Kamis, 22 November 2012

Bagaimana Dengan Rintihan Mereka di Palestina?



Oleh. Rijal A. Mohammadi
Hari ini mulai terdengar kembali isak tangis mereka. Kenapa semua ini bisa terjadi? Apa semua ini hanya takdir? Atau mungkin pola pikir manusia yang keras akan mempertahankan semuanya? Indonesia yang banyak dikatakan Negara mayoritas penduduknya beragama Islam, hanya bisa bertekut lutut sembari menahan dagu dengan tangannya ketika melihat tragedi ini. Apa yang kemudian dapat kita salahkan atau kita koreksi dengan semua ini. Bukankah keberadaan Israel di tanah yang mereka janjikan itu hanya angan-angan saja. Menilik film yang di produseri oleh Ridley Scott berjudul Kingdom of Heaven, memang dalam film ini tidak di singgung keberadaan agama Yahudi yang menempati tanah pelestina yang di sebut tanah yang di janjikan. Ketidak adanya Yahudi dalam film tersebut merupakan sebuah konspirasi yang tidak kita sadari. Perseteruan dalam peperangan antara Islam yang di pimpin oleh Salahudin Al Ayubi dan Kristen yang di pimpin oleh Baron Ibelin, sangat mencengankan. Siapa pemilik asli tanah yang di janjikan itu? Islamkah? Yahudikah? Atau bahkan Kristen?
Sebuah artikel berjudul “Who Owns the Land?” yang muncul di terbitan Sword of the Lord bertanggal 30 Agustus 2002 dan juga di beberapa terbitan internasional lainnya menyuguhkan pernyataan menarik: “… the Jewish National Fund mulai mengumpulkan uang untuk membeli tanah di Palestina demi kepentingan penempatan bangsa Yahudi, besar pembelian tanah tersebut adalah 92% dari wilayah Israel sebagaimana kita lihat sekarang ini.” Angka 92% sendiri sungguh berbeda dari angka-angka persentase tanah terbeli yang diakui secara umum dan terdokumentasikan yang menyatakan bahwa pada saat pendirian negara Israel pada tahun 1948, Yahudi hanya membeli sekitar 6% hingga 7% luas wilayah dari negara Israel sekarang (pada masa sebelum Batas Wilayah 1967). Jack Bernstein di dalam “The Life of an American Jew in Racist-Marxist Israel” mengatakan bahwa “hingga 1920, bangsa Yahudi hanya memiliki 2% dari wilayah Palestina. Kemudian pada tahun 1948 saat bangsa Yahudi mendirikan negara Israel, mereka mencaplok wilayah Palestina dalam rangka memperluas wilayah yang dimilikinya, dan itupun secara persentase masih di bawah angka 6% dari total wilayah yang dimiliki bangsa Palestina.” Booklet berjudul “Origin of the Palestine-Israel Conflict” yang diterbitkan oleh Jews for Justice in the Middle East menyatakan bahwa “di tahun 1948, saat Israel berdiri sebagai sebuah negara, hanya memiliki tanah sah sebesar 6% lebih sedikit dari seluruh wilayah Palestina.” Robin Miller di dalam “The Expulsion of the Palestinians 1947-1948” mengatakan bahwa “sebelum 1948, bangsa Yahudi hanya memiliki 1,5 juta dari total 26 juta dunam tanah di Palestina … setelah kegiatan pencaplokan tanah dari bangsa Palestina, Israel memiliki wilayah 20 juta dunam, suatu angka yang luar biasa, dari 6% menjadi 77% dari total wilayah awal. Bangsa Yahudi benar-benar berhasil mengambil alih sebuah negara dari bangsa lain”. Nampaknya banyak umat Kristiani yang didoktrin untuk mendukung klaim bangsa Yahudi atas tanah bangsa Palestina, berdasarkan argumen bahwa 92% tanah Israel adalah hasil pembelian dari bangsa Palestina. Angka 92% sebagaimana dikoarkan lewat tulisan “Who Owns the Land?” adalah jauh berbeda dibanding dengan angka yang dikeluarkan oleh The Jewish National Fund yaitu hanya sebesar 7.33% tanah dibeli dari bangsa Palestina pada saat pendirian negara Israel di tahun 1948. Beberapa orang mungkin akan berkata bahwa tidaklah menjadi persoalan berapa persen sebenarnya tanah bangsa Palestina yang dibeli oleh bangsa Yahudi pada saat pendirian negara Israel, sebab Tuhan sudah memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi sehingga menjadi hak bangsa Yahudi-lah untuk merampas dari tangan bangsa Arab [Palestina] bahkan tanpa harus membelinya. Akan tetapi, tidak ada dasar di dalam skriptur akan argumen ini. Ibrahim dan Daud [p.b.u.t.], meskipun mereka Yahudi, membayar dengan harga yang adil atas tanah yang mereka beli dari Ephron the Hittite (Ktb. Kejadian 23:16) dan dari Ornan the Jebusite (2 Samuel 24:21-24, 1 Tawarikh 21:22-25).
