Sabtu, 08 Desember 2012

PERGESERAN IDEOLOGI DALAM PARTAI POLITIK

0 komentar


Oleh. Rijal A. Mohammadi 

Dalam pepatah Latin dikatakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei). Dengan demikian, kedaulatan rakyat tidak boleh dikom-promikan dengan apa dan siapa pun, kehendak rakyat seakan-akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang mengatakan kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (salus populi supreme lex). Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang paling tinggi adalah kehendak rakyat (Rais, 1998:7).  Demokrasi adalah salah satu bentuk pemerintahan yang dinilai buruk oleh sebagian filosof. Pemerintahan yang didasarkan asas demokrasi adalah pemerintahan yang pemimpinnya ber-asal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi, demokrasi seperti ini hampir sulit didapatkan; yang tampak di hadapan mata adalah segelintir orang menentukan atau mengendalikan orang banyak. Aristoteles (w. 347 SM) (2000) menjelaskan tiga hal, yaitu pemegang kekuasaan tertinggi, tujuan pemerintah-an, dan bentuk pemerintahan. Menurut-nya, jumlah pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu (1) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan satu orang; (2) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan beberapa orang; dan (3) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan banyak orang.
Tujuan pemerintahan dibedakan oleh Aristoteles menjadi dua, yaitu (1) pemerintahan yang bertujuan untuk membentuk kebaikan, kesejahteraan umum, dan pemenuhan kepentingan umum (tujuan baik); dan (2) pemerin-tahan yang bertujuan untuk membentuk kebaikan, kesejahteraan, dan pemenuhan kepentingan pemegang kekuasaan itu sendiri (tujuan buruk, penyimpangan). Bila dilihat dari segi kuantitas, pemegang kekuasaan tertinggi, dan  tujuan negara Aristoteles pun mengkla-sifikasikan bentuk pemerintahan menjadi dua, yaitu pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang buruk. Menurut Aristoteles, bentuk-bentuk pemerintahan yang baik adalah monarki, yaitu kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan satu orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum; aristokrasi, yaitu kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan beberapa orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahtera-an umum; politeia (negara), yaitu kekuasaan tertinggi dalam penyeleng-garan negara berada di tangan banyak orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum (Rapar, 1993:44-46).
Bagi Aristoteles, bentuk negara yang paling ideal adalah monarki. Selain itu, ia menjelaskan tiga bentuk pemerintahan yang buruk, yaitu tirani (sebagai kebalikan dari monraki). Tirani adalah kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan satu orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan kesejahteraan penguasa; oligarki5 adalah kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan beberapa orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejah-teraan penguasa; demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan orang banyak yang berasal dari kalangan tertentu yang dominan, digunakan lebih banyak untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan kelompok pendukungnya (Campbell, 1994:18-19). Amin Rais dalam jurnalnya menjelaskan bahwa esensi demokrasi, yaitu kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan beragama; ke-bebasan dari rasa takut; kebebasan untuk sejahtera; kebebasan rakyat dalam berpartisipasi politik untuk menentukan nasibnya sendiri; dan berjalannya keseimbangan (check and balances), serta tegaknya hukum (Rais, 1998: 6).
Pasca reformasi gairah perpolitikan di Indonesia mulai berkembang lagi, partai politik yang dulu tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa mulai saat itu mulai menampakkan kekuatanya sebagai pengontrol jalannya kekuasaan. Sebenarnya gairah seperti ini pernah muncul diawal kemerdekaan sebagai buah dari revolusi panjang sebuah negara dalam melawan penindasan kolonial. Euforia kebebasan politik waktu itu sangat tergambarkan oleh muncul banyak sekali partai politik dengan segala identitasnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilu pertama merupakan pemilu yang paling demokratis, dengan banyaknya peserta pemilu dan asas jurdil yang relatif bisa dipertanggung jawabkan karena penguasaa belum mempunyai kekuasaan dalam mempengaruhi jalannya pesta demokrasi dan hal seperti ini yang pada saat sekarang menjadi persoalan tersendiri dimana penguasa masih dapat mempengaruhi proses pemilu, baik melalui mobilisasi pemilih untuk memilih partai penguasa, politik uang, permainan data pemilih dan juga permainan dari penyelenggara pemilu sendiri dalam memenangkan kandidat (Pemilu Legislatif) tertentu. Saat pemilu pertama pada tahun 1955 diikuti oleh 172 partai politik, hal ini menunjukan bagaimana eforia kebebasan berpolitik benar-benar terjadi setelah lamanya terbelenggu oleh penjajahan.
