Pertanyaan dalam judul di atas sangat sederhana,
bahkan, barangkali, naif. Namun, jawabannya tidak akan pernah sederhana,
dan juga tidak mungkin akan naif, kecuali jika direkayasa sebagai
pembenaran belaka (justification). Contoh sederhana adalah apa yang terbentang
luas di hadapan negeri ini. Banyak lembaga pengawasan, korupsi juga kian
menggila. Anehnya, perbandingan antara koruptor yang ditangkap dan
jumlah korupsi yang ditengarai tidaklah sepadan
sama sekali. Ibarat membandingkan semut dengan gajah.
Sejak awal keberadaannya, sesuai Keppres 31
Tahun 1983, BPKP telah memangku tugas pokok: mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan pengawasan keuangan dan pengawasan pembangunan, menyelenggarakan
pengawasan umum dalam penggunaan dan pengurusan keuangan, menyelenggarakan
pengawasan pembangunan. Pelaksanaan tugas pokok tersebut terjabarkan dalam
16 (enambelas) fungsi, yang salah satunya adalah: “melaksanakan pengawasan
khusus terhadap kasus-kasus tidak lancarnya pelaksanaan pembangunan dan
kasus-kasus yang
diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang
merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah.” Ke-15 (limabelas) fungsi lainnya adalah dalam
rangka pengawasan dalam perbaikan manajemen. Untuk melaksanakan pemeriksaan
khusus, BPKP memperoleh masukan sebagai dasar pendalaman dari
pengaduan masyarakat dan pengembangan dari hasil pemeriksaan. Tugas yang
harus dilaksanakan adalah mengungkapkan: a)
keterjadian penyimpangan; b) adanya bukti
kerugian keuangan Pemerintah; c) adanya bukti orang atau badan
yang melakukan penyimpangan; d) adanya bukti orang atau badan yang
menikmati hasil penyimpangan. Jika diketemukan bukti-bukti tersebut, maka
kasusnya akan diteruskan ke aparat penegak hukum, yaitu Kejaksaan Agung
untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. Penyelesaian kasus tersebut sangat
tergantung dari proses hukum, mulai dari penyelidikan hingga pemeriksaan
di pengadilan. Selama ini, banyak yang mengamati bahwa proses pemeriksaan
di pengadilan seringkali cenderung melemahkan
temuan pemeriksaan, sehingga apa yang telah
dihasilkan oleh BPKP tidak terungkap atau tidak terbukti di
pengadilan. Lantas, siapa yang harus bertanggungjawab memberantas korupsi?
Korupsi itu, apa?
Menurut kamus Bahasa Indonesia, korupsi adalah
perbuatan busuk, penyelewengan, penggelapan untuk
kepentingan pribadi. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun
1999, unsur-unsur korupsi adalah: dilakukan oleh orang atau badan, adanya
perbuatan melawan hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau badan,
dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam
kehidupan sehari-hari, praktik tindak pidana korupsi sendiri sebenarnya juga
seringkali tidak disadari oleh pelaku. Sebagai contoh:
Seseorang menerima sejumlah pembayaran dari
petugas perusahaan atau instansi dengan menandatangani kwitansi yang
nilainya lebih besar dari jumlah yang diterima Pada kasus demikian, orang
yang bersangkutan merasa tidak bersalah, dengan berfikir bahwa kwitansi
tersebut tidak berhubungan dengan kewajibannya, di mana yang penting uang
diterima sesuai permintaan, meskipun berakibat bahwa perusahaan atau
instansi harus mengeluarkan uang lebih besar dari yang seharusnya. Kelebihan
pembayaran adalah menjadi hak petugas yang bersangkutan.
Kasus di atas memenuhi unsur tindak pidana
korupsi, karena: Pertama; yang menandatangani kwitansi telah
melakukan penyimpangan dengan memberik
keterangan palsu atau tidak benar; Kedua; menguntungkan
petugas perusahaan; Ketiga; dapat merugikan keuangan negara atau
perusahaan, Keempat; dilakukan oleh yang menandatangani
kwitansi. Apabila seseorang membeli mobil atau motor bekas dengan tidak
mengisi tanggal pembayaran. Dengan tidak mengisi tanggal pembayaran, maka
pembeli mobil atau motor tidak harus membayar bea balik nama dengan
segera. Padahal, sesuai ketentuan, paling lambat dalam waktu 3 (tiga)
bulan setelah perpindahan kepemilikan, pemilik baru harus melaporkan
perpindahan kepemilikan tersebut dan membayar bea balik nama. Tindakan
tidak memberi tanggal pada kwitansi bagi yang menjual bukan menjadi sesuatu
masalah, karena yang penting uang sudah diterima. Tapi bagi pembeli, tidak
diberi tanggal kwitansi berarti tidak akan segera balik nama, berarti
tidak perlu segera membayar bea balik nama.