Kita, kalian, mereka dan dia yang mengaku diri kalian muslim yang beragamakan Islam hanya terdiam ketika pembantaian menimpa saudara-saudara kalian sesama muslim. Apa kita semua mempunya ketidak berdayaan untuk menghentikan semua ini. Atau kita tidak, belum dan tidak akan mendapatkan peluang itu? Percuma saja jika kita banyak menghafal al-Qur’an dan fasih membacanya, jika kita belum mampu mengimplementasikan ini yangada di dalamnya. Bagaimana memposisikan diri kita yang jauh dari mereka untuk membantu, tidak cukup dengan doa saja. Legitimasi Negara kita dalam PBB mungkin tidak cukup kuat untuk menghentikan semua itu, tidak seperti Cina yang kuat akan perekonomiannya atau mungkin tidak seperti Amerika Serikat yang berkuasa di berbagai lini, tetapi setidaknya ada tindakan dalam bentuk ikhtiar kita untuk membantu mereka. Memang ada istilah yang menyebutkan yang punya nuklir yang menguasai, walau ini seperti konsep kapitalisme dalam kekuatan.
Pantas saja Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The end of history and the last man menjelaskan bahwa Islam pun yang agama berkuasa di dunia ini dalam hal kuantitas tidak mampu membendung arus globalisasi, karena kaum muda dan mudinya telah terhegemoni oleh budaya barat. Apa kita bisa terima dalam pernyataan diatas? Coba kita perhatikan diri kita yang aman di sini, dahulu pengakuan keberadaan NKRI di persyarikatan bangsa-bangsa di bantu oleh Palestina. Begitupun ketika kita sempat kolep pada periode presiden Soekarno, mereka pun menyumbangkan dana untuk stabilitas Negara ini. Tetapi lihat sekarang, ketika semuanya begitu enak terasa, kita seperti kacang lupa kulitnya.
Coba kita lihat yang kemudian kita di bolehkan untuk menghujat dengan kejam terhadap sikap yang dilakukan oleh para Israel terhadap proses pendidikan yang ditamankan untuk penerus-penerus mereka. merekalah yang kelak akan menjadi penerus pemegang kendali negara Israel, kemana arah konflik ini sedikit banyak dipengaruhi oleh cara mereka melihat diri mereka, orang-orang Palestina, doktrin the promised land, dan penggunaan kekerasan.
Barangkali hal itulah yang menjadi motivasi dari seorang peneliti dari London Institute For Economic Studies bernama Ary Syeraby seperti dikutip Rakhmat Zaenal di dalam bukunya Makelar Dongeng Holocoust Catatan Perjalanan Dari Dalam. Ary yang merupakan mantan anggota satuan khusus Anti-Terror di ketentaraan Israel itu membuat sebuah penelitian dengan sampel 84 anak-anak Israel. 84 anak itu diminta menulis surat imajiner kepada seorang anak Palestina dengan keyakinan bahwa surat itu memang akan sampai dan dibaca oleh anak Palestina yang mereka kirimi surat. Hasinya mencengangkan, Penelitian yang dilakukan ditengah menggeloranya Intifadah yang telah ‘merepotkan’ Israel semalama 11 bulan itu dimuat di koran ternama Israel Maarev edisi 26 Agustus 2001 Israel (Zaenal, 2006 : 25). Dan inilah  beberapa surat imajiner anak Israel kepada rekan-rekan mereka dari Palestina.
Surat yang paling memprihatinkan dan membaut kita merasa kasihan kepada bukan hanya rakyat Palestina tapi juga anak-anak Israel adalah surat yang ditulis oleh seorang putri berusia 8 tahun kepada anak Palestina rekaannya yang dibayangkannya juga berusia sama:
“Sharon akan membunuh kalian dan penduduk kampung … dan jari-jari kalian dengan api. Keluarlah dari dekat rumah kami wahai monyet betina. Kenapa kalian tidak kembali ke tempat di mana kalian datang? Kenapa kalian mau mencuri tanah dan rumah kami? Saya persembahkan untukmu gambar ini supaya kamu tahu apa yang akan dilakukan Sharon pada kalian. Ha…ha…ha…”
  Gambar yang ditunjukkan bocah itu tidak lain adalah gambar Sharon dengan kedua tangannya membawa dua kepala anak Palestina yang berlumuran darah. Mengapa anak-anak Israel itu bisa menulis surat bernada demikian kepada anak-anak Palestina? Jawabannya mungkin adalah sistem pendidikan mereka yang memang mengarahkannya demikian.  Nurit Peled-Elhanan Seorang Profesor Bahasa dan Pendidikan dari Universitas Hebrew pernah melakukan penelitan terhadap materi ajar di sekolah-sekolah Israel lalu menuliskannya di dalam sebuah buku berjudul Palestine in Israeli Schoolbooks : Idealogy and Propoganda In Education.[1]
Cobalah kita sejenak matikan televisi kita yang kerap kita tonton dengan sajian sinetron (SCTV) atau infotaiment (TRANSTV) dan menghening untuk berfikir betapa berat kondisi yang di hadapi umat muslim Palestina saat ini, mari bersama kita satukan tekat untuk membangun semangat baru/arrukhuljadid dalam bentuk solidaritas untuk mereka, jika ini dianggap tidak pantas maka perlukah kita untuk turun ke jalan. Dan ingatlah, mereka para zionis Israel tidak akan berhenti sampai di sini saja, banyak penerus-penerus mereka yang akan menggantikan.



[1] israeli-textbooks-and-childrens-literature-promote-racism-and-hatred-toward-palestinians-and-arabs.html
http://electronicintifada.net/content/book-review-how-israeli-school-textbooks-teach-kids-hate/11571

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger