Jumat, 14 September 2012

Neoliberalisasi Penyakit Kronis Negara Demokrasi

0 komentar
Oleh. Rijal A. Mohammadi
"Neoliberalisme" adalah kebangkitan dari "liberalisme" dengan beberapa wajah baru didalamnya. Definisi ini menunjukkan bahwa liberalisme, sebagai ideologi politik, telah absen dari diskusi politik dan pembuatan kebijakan untuk periode waktu, hanya muncul di zaman yang lebih baru dalam bentuk reinkarnasi. Ini menunjukkan, dengan kata lain, liberalisme yang telah mengalami proses pertumbuhan awal, penurunan perantara, dan akhirnya peremajaan terakhir. Atau, neoliberalisme mungkin dianggap sebagai sebuah ideologi yang berbeda, turun dari liberalisme, tetapi tidak identik dengan liberalisme "benar".
Neoliberalisme dalam "literatur kritis" lazim dianggap sebagai kembalinya dan penyebaran salah satu aspek tertentu dari tradisi liberal, liberalisme yaitu ekonomi. Liberalisme ekonomi, pada dasarnya, keyakinan bahwa negara harus menjauhkan diri dari campur tangan dalam perekonomian, dan bukan meninggalkan sebanyak mungkin hingga individu yang berpartisipasi dalam pasar bebas dan mengatur diri sendiri. Liberalisme ekonomi dan neoliberalisme harus diselenggarakan terpisah dari liberalisme pada umumnya. Neoliberalisme juga dikatakan sebagai  "bentuk modifikasi atau dihidupkan kembali dari
liberalisme tradisional, [terutama] yang didasarkan pada keyakinan dalam kapitalisme pasar bebas dan hak-hak individu.
Konsep neoliberalisme menunjukkan perhatian khusus dari perkembangan pemikiran liberal. Ini menunjukkan bahwa liberalisme adalah pada satu titik waktu sebuah ideologi politik yang berpengaruh, tetapi itu di beberapa titik kehilangan sebagian maknanya, hanya untuk membangkitkan kembali dirinya di masa yang lebih baru dalam bentuk baru
Liberalisme klasik sering dikaitkan dengan keyakinan bahwa negara harus menjadi minimal, yang berarti bahwa hampir semuanya kecuali angkatan bersenjata, penegakan hukum dan lainnya "dikecualikan barang" harus diserahkan kepada urusan bebas dari warganya dan organisasi mereka bebas memilih untuk membangun dan ambil bagian, kadang-kadang digambarkan sebagai "negara jaga malam", sebagai satu tujuan negara minimal adalah memperjuangkan aspek yang paling fundamental dari ketertiban umum.
 Liberalisme klasik memiliki kesamaan sehingga banyak dengan apa yang kita dijelaskan di atas sebagai "liberalisme ekonomi". Dan sering terjadi bahwa kaum liberal klasik, dengan kecenderungan mereka untuk mendukung laissez-faire kebijakan ekonomi, digambarkan sebagai pendukung terkemuka dari "neoliberalisme". Liberalisme modern, di sisi lain, ditandai dengan kesediaan yang lebih besar untuk membiarkan negara menjadi partisipan aktif dalam perekonomian.
Liberalisme modern karena itu, untuk semua maksud dan tujuan, revisi mendalam dari liberalisme, terutama dari kebijakan ekonomi tradisional yang terkait dengannya. Sedangkan "klasik" atau "ekonomi" liberal mendukung laissez-faire kebijakan ekonomi karena ia berpikir bahwa mereka menyebabkan lebih banyak kebebasan dan nyata demokrasi, liberal modern cenderung mengklaim bahwa analisis ini tidak memadai dan menyesatkan, dan bahwa negara harus memainkan signifikan peran dalam perekonomian, jika tujuan liberal yang paling dasar dan tujuan harus dibuat menjadi kenyataan. Dimensi lain dari "libertarianisme" lainnya. Dimensi ini tumpang tindih dengan pembagian antara liberalisme klasik dan modern, tetapi tidak sepenuhnya begitu.
Libertarianisme dilambangkan, seperti namanya, dengan perhatian kejam untuk kebebasan di atas segalanya, terutama ekonomi atau kebebasan komersial, ditambah dengan penekanan yang sesuai dengan tujuan liberal tradisional dan nilai-nilai seperti demokrasi dan keadilan sosial.
Secara umum neoliberalisme memiliki sedikit perbedaan dengan liberalism sendiri. Neoliberalisme merupakan perwujudan atau inkarnasi dari liberalism dengan wajah yang baru. Dalam pemahaman penulis, neoliberalisme juga memiliki arti kembalinya budaya dan praktik liberal yang tersusupkan dalam berbagai segi ideologi Negara saat ini serta penerapannya.
Penulis juga berpendapat bahwa merebaknya neoliberalisme selalu selangkah dibelakang fenomena merebaknya praktik-praktik demokrasi di  berbagai Negara. Tentu ada kaitannya, dilihat dari sejarahnya, Amerika Serikat dan Negara-Negara Eropa barat merupakan pionir dan pengusung demokrasi yang sangat gigih, namun disisi  lain demokrasi Negara-Negara tersebut juga disokong dengan praktik liberalism yang menjadi ideology mereka. Oleh karena itu Negara yang mempraktikan atau memulai mencoba melakukan demokratisasi  bisa dipastikan bahwa hal tersebut akan diikuti oleh neoliberalisasi itu sendiri dengan modifikasi yang mampu mengaburkan pandangan umum akan praktik liberalisasi. Sehingga kadang hal tersebut justru akan melemahkan perekonomian Negara itu sendiri bila Negara tersebut tidak memiliki sokongan kekuatan ekonomi lokal yang kuat.
Yang diperlukan sekarang dalam menghadapi pasar global dalam bentuk pendukungan terhadap neoliberalism adalah mendorong para pengusaha kecil menengah dalam melakukan ekonominya. Karena neoliberalism ini beranggapan sama dengan tokoh yang bernama Adam Smith yaitu intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme". Untuk mengahadapi itu pemerintah harus benar-benar pintar mensiasati tentang neoliberalisme ini, karena apa yang telah dijelaskan diatas bahwa melihat neoliberalism ini erat kaitannya dengan negara yang bermadzhab demokrasi.
Hemat penulis dalam neoliberalism ini mempunyai pokok pemikiran yang mengandung beberapa unsur, yang mana terlalu dini jika negara kita Indonesia memperlakukannya. Pertama, kekuasaan pasar membebaskan usaha "bebas" atau usaha swasta dari ikatan apa pun yang diterapkan oleh pemerintah (negara) tak peduli seberapa besar kerusakan sosial yang diakibatkannya. Keterbukaan yang lebih besar bagi perdagangan internasional dan investasi, seperti halnya NAFTA menurunkan upah dengan cara melucuti buruh dari serikat buruhnya dan menghapuskan hak-hak buruh yang telah dimenangkan dalam perjuangan bertahun-tahun di masa lalu. Tidak ada lagi kontrol harga secara keseluruhan, kebebasan total bagi pergerakan kapital meliputi barang dan jasa. Untuk meyakinkan kita bahwa semua ini baik untuk kita, mereka mengatakan bahwa "pasar yang tak diregulasi adalah cara terbaik meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya akan menguntungkan semua orang." Itu seperti ekonomi "sisi persediaan" (supply-side) dan "tetesan ke bawah" (trickle-down) yang dijalankan tapi kekayaannya sedemikian rupa tidak banyak menetes.
Kedua, memangkas pembelanjaan publik untuk layanan sosial seperti pendidikan dan layanan kesehatan. Mengurangi jaringan-pengamanan bagi kaum miskin, dan bahkan biaya perawatan jalanan, jembatan dan persediaan air. Tentunya, mereka tidak menentang subsidi dan keuntungan pajak bagi bisnis besar.
Ketiga, deregulasi. Mengurangi regulasi pemerintah terhadap segala hal yang dapat menekan profit, termasuk perlindungan lingkungan hidup dan keamanan tempat kerja.Keempat, privatisasi. Menjual perusahaan-perusahaan, barang-barang, dan jasa milik negara kepada investor swasta. Ini termasuk bank, industri kunci, perkereta-apian, jalan tol, listrik, sekolah, rumah sakit dan bahkan air bersih. Walau biasanya dilakukan atas nama efisiensi yang lebih besar, yang sering dibutuhkan, privatisasi terutama berdampak pada pengonsentrasian kekayaan kepada pihak yang jumlahnya semakin sedikit dan menjadikan khalayak umum harus membayar lebih untuk kebutuhannya.
Kelima, menghapus konsep "barang publik" atau "komunitas" dan menggantikannya dengan "tanggung-jawab individu". Menekan rakyat yang termiskin dalam masyarakat untuk mencari solusi sendiri terhadap minimnya layanan kesehatan, pendidikan dan keamanan sosial mereka kemudian menyalahkan bila gagal, karena "malas."
Kritik lain terhadap neoliberalisme bertolak dari pandangan bahwa neoliberalisme adalah tahapan tertinggi dari perkembangan kapitalisme. Menurut kalangan ini, penyebab utama keterbelakangan, kemiskinan, represi terhadap hak-hak rakyat miskin, dan kerusakan lingkungan adalah akibat dominasi dari sistem produksi sosial kapitalisme yang kini berwujud kapitalisme-neoliberal. 
Lebih lanjut kelompok ini mengatakan, sebagai bagian dari kapitalisme maka neoliberalisme sebenarnya merupakan kritik dan koreksi internal terhadap kapitalisme. Seluruh muara dari kebijakannya ditujukan untuk membuat kapitalisme semakin tangguh, dan kekuasaan para oligarki-finans semakin kuat di hadapan rakyat pekerja. 
Konsekuensinya, menurut pendekatan ini gerakan anti-neoliberalisme tidaklah cukup untuk melawan agenda-agenda neoliberal, karena neoliberalisme itu sendiri hanyalah satu fase dari serangkaian fase perkembangan kapitalisme yang muncul pada pertengahan 1960an dan akhir 1970an. Jika kelompok anti-neoliberalisme yang kini sedang bergairah di Indonesia, hanya memfokuskan program, strategi dan taktiknya pada perlawanan terhadap neoliberalisme maka gerakan ini tak bisa bergerak lebih jauh karena terjebak pada model pembangunan kapitalisme yang dibimbing oleh negara, seperti yang menjadi pengalaman negara-negara Asia Timur. Dalam model ini, negara terlibat aktif dalam akivitas ekonomi, baik di bidang produksi dan redistribusi kemakmuran, sembari meminggirkan kekuatan rakyat pekerja. Dengan kata lain, perlawanan terhadap neoliberalisme tidak selalu berarti perlawanan terhadap kapitalisme.
Diterbitkan Pada Jum’at, 14 September 2012
Read more ►
 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger