Oleh. Rijal A. Mohammadi
Hari
ini mulai terdengar kembali isak tangis mereka. Kenapa semua ini bisa terjadi?
Apa semua ini hanya takdir? Atau mungkin pola pikir manusia yang keras akan
mempertahankan semuanya? Indonesia yang banyak dikatakan Negara mayoritas
penduduknya beragama Islam, hanya bisa bertekut lutut sembari menahan dagu
dengan tangannya ketika melihat tragedi ini. Apa yang kemudian dapat kita
salahkan atau kita koreksi dengan semua ini. Bukankah keberadaan Israel di
tanah yang mereka janjikan itu hanya angan-angan saja. Menilik film yang di
produseri oleh Ridley Scott berjudul Kingdom
of Heaven, memang dalam film ini tidak di singgung keberadaan agama Yahudi
yang menempati tanah pelestina yang di sebut tanah yang di janjikan. Ketidak
adanya Yahudi dalam film tersebut merupakan sebuah konspirasi yang tidak kita
sadari. Perseteruan dalam peperangan antara Islam yang di pimpin oleh Salahudin
Al Ayubi dan Kristen yang di pimpin oleh Baron Ibelin, sangat mencengankan.
Siapa pemilik asli tanah yang di janjikan itu? Islamkah? Yahudikah? Atau bahkan
Kristen?
Sebuah artikel berjudul “Who Owns the Land?” yang muncul di
terbitan Sword of the Lord bertanggal
30 Agustus 2002 dan juga di beberapa terbitan internasional lainnya menyuguhkan
pernyataan menarik: “… the Jewish National Fund mulai mengumpulkan uang untuk
membeli tanah di Palestina demi kepentingan penempatan bangsa Yahudi, besar
pembelian tanah tersebut adalah 92% dari wilayah Israel sebagaimana kita lihat
sekarang ini.” Angka 92% sendiri sungguh
berbeda dari angka-angka persentase tanah terbeli yang diakui secara umum dan
terdokumentasikan yang menyatakan bahwa pada saat pendirian negara Israel pada
tahun 1948, Yahudi hanya membeli sekitar 6% hingga 7% luas wilayah dari negara
Israel sekarang (pada masa sebelum Batas Wilayah 1967). Jack Bernstein di dalam
“The Life of an American Jew in
Racist-Marxist Israel” mengatakan bahwa “hingga 1920, bangsa Yahudi hanya
memiliki 2% dari wilayah Palestina. Kemudian pada tahun 1948 saat bangsa Yahudi
mendirikan negara Israel, mereka mencaplok wilayah Palestina dalam rangka
memperluas wilayah yang dimilikinya, dan itupun secara persentase masih di
bawah angka 6% dari total wilayah yang dimiliki bangsa Palestina.” Booklet berjudul
“Origin of the Palestine-Israel Conflict”
yang diterbitkan oleh Jews for Justice in
the Middle East menyatakan bahwa “di tahun 1948, saat Israel berdiri
sebagai sebuah negara, hanya memiliki tanah sah sebesar 6% lebih sedikit dari
seluruh wilayah Palestina.” Robin Miller di dalam “The Expulsion of the Palestinians 1947-1948” mengatakan bahwa
“sebelum 1948, bangsa Yahudi hanya memiliki 1,5 juta dari total 26 juta dunam tanah di Palestina … setelah kegiatan
pencaplokan tanah dari bangsa Palestina, Israel memiliki wilayah 20 juta dunam, suatu angka
yang luar biasa, dari 6% menjadi 77% dari total wilayah awal. Bangsa Yahudi
benar-benar berhasil mengambil alih sebuah negara dari bangsa lain”. Nampaknya
banyak umat Kristiani yang didoktrin untuk mendukung klaim bangsa Yahudi atas
tanah bangsa Palestina, berdasarkan argumen bahwa 92% tanah Israel adalah hasil
pembelian dari bangsa Palestina. Angka 92% sebagaimana dikoarkan lewat tulisan
“Who Owns the Land?” adalah jauh
berbeda dibanding dengan angka yang dikeluarkan oleh The Jewish National Fund
yaitu hanya sebesar 7.33% tanah dibeli dari bangsa Palestina pada saat
pendirian negara Israel di tahun 1948. Beberapa orang mungkin akan berkata
bahwa tidaklah menjadi persoalan berapa persen sebenarnya tanah bangsa
Palestina yang dibeli oleh bangsa Yahudi pada saat pendirian negara Israel,
sebab Tuhan sudah memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi sehingga
menjadi hak bangsa Yahudi-lah untuk merampas dari tangan bangsa Arab
[Palestina] bahkan tanpa harus membelinya. Akan tetapi, tidak ada dasar di dalam skriptur akan argumen
ini. Ibrahim dan Daud [p.b.u.t.], meskipun mereka Yahudi, membayar dengan harga
yang adil atas tanah yang mereka beli dari Ephron the Hittite (Ktb. Kejadian
23:16) dan dari Ornan the Jebusite (2 Samuel 24:21-24, 1 Tawarikh 21:22-25).
