Oleh. Rijal A. Mohammadi
Pertanyaan dalam judul
di atas sangat sederhana, bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya
tidak akan pernah sederhana, dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika
direkayasa sebagai pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana
adalah apa yang terbentang luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga
pengawasan, korupsi juga kian menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor
yang ditangkap dan jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan sama sekali.
Ibarat membandingkan semut dengan gajah.
Sejak awal
keberadaannya, sesuai Keppres 31 Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok:
mempersiapkan perumusan kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan
pembangunan, menyelenggarakan pengawasan umum dalam penggunaan dan
pengurusan keuangan, menyelenggarakan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan
tugas pokok tersebut terjabarkan dalam 16 (enambelas) fungsi, yang salah
satunya adalah: “melaksanakan pengawasan khusus terhadap kasus-kasus tidak
lancarnya pelaksanaan pembangunan dan kasus-kasus yang diperkirakan mengandung
unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan
Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (lima belas)
fungsi lainnya adalah dalam rangka pengawasan dalam perbaikan
manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan khusus, BPKP memperoleh masukan
sebagai dasar pendalaman dari pengaduan masyarakat dan pengembangan dari
hasil pemeriksaan. Tugas yang harus dilaksanakan adalah mengungkapkan: a) keterjadian
penyimpangan; b) adanya bukti kerugian keuangan Pemerintah; c) adanya bukti
orang atau badan yang melakukan penyimpangan; d) adanya bukti orang atau
badan yang menikmati hasil penyimpangan. Jika diketemukan bukti-bukti
tersebut, maka kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu
Kejaksaan Agung untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian
kasus tersebut sangat tergantung dari proses hukum, mulai dari
penyelidikan hingga pemeriksaan di pengadilan. Selama ini, banyak yang
mengamati bahwa proses pemeriksaan di pengadilan seringkali cenderung
melemahkan temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah dihasilkan oleh BPKP
tidak terungkap atau tidak terbukti di pengadilan. Lantas, siapa yang
harus bertanggungjawab memberantas korupsi? Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa
Indonesia, korupsi adalah perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk
kepentingan pribadi.
Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 1999, unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh
orang atau badan, adanya perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau badan, dan dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Dalam kehidupan sehari-hari, praktik tindak
pidana korupsi sendiri sebenarnya juga seringkali tidak disadari
oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima
sejumlah pembayaran dari petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani
kwitansi yang nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima Pada
kasus demikian, orang yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir
bahwa kwitansi tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana
yang penting uang diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa
perusahaan atau instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang
seharusnya. Kelebihan pembayaran adalah menjadi hak petugas yang
bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi
unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi
telah melakukan penyimpangan dengan memberi keterangan palsu atau tidak benar;
Kedua; menguntungkan petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan
negara atau perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani
kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak
mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka
pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama dengan
segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga)
bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan
perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan
tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu
masalah, karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak
diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti
tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung
unsur tindak pidana korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang
menandatangani kwitansi; Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi
keterangan palsu, Ketiga; merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak
segera membayar bea balik nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika
seseorang menandatangani kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah
dari jumlah yang diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik
pembeli maupun penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang
seharusnya. Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
- Yang
melakukan adalah yang menandatangani kwitansi
- Menguntungkan
pihak penjual dan pembeli karena membayar pajak lebih kecil
- Merugikan keuangan negara
karena pajak yang diterima negara lebih kecil
- Melakukan penyimpangan karena
menandatangani tidak sesuai dengan jumlah yang diterima dan sadar telah
dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang dapat dikelompokkan
memenuhi unsur tindak pidana korupsi adalah:
Ø
Menggunakan mobil dinas
(bukan mobil pejabat) untuk kepentingan pribadi
Ø Tidak memerintahkan pindah dari rumah dinas walaupun sudah tidak
berdinas
Ø
Menyewakan aula kantor
dan hasilnya untuk dana kesejahteraan karyawan
Ø
Menggunakan ruang kantor
untuk pendidikan suatu yayasan tanpa sewa
Ø
Menggunakan sisa hasil
pungutan ujian negara untuk kepentingan yayasan
Ø
Menggunakan ruang kantor
untuk toko koperasi karyawan tanpa sewa
Ø
Tidak mencantumkan bukti
potongan pembayaran pada bukti pembayaran dan memanfaatkan penerimaan potongan untuk
dana kesejahteraan karyawan.
Selama hal-hal di atas
tidak bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi hanya akan menjadi sebuah
utopia. Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan di atas terasa
kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan pembuktian
keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP adalah
kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak mengakui bahwa
kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka bagaimana mungkin pemberantasan
korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, pertanyaan sederhana yang
harus diulang adalah siapakah yang harus bertanggungjawab
terhadap korupsi, apakah:
- Orang yang menandatangani
kwitansi?
- Orang yang membayarkan uangnya?
- Orang yang mengetahui tetapi
tidak melapor?
- Aparat pengawasan yang tidak
mampu mendeteksi adanya penyimpangan tersebut?
Dalam praktik
pemeriksaan, seringkali diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan berbenturan
dengan kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan harus berhadapan dengan
bukti yang diperlukan, sementara bukti yang dimiliki telah memenuhi unsur
bukti, dan hasil konfirmasi dari yang menerbitkan bukti adalah benar, dan hasil
analisis bukan merupakan bukti, maka apa yang anggapan pemeriksa bahwa
telah terjadi penyimpangan seringkali menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil
tapi mendasar sebagaimana diungkapkan di atas adalah salah satu alasan mengapa
pemeriksaan seringkali
gagal mengungkap tindak pidana korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan
aparat, melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak
sadar dan sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi
dari negara tercinta ini.
Jika budaya tertib
masyarakat telah tercipta, bisalah diharapkan efektivitas pemberantasan
korupsi. Dengan demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh komponen bangsa,
untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga tercipta sebuah iklim
kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi yang besar-besar, yang seringkali
tidak terjamah oleh kepastian hukum.
0 komentar:
Posting Komentar