Dibawah Orde Baru partai politik hanya dijadikan legitimasi penguasa saat itu untuk memperlihatkan pada dunia internasional bahwa Indonesia taat dalam menjalankan asas demokrasi, dimana partai politik merupakan salah satu pilar atau penanda bahwa demokrasi itu ada di negara tersebut. Partai tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa, partai politik tidak bisa memainkan perannya sebagai alat kontrol bagi penguasa, partai politik tidak bisa menjadi alternatif bagi masyarakat yang menginginkan perubahan. Bahkan adanya yang menyebutkan bahwa partai saat itu (nonGolkar) seperti PPP diartikan sebagai partai pelengkap pembangunan, sedangkan PDI dikatakan sebagai partai damai itu indah. Pandangan itu sangat wajar ketika parti tersebut tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mempengaruhi kebijakankebijakan penguasaa saat itu. Bagaimana tidak, penguasa mampu mengendalikan partai-partai tersebut dengan mempengaruhi pemenangan elit partai yang akomodatif terhadap pemerintah untuk menjadi ketua umum partai.
Selepas lengsernya kekuasaan Orde partai politik menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan politik. Ruang yang begitu luas diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik dan kondisi semacam yang terjadi diawal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali partai politik waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan banyaknya partai politik hal ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk berpolitik tinggi. Dengan tidak diberlakukannya asas tunggal pancasila sebagai ideologi maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi masyarakat membuat partai yang berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap individu, setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang mempunyai impian tentang masyarakat yang ideal.
Ideologi
Ideologi merupakan kata yang angker untuk didengar dan dipelajari saat pemerintahan orde baru, karena saat itu tidak diperolehkan ada ideologi selain pancasila. Tentunya hal tersebut membuat kita semakin penasaran tentang apa itu ideologi. Pada dasarnya ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata, yaki ideo artinya pemikiran; logis artinya logika, ilmu, pengetahuan. Dapat bahwa didefiniskan ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita (Ali Syariati dalam Firdaus. 2007:238). Pengertian yang lebih luas menurut Steger (dalam Firmansyah. 2011:96) mendefiniskan ideologi sebagai suatu sistem sebaran ide, kepercayaan yang membentuk sistem nilai dan norma serta peraturan ideal yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh kelompok tertentu.
Sedangkan menurut Lane (dalam Firmansyah, 2011:97) ideologi dicirikan oleh; pertama, ideologi politik berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan menjadi pemimpin? Bagaimana mereka dipilih, dan dengan prinsip-prinsip apa mereka memimpin? Hal ini akan berkaitan dengan seperti apa pemimpin yang layak untuk memimpin masyarakat banyak, apakah yang dipertimbangkan masalah religiusitasnya, jiwa sosialnya, kekayaanya, kemampuan akademiknya, fisik atau penampilnya, suku atau etnisnya, laki-laki atau perempuan, selain itu bagaimana untuk medapatkan pemimpin dengan kriteria tersebut? Apakah berdasarkan keturunan (stratifikasi tertutup) ataukah tidak mempersoalkan keturunan asalkan ada beberapa kriteria seperti yang telah dijelaskan diatas. Kedua, ideologi mengandung banyak sekali argumen untuk persuasi atau melawan (counter) ide-ide berlawanan. Ketiga, ideologi sangat mempengaruhi banyak sekali aspek kehidupan manusia, mulai aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan sebagainya. Dalam gagasan yang ada dalam ideologi tersebut tentunya akan berawal dari ide/gagasan tentang masyarakat seperti apa yang ingin diwujudkan. Dari sudut ekonomi, hal akan berkaitan dengan persoalan kekayaan, kemudian bagaimana distribusi kekayaan yang ada, apakah masyarakat diberikan ruang sebebas-bebasnya dalam mengejar kekayaan.
Seperti yang diungkapkan oleh (Deliarnov. 2006:16) bahwa Manusia adalah makhluk rasional yang didorongan kepentingan pribadi (berproduksi, membeli dan menjual) baik itu barang maupun jasa. Apakah manusia perlu dibatasi dalam mengejar kekayaan tadi, dan kemudian dengan batas-batas seperti apa? Selanjutnya bagaimana distribusi dari kekayaan tersebut serta bagaimana mewujudkan kesejahteraan, ketika kita berbicara masyarakat maka didalam masyarakat akanada kaya, menengah, miskin, mayoritas dan minoritas. Kemudian bagaimana hubunganya mereka?bagaimana cara mengatur hubungan tersebut (ketika mereka yang mempunyai ideology tertentu mempunyai kekuasaan untuk melakukanya). Keempat, ideologi sangat terkait dengan hal-hal penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program ataupun menentangnya. Dalam ideologi tersebut terdapat ide-ide ataupun gagasan bagaimana masyarakat hidup dan diatur oleh norma-norma yang diyakini maka hal ini dijadikan landasan dalam menyusun rencana berupa kebijakan ataupun program yang tepat dan sesuai kepentingan untuk masyarakat tersebut. Di lain pihak dengan ide-ide tersebut dapat juga dijadikan dasar untuk merespon dan bahkan
menentang tatkala muncul kebijakan-kebijakan yang dirasa membahayakan atau merugikan dari tatanan masyarakat yang dicita-citakan. Kelima, ideologi mencoba merasionalisasikan kepentingan kelompok sehingga kepentingan tersebut sangat beralasan dan layak diperjuangkan. Hal ini berkaitan dengan ciri yang keempat, dengan adanya ide/gagasan atau cita-cita tatanan masyarakat yang diinginkan yang didalam menyangkut masalah ekonomi atau kesejahteraan masyakat banyak maka hal tersebut dijadikan landasan yang mantap untuk melindungi atau mempertahankan masyarakat yang memang manjadi basis. Keenam, ideologi berisikan hal-hal yang bersifat normatif, etis, dan moral. Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa ideologi adalah sebuah tatanan masyarakat yang didalamnya menyangkut sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya yang citacitakan oleh individu, kelompok, golongan atau masyarakat luas yang kemudian menjadi landasan untuk bertindak.
Partai Politik
Dalam kehidupan yang demokrasi seperti di Indonesia sekarang ini, partai politik merupakan instrumen yang wajib ada disuatu negara yang menjalankan demokrasi. Bahkan pendapat yang ekstrim yang mengatakan bahwa tidak ada demokrasi ketika tidak ada partai politik didalamnya, karena partai politiklah yang memainkan peranan penting dalam sistem demokrasi. Dengan adanya partai politik maka masyarakat akan merasakan mempunyai negara/pemerintah, karena ketika tidak ada kekuatan penyeimbang dari penguasa maka kecenderungannya adalah kekuasaan tersebut akan digunakan secara berlebihan dan tentunya masyarakatlah disini yang akan selalu dirugikan melalui kebijakan-kebijakanya. menurut Carl J. Friedrich (Miriam Budiarjo: 404) mendefiniskan partai politik adalah sekompok manusia yang terorganisir sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil.
Sedangkan menurut Sigmund Neumann (Miriam Budiarjo:404) mengatakan bahwa Partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian kalau kita melihat Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik memberikan definisi sebagai berikut; Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Dari definisi-definisi yang telah diuraikan diatas dapat kita simpulkan bahwa partai politik adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dewasa dengan landasan kepercayaan tentang nilai-nilai tertentu tentang masyarakat yang dicita-citakan. Selanjutnya organisasi tersebut digunakan untuk menciptakan masyarakat yang cita-citakan melalui cara-cara yang sah yaitu dengan mendapatkan kekuasaan dibidang politik. Dengan dimilikinya kekuasaan tersebut maka mereka akan lebih mudah untuk menciptakan masyarakat yang dicita-citakan melalui kebijakankebijakan yang dibuat.
Ideologi dan Partai Politik
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi merupakan hal wajib bagi partai politik, dengan ideologinya sebuah partai politik akan terlihat bentuknya. Bentuk disini adalah kemana arah partai politik ini akan memainkan fungsinya, apa yang akan disosialisaskan ke masyarakat, sikap dan orientasi politik seperti apa yang akan dibentuk, masyarakat seperti apa yang menjadi basis perjuangan partai, dengan nilai-nilai seperti apa perjuangan itu akan dilakukan, bentuk masyarakat seperti apa yang akan dibentuk dan lain sebagainya. dengan dasar ideologilah partai itu akan begerak melalui program kebijakan partai yang kemudian akan menjadi program kerja nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat. Berawal dari program kerja inilah kemudian cita-cita untuk mewujudkan atau membentuk masyarakat yang diimpikan akan terwujud. Ideologi digunakan sebagai arah ataupun ukuran kemudian ketika menyikapi persoalan yang ada didalam masyarakat. Di dalam ideologi disitu terkandung hal-hal yang sifatnya formal dan ideal tentang banyak hal, ideologi akan menyangkut bagaimana ekonomi dan politik itu akan dijalankan, bagaimana distribusi nilai-nilai itu akan dilakukan. Nilai-nilai disini berkaitan dengan kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, ketenangan, kenyamanan masyarakat yang akan diciptakan ketika partai tersebut mendapatkan kekuasaan.
Dengan cita-cita tentang masyarakat ideal tadi, hal tersebut dapat digunakan sebagai landasan partai politik untuk menyikapi setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (ketika partai tersebut ber opoisisi) yang ditujukan kepada masyarakat ketika kebijakan-kebijakan tersebut merugikan ataupun mengahambat tercapaiinya masyarakat yang ideal tadi. Dalam setiap memberikan tanggapan apakah itu kritik ataupun penolakan terhadap suatu kebijakan sebagai pelaksanaan fungsi kontrol partai politik tentunya dapat dirasionalisasikan baik secara akademis dan politis sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada masyakat yang menjadi basis perjuangan ataupun pihak yang berlawanan.
Dengan ideologinya masing-masing partai politik itu akan mempunyai identitas yang jelas, hal tesebutlah kemudian yang memudahkan partai politik tersebut dalam mendapatkan massa pendukung. Di sisi yang lain masyarakatpun akan lebih mudah untuk menentukan partai mana yang sesuai dengan keinginan yang memang memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat.

