat lebih
lengkap dalam Noreena Heertz, Global
Kapitalism and The death of Democracy : The Silent Take Over, New York,
Harper Business, 2003. dan Budi Winarno, Globalisasi
dan Krisis Demokrasi., Yogyakarta, Media Presindo, 2007.
·
Flaks dalam
Jackie Smith, Social
Movements for Global Democarcy, Baltimore : The Johns Hopkins University
Press, 2008.
Artikel dalam Jurnal
·
Butko,
Thomas J., 2006. Gramsci and the “anti-globalization” Movement: Think Before
You Act. Social and Democracy, 20 (2).
·
------------------,
1999. Civil Society at the Turn of the Millenium: Prospects for a n Alternative
World Order . Review of International Studies , 25 (7).
·
Edward,
Michael dan David Hume, 1996. Too Close for Comford, The Impact of Official Aid
on Nongovermental Organizations . World Development, 24.
·
Kobrin,
Stephen J., 1998. The MAI and the Clash of Globalizations. Foreign Policy.
·
Ramos,
Leonardo Cesar Souza. Civil Society in an Age of Globalization: a Neo-Gramscian
Perspectives. Journal of Civil Society , 2 (2), hlm. 157.
Artikel Online
·
Santos,
Boaventura de Souza , 2003. The World Social Forum: Toward a Counter Hegemony
Globalization [online]. dalam http://www.ces.fe.uc.pt/bss/documentos/wsf.pdf.
[diakses 20 November 2012].
·
http://www.worldsocialforum.org
[diakses 20 November 2012].
·
Slogan World
Social Forum. Dalam http://www.wsfindia.org/ [diakses 24 November 2012]
·