Selasa, 21 Februari 2012

#Perjalananku Menapaki Sebuah Tujuan Hidup Terlepas Dari Tirani Hidup#





Berawal dari Pendidikan Dasar di SD Muhammadiyah Tirtayasa yang mengajarkan saya tentang arti kekritisan dari berbagai aspek, mulai dari kritis dalam bertanya sampai membual. Hal ini karena ditunjukan dari perilaku ajaran orang tua saya yang sejak dini menanamkan pula sikap kekritisan hidup mulai dari mengkritisi film sinetron sampai berita.
Menginjak Sekolah Menengah Pertama saya melemparkan diri ke kota Yogyakarta yang banyak orang bilang kota Pelajar. Saya menempuh pendidikan berjenjang 6 tahun dengan program boarding school, disinilah saya mulai diajarkan bagaimana mengola masalah sehingga saya dapat mengkritisi masalah tersebut dengan runtut dan benar. Jenjang pertama, saya hanya di jadikan produktifitas pemuas senior dalam hal perbudakan (non seksual), saya pikir Indonesia saat itu sudah terlepas dari fase kolonialisme Belanda dan Jepang ternyata itu semua omong kosong. Setiap malam saya dan teman sering menerima pukulan bak narapidana yang ada di sel penjara. Alur sebenarnya hanya itu – itu saja, mulai dari jenjang awal sampai akhir tingkat, tingkat akhir hanya di jadikan balas dendam dan semua itu hanya program senioritas yang dibuat oleh cecunguk pesantren seperti saya.
Dalam jenjang 6 tahun itu yang saya dapatkan hanya ilmu organisasi yang syarat sekali akan pelajaran tentang salah satu ormas Indonesia sebut saja Muhammadiyah, hal itu yang sebenarnya  diinginkan orang tua saya “menjadi kader militan ala Muhammadiyah”. Setelah saya sadar tentang ilmu organisasi dan Muhammadiyah yang daya dapatkan, perjuangan saya bukan hanya di Muhammadiyah akan tetapi di Islam dan Indonesia. Memang kawan, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran dari sana walau semua itu  terbentuk dari program kolonialisme senioritas yang kami buat.
Menginjak kelulusan saya sempat berfikir di tingkat akhir sekolah tersebut, mau kemana kaki ini melangkah. Melihat semua orang hanya mengulang fase kolonialisme yang telah di bentuk Jepang dan Belanda sekarang dipraktekan oleh pemerintah Indonesia, citra di mata masyarakat bahwa jadi budak negara terjajah/PNS itu membanggakan. Bangga sekali dengan status mahasiswa perguruan negeri, dengan menurut saya citra perguruan negeri sudah berubah yang dahulu hanya orang pintar dan cerdas yang bisa masuk sana dan sekarang hanya orang kaya dan mampu yang bisa masuk sana. Ya mind set itu yang selalu di bentuk oleh semua program pendidikan di Indonesia baik program dari keluarga maupun bangku sekolah. Contohnya terdapat di bangku sekolah dasar ada pelajaran membaca, “ibu budi pergi memasak, ayah budi pergi kekantor” kalimat ini yang selalu di benajarkan sejak dini, pada hal zaman globalisasi ini semua itu dapat terbalik, laki – laki yang notabenenya sulit mendapatkan pekerjaan dari perempuan. Jadi mungkin saja suatu saat berubah menjadi “ayah budi pergi ke ………, ibu budi pergi ke…….” Kemudian para kaum pria memaksakan dirinya yang sejak kecil terbentuk mind seperti itu harus kerja walau tidak mempunyai skill di kantoran dan akhirnya lari kekriminalitas yang semakin meningkat. Kemudian ada satu lagi pertanyaan yang mengganjal pikran dangkal saya, kenapa ayah budi harus pergi kekantor? Kenapa tidak ke sawah, kebun tau mungkin ke kandang sapi? Itulah yang sebenarnya harus kita menahi bersama bahwa banyak sekali kejanggalan yang tidak kita sadari keberadaannya.
Tahun 2010 saya lulus dari sekolah tersebut, meneruskan studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan fokus studi Hubungan Internasional yang semula bertujuan untuk mempelajari kesejarteraan negara – negara tetangga yang nantinya di aplikasikan untuk Indonesia. Aktif di salah satu organisasi intern kampus sebut saja IMM (Ikatan Mahamasiswa Muhammadiyah), jalan ini yang nantinya saya jadikan peluang besar untuk mewujudkan perubahan Indonesia. Dalam organisasi ini saya banyak mendapatkan pelajaran khususnya tentang HAM baik pelajar, mauahsiswa maupun umum. Hal ini membuat saya muak terhadap aparat Indonesia  tahun 2010 – 2012, karena banyak sekali pelanggaran HAM yang di biarkan begitu saja tanpa aksi contohnya Mesuji dengan lahan sawitnya, Papua dengan perusaahan Freeportnya dan kelompok bulan sabit, sampai akhirnya di Bima dengan tembang timahnya. Semua itu aparat hanya menjaadi korporat kaum elite buka sebagai pengayom masyarakat. Hal ini ditunjukan dengan sikap saya terhadap kerabat yang berprofesi sebagai  aparat keparat, karena dimata saya semua aparat sama sehingga saya bisa simpulkan untuk aparat itu “aparat keparat, polisi bangsat, militer anjing tai kucing”
*terimakasih bagi yang membaca, tulisan ini hanya sebagai inspirasi saja*

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger