Berawal
dari Pendidikan Dasar di SD Muhammadiyah Tirtayasa yang mengajarkan saya
tentang arti kekritisan dari berbagai aspek, mulai dari kritis dalam bertanya
sampai membual. Hal ini karena ditunjukan dari perilaku ajaran orang tua saya
yang sejak dini menanamkan pula sikap kekritisan hidup mulai dari mengkritisi
film sinetron sampai berita.
Menginjak Sekolah
Menengah Pertama saya melemparkan diri ke kota Yogyakarta yang banyak orang
bilang kota Pelajar. Saya menempuh pendidikan berjenjang 6 tahun dengan program
boarding school, disinilah saya mulai diajarkan bagaimana mengola masalah
sehingga saya dapat mengkritisi masalah tersebut dengan runtut dan benar.
Jenjang pertama, saya hanya di jadikan produktifitas pemuas senior dalam hal
perbudakan (non seksual), saya pikir Indonesia saat itu sudah terlepas dari
fase kolonialisme Belanda dan Jepang ternyata itu semua omong kosong. Setiap
malam saya dan teman sering menerima pukulan bak narapidana yang ada di sel
penjara. Alur sebenarnya hanya itu – itu saja, mulai dari jenjang awal sampai
akhir tingkat, tingkat akhir hanya di jadikan balas dendam dan semua itu hanya
program senioritas yang dibuat oleh cecunguk pesantren seperti saya.
Dalam jenjang 6 tahun itu
yang saya dapatkan hanya ilmu organisasi yang syarat sekali akan pelajaran
tentang salah satu ormas Indonesia sebut saja Muhammadiyah, hal itu yang sebenarnya
diinginkan orang tua saya “menjadi kader militan ala Muhammadiyah”. Setelah
saya sadar tentang ilmu organisasi dan Muhammadiyah yang daya dapatkan,
perjuangan saya bukan hanya di Muhammadiyah akan tetapi di Islam dan Indonesia.
Memang kawan, saya banyak sekali mendapatkan pelajaran dari sana walau semua
itu terbentuk dari program kolonialisme senioritas yang kami buat.
Menginjak kelulusan saya
sempat berfikir di tingkat akhir sekolah tersebut, mau kemana kaki ini
melangkah. Melihat semua orang hanya mengulang fase kolonialisme yang telah di
bentuk Jepang dan Belanda sekarang dipraktekan oleh pemerintah Indonesia, citra
di mata masyarakat bahwa jadi budak negara terjajah/PNS itu membanggakan.
Bangga sekali dengan status mahasiswa perguruan negeri, dengan menurut saya
citra perguruan negeri sudah berubah yang dahulu hanya orang pintar dan cerdas
yang bisa masuk sana dan sekarang hanya orang kaya dan mampu yang bisa masuk
sana. Ya mind set itu yang selalu di bentuk oleh semua program pendidikan di Indonesia
baik program dari keluarga maupun bangku sekolah. Contohnya terdapat di bangku
sekolah dasar ada pelajaran membaca, “ibu budi pergi memasak, ayah budi pergi
kekantor” kalimat ini yang selalu di benajarkan sejak dini, pada hal zaman
globalisasi ini semua itu dapat terbalik, laki – laki yang notabenenya sulit
mendapatkan pekerjaan dari perempuan. Jadi mungkin saja suatu saat berubah
menjadi “ayah budi pergi ke ………, ibu budi pergi ke…….” Kemudian para kaum pria
memaksakan dirinya yang sejak kecil terbentuk mind seperti itu harus kerja
walau tidak mempunyai skill di kantoran dan akhirnya lari kekriminalitas yang
semakin meningkat. Kemudian ada satu lagi pertanyaan yang mengganjal pikran
dangkal saya, kenapa ayah budi harus pergi kekantor? Kenapa tidak ke sawah,
kebun tau mungkin ke kandang sapi? Itulah yang sebenarnya harus kita menahi
bersama bahwa banyak sekali kejanggalan yang tidak kita sadari keberadaannya.
Tahun 2010 saya lulus
dari sekolah tersebut, meneruskan studi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dengan fokus studi Hubungan Internasional yang semula bertujuan untuk
mempelajari kesejarteraan negara – negara tetangga yang nantinya di aplikasikan
untuk Indonesia. Aktif di salah satu organisasi intern kampus sebut saja IMM
(Ikatan Mahamasiswa Muhammadiyah), jalan ini yang nantinya saya jadikan peluang
besar untuk mewujudkan perubahan Indonesia. Dalam organisasi ini saya banyak
mendapatkan pelajaran khususnya tentang HAM baik pelajar, mauahsiswa maupun
umum. Hal ini membuat saya muak terhadap aparat Indonesia tahun 2010 –
2012, karena banyak sekali pelanggaran HAM yang di biarkan begitu saja tanpa
aksi contohnya Mesuji dengan lahan sawitnya, Papua dengan perusaahan
Freeportnya dan kelompok bulan sabit, sampai akhirnya di Bima dengan tembang
timahnya. Semua itu aparat hanya menjaadi korporat kaum elite buka sebagai
pengayom masyarakat. Hal ini ditunjukan dengan sikap saya terhadap kerabat yang
berprofesi sebagai aparat keparat, karena dimata saya semua aparat sama
sehingga saya bisa simpulkan untuk aparat itu “aparat keparat, polisi bangsat,
militer anjing tai kucing”
*terimakasih
bagi yang membaca, tulisan ini hanya sebagai inspirasi saja*
0 komentar:
Posting Komentar