Tabel 1
Ideologi partai politik
(partai dengan perolehan suara teratas pemilu 2009)


Sumber: diolah dari berbagai sumber.

Untuk masa sekarang dengan begitu banyak partai politik yang muncul kita mengalami kebingungan untuk mengidentifikasikan penggolongan partai berdasarkan ideologi. Hal yang paling mudah kita bisa melihat dari asas partai yang secara formal tercantum pada AD/ART partai. Dengan melihat hal tersebutpun kita belum sampai pada analisa yang sifatnya substantive tentang partai tersebut karena pada tataran empiris kadang tidak sejalan antara azaz, platform partai dengan perilaku elit, pemilih, serta program-program partai. Sedangkan Asep Nurjaman mengelompokan ideologi partai politik, kedalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi Islam, Partai yang berideologi Nasionalis Sekuler, Partai yang berideologi Nasionalis Religius, serta partai yang berideologi Kristen seperti yang ditunjukkan tabel berikut.

Tabel 2
Peta ideologi partai Poltik
(Versi Asep Nurjaman)


Sumber : Asep Nurjaman, ejournal.umm.ac.id

Memang untuk penggolongan sangat debateble karena penggolangan-penggolongan akan berbeda ketika menggunakan indikator yang berbeda pula. Ideologi Islam di situ digunakan ketika suatu partai menggunakan istilah-istilah Islam dalam AD/ART-nya, sedangkan untuk nasionalisme religius disitu walaupun tidak menyebutkan Islam secara eksplisit tetapi dalam AD/ ART mencantumkan nilai-nilai agama dan moral. Sedangkan Nasionalisme, ketika AD/ART tidak menyebutkan istilah-istilah Islam, moral, nilai-nilai ajaran agama. Dan terakhir Kristen ketika di dalam AD/ARTnya secara eksplisit mencantumkan nilai-nilai, istilah atau ajaran-ajaran dalam agama kristen.
Partai Politik dan Pemilu
Salah satu instrumen paling penting dalam pemilu adalah dengan adanya peserta pemilu, yaitu partai politik. Partai politiklah yang berkompetisi baik partai politik itu sendiri ataupun anggota partai yang mencalonkan menjadi anggota legislatif ataupun menjadi presiden. Pemilu merupakan arena bagi partai politik dalam bersaing dengan partai politik lainya untuk mendapatkan kekuasaan yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pada tataran teoris partai politik bersaing dengan ideologi yang kemudian termanistasikan ke dalam kebijakan partai dan selanjutnya munculah program partai. Program-program tersebutlah yang kemudian menjadi aksi nyata yang langsung dapat diamati dalam rangka untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Partai politik hadir dengan menawarkan berbagai program yang diyakini akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa ataupun akan memperjuangkan sesuatu bagi masyarakat banyak sesuai dengan ideologi yang diyakininya.
Dengan hadirnya begitu banyak partai politik tentunya membuat pemilu semakin meriah, baik itu partai lama (partai yang telah pemilu sebelumnya) ataupun partai baru (termasuk partai pecahan partai lama). Persaingan antar partai politik akan semakin sengit dalam mendapatkansuara, apa lagi dengan munculnya partai baru yang tentunya mempunyai warna baru dan harapan baru. Partai politik hadir dengan asa yang dibawa, yaitu ingin memperjuangkan atau mewujudkan masyarakat yang didam-idamkan. Yaitu dengan menawarkan banyak harapan, bagaimana cara mewujudukan, tipe masyakat yang mana akan menjadi basis perjuangan; apakah petani, buruh, atau nelayan, masyarakat yang ada diperkotaan atau pedesaan dan sebagainya.