Kasus di atas mengandung unsur tindak pidana
korupsi, karena: Pertama; dilakukan oleh yang menandatangani kwitansi;
Kedua; tidak memberi tanggal berarti memberi keterangan palsu, Ketiga;
merugikan keuangan negara/daerah, karena tidak segera membayar bea balik
nama, Keempat; menguntungkan pihak pembeli. Jika seseorang menandatangani
kwitansi pembelian tanah dengan nilai lebih rendah dari jumlah yang
diterima. Dengan kwitansi yang lebih rendah berarti baik pembeli maupun
penjual akan membayar pajak terkait lebih rendah dari yang seharusnya.
Tindakan ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi, karena:
- l
Yang melakukan adalah yang menandatangani kwitansi
- l
Menguntungkan pihak penjual dan pembeli karena membayar pajak lebih kecil
- l
Merugikan keuangan negara karena pajak yang diterima negara lebih kecil
- l
Melakukan penyimpangan karena menandatangani tidak sesuai dengan jumlah
yang diterima
- dan
sadar telah dilakukan oleh kelompok masyarakat umum. Hal lain yang dapat
dikelompokkan memenuhi unsur
tindak pidana korupsi adalah:
- l
menggunakan mobil dinas (bukan mobil pejabat) untuk kepentingan pribadi
- l
tidak memerintahkan pindah dari rumah dinas walaupun sudah tidak berdinas
- l
menyewakan aula kantor dan hasilnya untuk dana kesejahteraan karyawan
- l
menggunakan ruang kantor untuk pendidikan suatu yayasan tanpa sewa
- l
menggunakan sisa hasil pungutan ujian negara untuk kepentingan yayasan
- l
menggunakan ruang kantor untuk toko koperasi karyawan tanpa sewa
- l
tidak mencantumkan bukti potongan pembayaran pada bukti pembayaran dan
memanfaatkan penerimaan potongan
untuk dana kesejahteraan karyawan Selama
hal-hal di atas tidak bisa dienyahkan, maka pemberantasan korupsi hanya akan
menjadi sebuah utopia. Memang, tindakan-tindakan sebagaimana dicontohkan
di atas terasa kental keberadaannya, meskipun seringkali sulit menemukan
pembuktian keterjadiannya. Misalnya, bukti surat sebagaimana diatur dalam KUHAP
adalah kwitansi yang ditandatangani. Namun, kalau masyarakat tidak
mengakui bahwa kwitansi yang telah ditandatangani adalah salah, maka
bagaimana mungkin pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan. Oleh karena
itu, pertanyaan sederhana yang harus diulang adalah siapakah yang harus
bertanggungjawab terhadap korupsi, apakah:
- l
Orang yang menandatangani kwitansi?
- l
Orang yang membayarkan uangnya?
- l
Orang yang mengetahui tetapi tidak melapor?
- l
Aparat pengawasan yang tidak mampu mendeteksi adanya penyimpangan
tersebut?
Dalam praktik pemeriksaan, seringkali
diketemukan penyimpangan, tetapi kebanyakan berbenturan dengan
kenyataan bahwa kesimpulan hasil pemeriksaan
harus berhadapan dengan bukti yang diperlukan, sementara bukti
yang dimiliki telah memenuhi unsur bukti, dan hasil konfirmasi dari yang
menerbitkan bukti adalah benar, dan hasil analisis bukan merupakan bukti,
maka apa yang anggapan pemeriksa bahwa telah terjadi penyimpangan seringkali
menjadi tidak mampu diungkapkan.
Masalah-masalah kecil tapi mendasar sebagaimana
diungkapkan di atas adalah salah satu alasan mengapa
pemeriksaan seringkali gagal mengungkap tindak
pidana korupsi. Kegagalan dimaksud juga bukan lantaran semata ketidaksungguhan
aparat, melainkan karena adanya kecenderungan masyarakat umum secara tidak
sadar dan sadar tidak mendukung secara riil upaya menghilangkan korupsi
dari negara tercinta ini.
Jika budaya tertib masyarakat telah tercipta,
bisalah diharapkan efektivitas pemberantasan korupsi. Dengan
demikian, diperlukan keikutsertaan seluruh
komponen bangsa, untuk memulai dari yang kecil-kecil, sehingga
tercipta sebuah iklim kondusif untuk mengenyahkan tindak pidana korupsi
yang besar-besar, yang seringkali tidak terjamah oleh kepastian hukum.
0 komentar:
Posting Komentar