Kita, kalian, mereka dan dia yang
mengaku diri kalian muslim yang beragamakan Islam hanya terdiam ketika
pembantaian menimpa saudara-saudara kalian sesama muslim. Apa kita semua
mempunya ketidak berdayaan untuk menghentikan semua ini. Atau kita tidak, belum
dan tidak akan mendapatkan peluang itu? Percuma saja jika kita banyak menghafal
al-Qur’an dan fasih membacanya, jika kita belum mampu mengimplementasikan ini
yangada di dalamnya. Bagaimana memposisikan diri kita yang jauh dari mereka
untuk membantu, tidak cukup dengan doa saja. Legitimasi Negara kita dalam PBB
mungkin tidak cukup kuat untuk menghentikan semua itu, tidak seperti Cina yang
kuat akan perekonomiannya atau mungkin tidak seperti Amerika Serikat yang
berkuasa di berbagai lini, tetapi setidaknya ada tindakan dalam bentuk ikhtiar
kita untuk membantu mereka. Memang ada istilah yang menyebutkan yang punya
nuklir yang menguasai, walau ini seperti konsep kapitalisme dalam kekuatan.
Pantas saja Francis Fukuyama
dalam bukunya yang berjudul The end of
history and the last man menjelaskan bahwa Islam pun yang agama berkuasa di
dunia ini dalam hal kuantitas tidak mampu membendung arus globalisasi, karena
kaum muda dan mudinya telah terhegemoni oleh budaya barat. Apa kita bisa terima
dalam pernyataan diatas? Coba kita perhatikan diri kita yang aman di sini,
dahulu pengakuan keberadaan NKRI di persyarikatan bangsa-bangsa di bantu oleh
Palestina. Begitupun ketika kita sempat kolep pada periode presiden Soekarno,
mereka pun menyumbangkan dana untuk stabilitas Negara ini. Tetapi lihat
sekarang, ketika semuanya begitu enak terasa, kita seperti kacang lupa kulitnya.
Coba kita
lihat yang kemudian kita di bolehkan untuk menghujat dengan kejam terhadap
sikap yang dilakukan oleh para Israel terhadap proses pendidikan yang
ditamankan untuk penerus-penerus mereka. merekalah yang kelak akan menjadi
penerus pemegang kendali negara Israel, kemana arah konflik ini sedikit banyak
dipengaruhi oleh cara mereka melihat diri mereka, orang-orang Palestina,
doktrin the promised land, dan penggunaan kekerasan.
Barangkali
hal itulah yang menjadi motivasi dari seorang peneliti dari London Institute
For Economic Studies bernama Ary Syeraby seperti dikutip Rakhmat Zaenal di
dalam bukunya Makelar Dongeng Holocoust Catatan Perjalanan Dari
Dalam. Ary yang merupakan mantan anggota satuan khusus Anti-Terror di
ketentaraan Israel itu membuat sebuah penelitian dengan sampel 84 anak-anak
Israel. 84 anak itu diminta menulis surat imajiner kepada seorang anak
Palestina dengan keyakinan bahwa surat itu memang akan sampai dan dibaca oleh
anak Palestina yang mereka kirimi surat. Hasinya mencengangkan, Penelitian yang
dilakukan ditengah menggeloranya Intifadah yang telah ‘merepotkan’ Israel
semalama 11 bulan itu dimuat di koran ternama Israel Maarev edisi
26 Agustus 2001 Israel (Zaenal, 2006 : 25). Dan inilah
beberapa surat imajiner anak Israel kepada rekan-rekan mereka dari Palestina.
Surat
yang paling memprihatinkan dan membaut kita merasa kasihan kepada bukan hanya
rakyat Palestina tapi juga anak-anak Israel adalah surat yang ditulis oleh
seorang putri berusia 8 tahun kepada anak Palestina rekaannya yang dibayangkannya
juga berusia sama:
“Sharon akan membunuh kalian dan penduduk kampung … dan
jari-jari kalian dengan api. Keluarlah dari dekat rumah kami wahai monyet
betina. Kenapa kalian tidak kembali ke tempat di mana kalian datang? Kenapa
kalian mau mencuri tanah dan rumah kami? Saya persembahkan untukmu gambar ini
supaya kamu tahu apa yang akan dilakukan Sharon pada kalian. Ha…ha…ha…”
Gambar yang ditunjukkan bocah itu tidak lain
adalah gambar Sharon dengan kedua tangannya membawa dua kepala anak Palestina
yang berlumuran darah. Mengapa anak-anak Israel itu bisa menulis surat bernada
demikian kepada anak-anak Palestina? Jawabannya mungkin adalah sistem
pendidikan mereka yang memang mengarahkannya demikian. Nurit
Peled-Elhanan Seorang Profesor Bahasa dan Pendidikan dari Universitas Hebrew
pernah melakukan penelitan terhadap materi ajar di sekolah-sekolah Israel lalu
menuliskannya di dalam sebuah buku berjudul Palestine
in Israeli Schoolbooks : Idealogy and Propoganda In Education.[1]
Cobalah
kita sejenak matikan televisi kita yang kerap kita tonton dengan sajian
sinetron (SCTV) atau infotaiment (TRANSTV) dan menghening untuk berfikir betapa
berat kondisi yang di hadapi umat muslim Palestina saat ini, mari bersama kita
satukan tekat untuk membangun semangat baru/arrukhuljadid
dalam bentuk solidaritas untuk mereka, jika ini dianggap tidak pantas maka
perlukah kita untuk turun ke jalan. Dan ingatlah, mereka para zionis Israel
tidak akan berhenti sampai di sini saja, banyak penerus-penerus mereka yang
akan menggantikan.
[1] israeli-textbooks-and-childrens-literature-promote-racism-and-hatred-toward-palestinians-and-arabs.html
http://electronicintifada.net/content/book-review-how-israeli-school-textbooks-teach-kids-hate/11571
0 komentar:
Posting Komentar