Seperti fungsi partai politik yaitu sebagai sarana rekruitmen, bahwa rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya. Dengan hadirnya sistem pemilihan langsung baik untuk tingkat nasional ataupun di daerah maka fungsi rekrutmen yang dilakukan partai politik semakin penting peranannya. Penting disini adalah dari proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik maka akan muncul caloncalon pemimpin yang memang telah teruji (kemampuan teoritis atau konsep dan praktek) baik itu kerja-kerja organisasi ataupun dalam bermasyarakat. Partai politik dapat dikatakan sebagai tempat mencetak kader yang dapat dijadikan calon-calon pemimpin baik di tingkat pusat ataupun di daerah. Ketika negara kita sederhanakan menjadi organisasi, peran pemimpin merupakan hal yang pokok, dari pemimpin iniliah kemudian akan muncul keputusan-keputusan yang diarahkan untuk tercapai cita-cita organisasi (negara). Kader-kader dari partai inilah yang kemudian menjadikan cerminan dari partai politik terkait dengan ideologi, yang diharapkan kelak ketika menjadi seorang pemimpin dapat membuat kebijakan-kebijakan sesuai dengan ideologi partai, tidak bersebrangan dengan ideologi partai. Tentunya kebijakan ini tidak sebatas kebijakan pemerintah pusat melalui presiden, tetapi juga gubernur, walikota ataupun bupati. Seiring dengan otonomi daerah dimana kemudian daerah mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangga dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dengan besarnya kewenangan yang bergitu besar maka hal menjadi kesempatan yang bagus untuk partai politik membuat kebijakan sebagai bentuk manifestasi ideologi partai di daerah melalui kepala daerah.
Dengan semakin banyak partai politik hal ini membawa implikasi bahwa masyarakat semakin bingung untuk memilih partai mana yang dipercaya dapat memperjuangkan atau mewujudkan kepentinganya. Dengan semakin banyak partai poltik hal ini seakan menutup kemungkinan untuk salah satu partai memenangkan pemilu secara mutlak. Sehinga dengan kondisi seperti ini maka, kemungkinan untuk melakukan kerjasama atau koalisi dalam pemenangan calon eksekutif nbaik pusat maupun daerah. Secara teoritis dalam melakukan koalisi partai politik akan melihat siapa yang akan diajak berkoalisi? Tentunya partai politik yang sepaham (seideologi). Karena dengan begitu maka akan lebih mudah untuk bekerjasama ketika banyak kesamaan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi. Sebagai contoh partai yang berideologi Islam dengan nilainilai Islam yang menjadi landasan kebijakan akan berkoalisi dengan partai yang berideoligi liberal dengan nilai kebebasan yang menjadi landasan kebijakan partai, tentunya hal ini akan sangat sulit menyamakan persepsi tentang banyak hal. Banyak hal disini seperti; bagaimanan sistem ekonomi, sosial ini akan dijalankan, bagaimana seharusnya pemerintah dalam melakukan fungsi terkait hal tersebut?
Fenomena sekarang yang terjadi di Indonesia perbedaan partai politik sudah semakin kabur. hal ini mungkin disebabkan tidak ada perbedaan yang ekstrim antar partai politk.Terjadi pergeseran secara ideologi yaitu mengkombinasikan nasionalis dan Islam yang kemudian muncul istilah Nasionalis-Religius. Selain itu dipengaruhi basis masa yang akan dibidik, sebagai contoh; walaupun berhaluan nasionalis tetapi ingin membidik golongan islam untuk mendulang suara, sehingga hal ini kemudian memaksa untuk membuat organisasi keagamaan (Islam) atau semacamnya yang terafiliasi dengan partai tersebut.
Koalisi partai-partai politik yang dilakukan sifatnya jangka pendek, yaitu bagaimana mendapatkan kekuasaan. Yang seharusnya arah koalisi partai politik dilandasi oleh ideology partai yang kemudian menjadi identitas yang termanifestasi pada program partai tetapi yang terjadi adalah partai apapun dimungkinkan melakukan koalisi selama hal itu menguntungkan. Yang terjadi adalah bukan persoalan jika kemudian bekerjasama dengan partai yang berbeda ideologi, asalkan hal itu mempermudah untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari koalisi partai politik, dimana tidak ada keseragaman koalisi baik ditingkat pusat maupun didaerah. Ditingkat pusat, Partai demokrat berkoalisi dengan PPP, PAN, PKB, PKS, dan Golkar yang berseberangan dengan oposisi yang terdiri dari PDI-P, Gerindra, Hanura. Tetapi di daerah terjadi koalisi yang beragam, kalau memang koalisi kemudian tidak berdasarkan ideologi tetapi berdasarkan komando kepemimpinan partai pusat itu masih menunjukkan arah kebijakan elit partai. Tetapi yang terjadi adalah tidak ada keberagaman terkait koalisi antara pusat daerah, pada tingkat pusat antara PDI-P dan Demokrat tetapi di daerah sangat dimungkinkan untuk terjadi koalisi antar kedua partai tersebut. Kenderungan koalisi lebih pada kombinasi antara partai Islam dan Nasionalis dan hal tersebut tidak seragam, bisa berkoalisasi dengan partai Islam atau Nasionalis manapun asalkan koalisi tersebut memberi keuntungan yang cepat.
Kesimpulan
Dengan dimungkinkan untuk pemilihan langsung baik presiden, Gubernur, Walikota dan bupati perpolitikan Indonesia semakin meriah, masyarakat semakin sering terlibat dengan kegiatan politik dalam arti sempit (pemilu). Ideologi lebih terkesampingkan oleh peran ketokohan, ketokohan kemudian yang menjadi pertimbangan masyarakat umum ketika menentukan pilihanya bukan pada ideologi apa yang dipeganganya hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung. Ketokohanlah yang kemudian menjadi incaran atau yang dikejar ideologi melalui partai politik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kekuasaan politik. Politik pencitraanlah kemudian yang menonjol dalam tarik menarik mencari dukungan dalam pemilu. Dengan peran media yang begitu besar baik media cetak maupun elektonik. Di satu sisi masyarakat lebih mudah mengenali sang kandidat melalui apa yang dilihat melalui media, tetapi disisi yang lain masyarakat luas mudah terkecoh dengan pencitraan yang mereka bangun. Kondisi seperti inilah yang kemudian sering menyebabkan kekecewaan di masyarakat dikemudian hari.
Disisi lain terjadi pergeseran peran ideologi, ideologi yang seharus dijadikan landasan partai politik beserta kadernya dalam melakukan kerja-kerja politik yang menyangkut banyak hal tetapi ideologi dijadikan konten pencitraan yang acapkali manipulatif. Ideologi kemudian hanya menjadi aksesoris dari partai politik, ideologi dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek elit-elit partai politik dalam mengejar kepentingan pribadi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya elit partai politik berpindah dari satu partai ke partai yang lain. Ideologi tidak bisa mengikat perlaku elit-elit partai politik, perilaku elit kadang tidak mencerminkan ideologi partai politik, baik dari tindakan asusila, korupsi, atau kebijakan yang bertentangan dengan ideologi partai ketika ia menjadi pejabat negara. Tentunya fenomena menyulitkan untuk mendapatkan calon yang tepat, bukan karena keterbatasan infomasi tetapi karena banyaknya informasi yang ditawarkan tokoh dengan pencitraannya melalui media yang ada, diharapkan kita lebih hati-hati dalam menentukan pilihan (dalam pemilu).
Daftar Pustaka

