Oleh. Rijal A. Mohammadi
“Dunia
ini panggung sandiwara”, kata penyair. Kehidupan ini apakah suratan yang tak
satu hambapun menentukannya? Seakan kita lari pada rel yang telah di
letakannya. Kemudian dimanakah kemerdekaan seorang hamba untuk menentukan jalan
rel yang berliku yang ingin di pilihnya?
“Ceritanya
bisa berubah”, tambah sang penyair. Hah inilah adanya kemerdekaan seorang hamba
untuk berdaulat di rel yang telah di sediakan. Melihat dunia meliputi mati,
rezeki, dan jodoh. Banyak orang berkata tiga aspek itu telah di gariskan oleh
tuhan, tapi apakah semuanya benar? Bagaimana dengan orang yang meninggal dunia
dengan bunuh diri, apakah dia patut untuk protes kepada tuhannya kenapa dia
mati dengan bunuh diri? Pantaslah kiranya dia masuk ke neraka? Apa dan siapa
yang patut di persalahkan?
“Ada
peran wajar, ada peran berpura-pura”, tambah sang penyair. Bagaimana dengan
keadilan hidup yang tak wajar? Apakah kemiskinan itu wajar, kemudian apakah
kejahatan akibat kemiskinan itu diwajarkan? Sepertinya semua tercipta karena
manusia itu sendiri pintar mengubah hidup ini untuk menjadi yang teratas dan
menyengaja menindas yang di bawah (pertahanan status quo). Tidak mungkin
kemiskinan dan kejahatan hasil dari keberpuraan hidup setiap manusia yang
ditakdirkan dijalannya.
Kenapa
jika kita tahu yang benar itu benar dan yang salah itu salah bukan garisan dari
sang tuhan, kita tidak berusaha mendobraknya? Lawan dan dobrak selagi bisa,
katanya tuhan bersama orang yang lemah dan miskin selagi fakir. Apakah kita
tidak percaya dengan dogma agama itu? Bagaimana keimanan kita terhadap tuhan
yang kita agungkan itu.
0 komentar:
Posting Komentar