Oleh. Rijal A. Mohammadi
Hari ini sabtu tanggal 31 maret 2012 setelah kita mendengar bersama keputusan
hasil sidang paripurna DPR RI di hari yang sama pada pukul 02.00 WIB dini hari.
Harga BBM tidak jadi dinaikan dengan membentuk undang-undang pasal 7 ayat 6a,
dengan rincian tundaan kenaikan harga BBM selama 6 bulan dengan memperhatikan
stabilitas harga minyak mentah dunia. Memang ketika melihat proses terbentuknya
pasal itu hati kecil saya merintih pilu, karena fenomena ketidak dewasaan para
anggota DPR RI saat berlangsungnya persidangan, ditambah dengan ketika adilan
Mazuki Ali saat memimpin jalannya persidangan sehingga seluruh fraksi PDIP log
out dari sidang.
Hari Jum’at tanggal 30 maret 2012 merupakan hari yang kita tunggu
bersama dengan kepastian kenaikan harga BBM. Tetapi semua itu terasa sirna
ketika diputuskannya undang-undang pasal 7 ayat 6a. Bagaikan masakan tanpa
garam.
Melihat fenomena itu, saya beserta rekan-rekan organisasi
pergerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah DPD DIY terpanggil untuk mengadakan aksi
demonstrasi penolakan pasal dan menuntut kepastian turunnya harga BBM. Memang
dari 1 minggu saya dan rekan-rekan telah menyiapkan aksi menyikapi kenaikan
harga BBM ini dengan berdiskusi dan merapatkan teknis lapangan (teklap). Moment
yang pas membuat saya dan rekan-rekan mengambil keputusan hari aksi menyikapi
kenaikan harga BBM yaitu hari sabtu tanggal 31 maret 2012. Aksi hari itu
diawali dengan orator tetap Ikatan Mahasiswa Mhammadiyah Cabang AR Fakhrudin
Kota Yogyakarta yaitu saya. Dengan rasa kekecewaan yang saya bawa dalam kalimat
pembicaraan saat orasi melihatkan kegundahan hati seorang mahasiswa sebagai
agen perubahan umat telah luntur. Orasi selanjutnya diteruskan dengan
rekan-rekan IMM yang lain. Hari itu saya ditugaskan untuk menjadi Koordinator
Lapangan (korlap) yang kemudian saya diminta wawancara oleh salah satu media
masa diantaranya ialah Metro TV dan Media Indonesia. Dengan adanya media masa,
usaha saya dan rekan-rekan terbantu. Terbantu untuk membuka hati rakyat dan
pikiran rakyat agar bersama turun ke jalan dengan menuntut hak rakyat.
Aksi hari itu saya rasakan berbeda dengan aksi sebelum-belumnya,
bukan karena aksi gabungan yang kita lakukan pada akhir aksi. Akan tetapi
dengan adanya pembakaran ban mobil dan boneka replika SBY yang kemudian saat
itu kita bakar juga. Kemudian diakhir aksi saya dan rekan-rekan pada hari itu
salah seorang negosiator kita diajak berdiskusi dengan salah satu korlap masa
aksi gabungan antara FMN (Forum Mahasiswa Nasional), FPR (Front Pembela Rakyat)
dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) untuk melakukan aksi gabungan saat itu.
Tawaran mereka kami setujui, yang mana aksi gabungan dapat
memblokade jalan Malioboro, jalan Ahmad Dahlan, jalan Taman Pintar dan jalan
Alun-Alun samapai pukul 14.30 WIB. Saat itu aksi diwarnai dengan hujan lebat
dan angin kencang, tetapi kita tetap tegar untuk menuntut hak kami sebagai
rakyat yaitu penolakan kenaikan harga BBM. Memang tidak ada aksi yang tidak
diwarnai dengan adanya profokasi, profokasi itu hampir sukses dengan membujuk masa
aksi untuk membakar kantor polisi dan mobil sedan polisi. Tetapi semua itu
alhamdulillah tidak terjadi. Aksi gabungan yang kami lakukan hari itu merupakan
aksi damai, damai untuk menunjukan citra mahasiswa bukan sebagai agen perusak
masa akan tetapi sebagai agen perubahan yang lebih baik.
Ada dua cerita yang akan saya sampaikan. Pertama, tiga hari
sebelum kasi itu dimulai, saya makan siang disalah satu warung makan murah di
sekitar kampus. Kemudian si pemilik warung tersebut menanyai saya, “mas,
mahasiswa ya?”. Saya menjawab, “iya bu, emang kenapa?”, “kok g ikut demo sih, pada hal kami warga
yang susah ini berharap kepada kalian”. Kedua, satu hari sebelum kasi itu
dimulai. Salah satu mata kuliah yang saya ambil semester ini dosennya
mengadakan quist, saat qiust berjalan sang dosen itu berbicara kepada saya dan
teman-teman dikelas, “kalau udah selesai kita koreksi bersama”. Kemudian rekan
saya organisasi pergerakan mengajukan interupsi kepada sang dosen, “pak, aku
ada teklap untuk aksi besok”. Sang dosen pun berkata, ”ya kalo yang ikut aksi
silahkan meninggalkan kelas setelah quist selesai, dan jika ada diantara kalian
yang terluka bisa tidak mengikuti mata kuliah saya dan saya kasih nilai A”.
kebetulan ada dua rekan saya yang satu kelas saat itu, rekan satu telah keluar
dan rekan dua keluar juga, kemudian diterusan saya yang memohaon ijin saat itu.
Secara serentak teman-teman mahasiswa dikelas itu berteriak, “wuuuuhhhhh”.
Spontan saja saya merasa emosi dan kemudian berkata, “saya harap teman-teman
dikelas ini sadar akan pesisi kalian sebagai mahasiswa, bukan hanya belajar
dikelas dan tidur di kost terus main hura-hura”. Saat itu juga teman-teman
terdiam setelah mendengar perkataan saya.
Saya terpaksa dan berusaha membandingkan dua contoh cerita yang
saya alami diatas. Begitu miris melihat mayorita mahasiswa dilumuti sifat
apatis dan oportunis. Siapa dan apa yang perlu dipersalahkan untuk sistem
didunia perkuliahan. Sesekali saya membayangkan jika mahasiswa seperti itu
hanya akan menjadi penerus para koruptor dan kualisator partai politik,
kemudian pergantian fase-fase itu ada.
Untuk mengakhiri tulisan saya hari ini, saya akan bersama-sama
pembaca untuk secara sadar melihat fenomena yang terjadi dewasa ini. Terutama
mahasiswa yang merupakan sebagai agen perubahan, agar bersama selalu peka
terhadap isu-isu yang berkembang dewasa ini, agar kemudian ilmu yang didapat
diperkuliahan dapan diaplikasikan dengan benar kepada masyarakat. Ucapan terima
kasih tiada tara kepada seluruh element yang turut andil pada aksi hari ini.
FMN, FPR, HMI, IMM dll.
0 komentar:
Posting Komentar