(Sebuah analisa yang dilakukan oleh Rijal A. Mohammadi, diangkat dari kisah nyata aktivis Gerwani dan troumatik akibat pembantaian PKI tahun 60an. buku tidak dapat di sebutkan)
Diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris oleh Anton Lucas
Berawal dari traumatic yang di
alami oleh keluarga ibu Yeti setelah suaminya pergi ke China tanggal 21
September 1965 bersama-sama dengan kelompok yang dipimpin oleh Chaerul Sahleh.
Mereka yang selamat dari upaya massacre tahun 1965-1969 tidak akan pernah
‘dibebaskan’ dengan cara, katakanlah
seperti, dibebaskannya korban-korban kamp kosentrasi di Eropa pada akhir Perang
Dunia II. Bertahan hidup adalah sesuatu yang sulit dalam waktu dekat setelah
usaha kudeta 30 September 1965 yang gagal itu, tetapi kehidupan setelah
berhasil selamat itu juga sulit. Baik itu di dalam maupun di luar penjara, para
anggota dan orang-orang yang berhubungan dengan PKI menyaksikan keluarganya bercerai
berai, kesehatan mereka menurun, dan karir mereka hancur. Istri-istri para
tapol laki-laki menanggung beban yang berat dalam usahanya menjaga keutuhan
keluarga, sambil bertarung dengan penyakit dan berusaha memberikan pendidikan
bagi anak-anak mereka.
Tuisan ini menggambarkan beban
psikologis ganda yang di tanggung oleh orang-orang yang berhasil selamat: lolos
dari dengan segala pertanyaan tentang apa salahnya dan makna yang mengikutinya,
dan tahun-tahun panjang yang menakutkan dalam kerja keras yang membosankan. Ibu
Yeti bertekad bahwa dosa-dosa yang dituduhkan kepada orangtua harus jatuh
seringan mungkin kepada anak-anaknya, dan menyaksikan anak-anaknya hidup mapan
dengan pendidikan yang baik menjadi prioritasnya yang tinggi. Marjinalisasi
yang dilakukan pasca kudeta 30 September 1965 membuat Ibu Yeti tidak akan
pernah memaafkan Islam dan orang-orang muslim. Caci maki atas keguguran uang di
alaminya, penjarahan rumahnya-bukan hanya perusanakan melainkan juga
penjarahan-yang dilakukan oleh pemuda HMI yang meneriakkan “Allahuakbar, Allahuakbar”.
Selama masa pengadilan yang
dijalankan setelah kudeta, gereja Katolik dan gereja Protestan berhasil menarik
hati sejumlah korban marjinalitas pasca kudeta, termasuk Ibu Yeti. Dengan
kerja-kerja amal yang mereka lakukan di penjara dank arena bantuan langsung
yang mereka berikan dalampendidikan anak-anaknya. Kemurahan hati dan
penantangan terhadap norma-norma sosial yang di tunjukan oleh pihak gereja
menarik banyak orang untuk beralih ke agama mereka dan menjadi simpatisan
gereja pada bulan-bulan dan tahun-tahun setelah terjadinya maccacre itu, tanpa
melihat partisipan orang-orang Kristen dalam pembantaian di beberapa daerah.
Rasa hormat Ibu Yeti terhadap gereja semakin memperbesar pertentangannya dengan
keluarganya, dan dia berkata:
“saya benar-benar benci pada orangorang Islam.
Seluruh keluarga saya beragama Islam. Meskipun mereka membantu saya, tetapi itu
tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Saya disebut orang kafir. Ayah saya Islam,
ia melakukan puasa dan shalat. Ia tidak suka saya dekat dengan gereja. Kami
sering bertengkar”.
Bantuan yang diberikan oleh
orang-orang Islam, baik secara perorangan maupun umat dan organisasi-organisasi
amal bagi para korban dan orang-orang yang selamat dari pembantaian tidak
disebut-sebut oleh Ibu Yeti. Meskipun orang-orang Islam membantu, tampaknya
mereka melakukannya tidak sesering dan seterbuka orang-orang Kristen; mungkin
karena polarisasi ideology antara Islam dan golongan kiri telah mencapai
puncaknya pada tahun 1965, maka mereka yang membantu orang-orang yang diduga
sebagai komunis akan dipandang sama dengan simpatisan komunis. Di pihak lain,
gereja-gereja Kristen, sebagai pemain minor dalam kancah politik nasional dan
dengan tradisi amal yang sudah lama mapan bersedia, dan mempunyai hasrat yang
besar, untuk bekerja di kalangan pihak yang kalah.
Dari sekian banyak marjinalisasi
yang dialami oleh Ibu Yeti dan keluarganya yang dilakukan oleh lingkungannya
merupakan ingatan kelam masa lalu yang tidak mungkin di lupakan. Teringan saat
sepulangnya Ibu Yeti dari perawatan pasca kegugurannya dari rumah sakit,
terdapat banyak tulisan berupa hinaan, cacian dan sebagainya. Seperti ‘Gestapu
kegugran’, tulisan ini terpampang besar di tembok rumahnya. Kemudian pada
tanggal 19 Oktober 1965 pukul 12 tengah hari kerumunan orang dewasa dan
anak-anak mulai melempari rumahnya dengan batu.
Terhitung 4 hari setelah
penganiaian yang dialami oleh Ibu Yeti itu, dia digiring ke penjarah dan
kemudian ditangkap selama kurang lebih 3 bulan. Dalam penahanan itu, ha-hal
kekejaman yang dirasakan oleh Ibu Yeti, seperti orang hanya mendapat sepotong
temped an sayur kangkung yang tidak bersih, karena masih ada batang dan
serabut-serabutnya. Disamping itu di dalam proses penyembuhan akhir pasca
keguguran yang dialaminya, sehingga dia menjadi kurus karena tidak makan
apa-apa.
Beberapa hari kemudian para
polisi mengirimkan para tapol itu secara bertahap ke Kodim Jatinegara. Ibu Yeti
merupakan tahanan ketiga yang dikirim ke Kodim tersebut. Para tahanan termasuk
Ibu Yeti berada di Kodim Jatinegara selama 3 bulan. Menjelang Maret 1966 tidak
ada lagi di Kodim itu, karena semuanya terlah di pindahkan ke penjara
Bukitduri. Ibu Yeti merupakan orang ketiga terakhir yang dipindahkan. Setibanya
di sana Ibu Yeti bertemu dengan teman-teman sesame aktivis Gerwani yang
kemudian menenyainya. “Ngapain kamu di sini?” tangga mereka, “kenapa kamu kurus
sekali?” “yah, aku tidak tahu kenapa aku ada di sini,” jawab dia.
Pada suatu hari ada seorang wakil
(komandan) Sani Gondo namanya, dia beragama Kristen dan biasa dating katanya ke
Bukit baru untuk memeriksa para tahanan, termasuk Ibu Yeti. Kolonel itu
bertanya kepada para tahanan, “apa yang kalian butuhkan:” mereka diberi
hadiah-hadiah Natal oleh para anggota gereja yang datang ke penjarah. Dari
bantuan-bantuan yang diterima oleh tapol itulah rasa simpati yang dirasakan Ibu
Yeti dan kawan-kawan. Karena didalam penjarah, para tahanan di wajibkan untuk
beribadah sesuai agamanya masing-masing, seperti halnya orang beragama Islam
selalu mendengarkan ceramah mingguan setiap hari jum’at. Letnan Kolonel Busro,
dari bagian urusan keagamaan mengatakan kepada para tapol, “Orang-orang komunis
itu criminal, mereka membunuh orang.” Kemudian beralih bahasan tentang Islam.
Setelah sekian lama dalam tahanan, akhirnya para
tapol di pindah ke penjara salemba untuk nantinya akan di bebaskan, tanpa hari
yang jelas. Setelah pembebasan yang dialami oleh Ibu Yeti, dia sering mengadu
nasib atau berkonsultasi kepada Pendeta gereja untuk mengadu nasibnya
sekeluarnya dia dari penjarah. Karena kebingungan untuk mengurusi pendidikan
dan makan 5 orang anaknya. Dalam proses interaksi kehidupan dengan Pendeta
gereja itu, 5 orang anaknya terjamin sekolah dan 4 orang anak dari 6 orang
anaknya berhasil menempuh sampai bangku kuliah.