Buku
·         Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.
·         Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik; Mencangkup berbagai teori dan konsep yang kompreshensif. Jakarta. Erlangga.
·         Firmansyah. 2011, Mengelola partai politik, Komunikasi dan positioning idelogi politik di era demokrasi. Jakarta, Yayasan pustaka obor Indonesia.
·         Surbakti, Ramlan. 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta. Grasindo.
·         Syam, Firdaus, 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta. Bumi Aksara
·         Syaukani, H et all, 2002. Otonomi Daerah dalam negara kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
·         Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik
·         Rais, M. Amin. 1998. “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia,” Milenium: Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor 1 Tahun 1, Januari-April 1998.
·         Rapar, J. H.1993. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
·         Aristotle. 2000. Politics. terj. Benjamin Jowet, direproduksi oleh Cik Hasan Bisri. Bandung: Lembaga Penelitian IAIN SGD.

Website
·         Nurjaman, Asep, http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/view/126 [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.golkar.or.id/pages-tentang/15/ad-art/ [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=135&Itemid=91 [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.ppp.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=173&Itemid=203 [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.pan.or.id/platform.html [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.dpp.pkb.or.id/index.php?option=com_content&view=section&layout= blog&id=17&Itemid=294 [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·         http://www.demokrat.or.id/wp-content/uploads/2011/07/Anggaran-Dasar.pdf [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
Read more ►

Korupsi, Tanggungjawab Siapa?

0 komentar


Oleh. Rijal A. Mohammadi
Pertanyaan dalam judul di atas sangat sederhana, bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya tidak akan pernah sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah.
Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (lima belas) fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan: a) keterjadian penyimpangan; b) adanya bukti kerugian keuangan Pemerintah; c) adanya bukti orang atau badan yang melakukan penyimpangan; d) adanya bukti orang atau badan yang menikmati hasil penyimpangan. Jika diketemukan bukti-bukti tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Selama ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali cenderung melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan. Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi? Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk
kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999, unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali tidak disadari oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima Pada kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi telah melakukan penyimpangan dengan memberi keterangan palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama dengan segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu masalah, karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya. Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
  • Yang melakukan adalah yang menandatangani kwitansi
  • Menguntungkan pihak penjual dan pembeli karena membayar pajak lebih kecil
  • Merugikan keuangan negara karena pajak yang diterima negara lebih kecil
  • Melakukan penyimpangan karena menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima dan sadar telah dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang dapat dikelompokkan memenuhi unsur tindak pidana korupsi adalah:
Ø  Menggunakan mobil dinas (bukan mobil pejabat) untuk kepentingan pribadi
Ø  Tidak memerintahkan pindah dari rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas
Ø  Menyewakan aula kantor dan hasilnya untuk dana kesejahteraan karyawan
Ø  Menggunakan ruang kantor untuk pendidikan suatu yayasan tanpa sewa
Ø  Menggunakan sisa hasil pungutan ujian negara untuk kepentingan yayasan
Ø  Menggunakan ruang kantor untuk toko koperasi karyawan tanpa sewa
Ø  Tidak mencantumkan bukti potongan pembayaran pada bukti pembayaran dan memanfaatkan penerimaan potongan untuk dana kesejahteraan karyawan.
Selama hal-hal di atas tidak bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah utopia. Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap korupsi, apakah:
  • Orang yang menandatangani kwitansi?
  • Orang yang membayarkan uangnya?
  • Orang yang mengetahui tetapi tidak melapor?
  • Aparat pengawasan yang tidak mampu mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan berbenturan dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu alasan mengapa
pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak pidana korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan aparat, melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak sadar dan sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi dari negara tercinta ini.
Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.

Read more ►
 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger