Persoalan
negara dan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi issue yang relevan dibelahan
dunia manapun termasuk Indonesia dan dalam rentang waktu kapan pun. Tuntunan
agar Negara mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang inheren
dari manifestasi kedaulatan Negara meliputi daerah-daerahnya. Kesejahteraan
masyarakat merupakan bagian dari indicator keberhasilan Negara menjalankan
kedaulatannya. Negara bertindak sebagai agen perubahan institusional yang
diinginkan, bukan berarti bahwa Negara adalah entitas otonom yang bisa
bertindak sendiri terbebas dari kekuatan politik dan social di dalam masyarakat
atau terbebas sama sekali dari hambatan-hambatan sumber daya atau factor
lainnya.[1]
Dewasa ini Indonesia banyak sekali mengalami jatuh
bangun dalam hal integrasi nasional. Masalah integrasi nasional ini dilihat
sebagai bersangkutan dengan adanya hal-hal seperti (a) soal tidak adanya
korelasi yang erat antara kesukuan dan agama, (b) soal pengaruh perbedaan
social dan ekonomi terhadap perbedaan kesukuan dan agama, (c) soal pembagian
(penjatahan) kekuasaan politik yang ada, dan (d) soal adanya unsur-unsur
fanatisme di dalam golongan –golongan agama yang berbeda-beda”. (LIPI,
1970:158)
Kemudian hal serupa dapat merambah ke
daerah-daerah yang ada di seluruh Indonesia dari sabang-merouke. Layaknya
penyakit yang semakin di biarkan semakin menjadi-jadi. Telah lama Indonesia
diakui oleh dunia luar sebagai Negara yang terkenal dengan kemajemukan warga
negaranya (suku, agama, ras dan bahasa) yang dari setiap aspeknya sama-sama
ingin ditonjolkan. Seperti halnya Banten yang terkenal dengan pelabuhan
penyebrangan Merak dan kekentalan nilai Islam. Banyak segi positif dan negatif
yang berada di Banten itu sendiri, seperti halnya kebanggaan kaum muslimin.
Banten merupakan provinsi yang didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam,
disamping itu diakhir tahun 2007 dibanten telah ditemukan pabrik produksi
barang-barang narkoba. Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang berada
di Indonesia, Banten menduduki posisi kedua setelah Aceh dengan kebudayaan
Islam terkuat didalamnya. Kemudian timbul pertanyaan jika kita kenal bahwa Aceh
memang sebagai serambi mekah dan mengapa Islam di Banten dapat mendominasi?
Tentu ini mendapatkan poin lebih dari segi pemimpin daerah dan wilayah.
Pada penulisan paper ini, penulis hendak mengulas
sedikit tentang keluarga H. Chasan Choib dalam pemerintahan setingkat daerah
dan wilayah di provinsi Banten, yang nantinya akan menjadi refensi bersama
tentang alur politik daerah dalam pendominasian.
Pembahasan
Bertahun-tahun Indonesia mengalami system
perentihan sejak demokrasi terpimpin yang digawangi oleh Soekarno dalam pendeklarasian
presiden seumur hidup diteruskan dengan demokrasi pancasila yang digawangi oleh
Soeharto bertahan sampai lebih dari 30 tahun dengan pembungkaman aspirasi
rakyat Indonesia, sampai banyak para ahli menilai demokrasi pancasila ini jelas
bertentangan dengan konsep demokrasi sebenarnya. Kemudian dengan turunnya
Soeharto dalam tragedy reformasi diteruskan dengan demikrasi pasca reformasi.
Indonesia dalam hal ini dapat dikatakan banyak makan garam, karena
berliku-likunya pengalaman yang dilalui dalam sejarahnya.
Masih membekas pasti saat 32 tahun pemerintahan
Soeharto yang dijadikan pobia oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga bangsa
Indoesia belum berani melakukan aktifitas diluar garis kewajaran kapasitas yang
dimiliki Indonesia. Rezim Soeharto banyak meninggalkan banyak luka yang
mendalam, salah satu contoh yaitu maraknya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme). Sehingga dijadikan contoh bagi pemerintahan Indonesia pascanya.
Keikut sertaan militer dalam politik dalam negeri dengan GOLKAR sebagai tunggangannya
merambak kedesa-desa, hal ini sama halnya yang dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia dalam menyebarkan pahamnya ditengah rakyat Indonesia. Hanya saja
Soeharto menggunakan kekuasaannya dalam melakukannya.
Begitupun dengan pemerintah provinsi Banten dalam
melaksanakan masa baktinya seolah mengambil dan mengkonsumsi budaya dalam
pemerintahan rezim Soeharto. Hal itu terbukti jika kita kupas bersama satu
persatu tentang kasus yang ada di pemerintahan provinsi Banten. Rezim yang
berkuasa di provinsi Banten dikenal dengan rezim keluarga Haji Hasan, hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya kasus nepotisme yang kuat dalam perekrutan stek
holder pemerintahan provinsi banten, baik itu tingkat kota maupun provinsi.
Kemudian jika dilihat dari dari tingkat kasus korupsi, provinsi Banten
menduduki posisi 3. Hal ini dapat dibuktikan dengan ABPD yang dimiliki oleh
provinsi Banten, hanya 15% untuk infrastruktur public. Dapat kita bandingkan
dengan banyaknya pabrik-pabrik industry minyak dan lain-lain di banten dengan
keadaan infrastruktur yang tidak memadai. Kemudian diteruskan dengan kolusi,
tingkat kolusi yang berada di provinsi Banten kian menguat karena didukung
dengan banyaknya kerja sama dengan pihak asing di berbagai perusahaan, yang
mana pemukiman warga dan lahan garapan tani direlakan dalam pembangunan
perusahan-perusahaan tersebut.
Letak Geografis
Banten adalah sebuah provinsi di Pulau Jawa, Indonesia.
Provinsi ini dulunya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun
dipisahkan sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang.
Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan
105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur,
berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km².
Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten,
154 kecamatan, 262 kelurahan dan
1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur
laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang
strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkanAustralia dan Selandia Baru dengan
kawasan Asia Tenggara misalnya Thailand, Malaysia,
dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung
antara Jawa dan Sumatera. Bila
dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah
Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan)
merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten
memiliki banyak industri.
Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut
yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari
pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif
selain Singapura.
Kerajaan
Bisnis dan Politik di Banten
Tahun 1960-an, nun jauh di pedalaman Banten, seorang
jawara bernama Tubagus Chasan Sochib melakukan pengawalan bisnis beras dan
jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Tak cukup hanya mengawal, sang jawara mulai
merintis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan logistik bagi
Kodam VI Siliwangi (Gandung Ismanto, Asasi, Nov-Des, 2010). Kodam Siliwangi
juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang
lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Kodam
IV Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis
baik sebelum dan sesudah tragedi 1965 (Agus Sutisna (ed.), 2001).
Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di
Banten, Chasan Sochib mendapatkan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi
dan Pemerintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bidang
konstruksi banyak diberikan kepada Chasan Sochib. Tahun 1967, Chasan Sochib
mendirikan PT. Sinar Ciomas Raya yang sampai saat ini merupakan perusahaan
terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik
lainnya (van Zorge Report, Januari 21, 2010). Untuk memantapkan bisnisnya,
Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan
Industri Daerah Banten, Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia
Banten, dan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional
Indonesia Banten.
Ketika terjadi reformasi, Chasan Sochib mampu
mentransformasi diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. Meminjam
kerangka teoritis Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), Chasan Sochib
adalah the old predator yang mampu mereorganisir kekuasaannya sehingga dia
tak lenyap digerus arus perubahan. Chasan Sochib mampu menjelma menjadi the
new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten.
Bahkan, dalam kasus Banten, Chasan Sochib jauh lebih berkuasa saat ini
dibandingkan dengan era Orde Baru.
Pada awal perubahan di Banten, Chasan Sochib sinis
melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru.
Chasan Sochib khawatir bahwa perubahan ini akan mengancam keberlangsungan
relasi bisnis dan politiknya dengan pejabat di Provinsi Jawa Barat. Namun
seiring dengan makin membesarnya arus gerakan pembentukan Provinsi Banten,
Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif.
Perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis
dan politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansialnya, Chasan Sochib membantu
gerakan pemekaran dan mendapatkan pengakuan sebagai tokoh pembentukan
Provinsi Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai lebih
agresif menyusun kekuatan politiknya. Dulu pada masa Orde Baru, Chasan Sochib
hanya bertindak sebagai client capitalism (meminjam istilah Richard Robison,
1990) yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer,
tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat.
Dengan adanya struktur politik yang baru, Chasan Sochib bertindak secara aktif
menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.
Bermula dari upaya memajukan Ratu Atut sebagai calon
wakil gubernur dan sukses memenangkannya, Chasan Sochib merancang anggota
keluarga besarnya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Hasilnya sangat sukses (lihat ilustrasi di atas). Chasan Sochib
memang tak memegang jabatan publik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa
dia adalah “gubernur jenderal” menunjukkan bahwa dia adalah penguasa
sesungguhnya di Banten.
Keadaan Sosial
Masalah social memang sangat sering dibicarakan
dalam setiap gejala-gejala kehidupan social, melihat dari status manusia
sendiri sebagai mahluk yang tanpa bisa hidup sendiri. Kehidupan bermasyarakat
lebih erat kaitannya dengan bidang ekonomi dan politik sebagai hasilnya, yang
mana akan terbukti dilihat dengan tingkat kepuasan dalam berkehidupan. Seperti
halnya dengan kesejahteraan hidup. Salah satu cara untuk mengukur kesejahteraan
penduduk sebuah Negara adalah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical
Quality of Life Indekx). Tolak ukur PQLI ini diperkenalkan oleh Moris yang
menggunakan tiga indicator, yakni: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur
satu tahun (2) rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi
buta dan melek huruf.[1]
Dalam
catatan jumlah rata-rata masyarakat sipil Banten yang berstatus social miskin
pada tahun 2011 mencapai 6.32%, data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik
provinsi Banten. Hal ini berbanding terbalik dengan harapan kita semua bahwa
seharusnya dengan letak yang strategis Banten mempunyai peluang besar dalam
memajukan dunia bisnis, jika dapat kita masukan bahwa Banten termasuk wilayah
industry. Hal ini karena dapat dilihat hasil dari industry-industri yang berada
di Banten.
Kesimpulan
Pemaparan
yang dituliskan oleh penulis diatas sebenarnya sudah mewakili penjelasan dalam
poin kesimpulan ini. Ironis memang melihat kuatnya nepotisme yang ada di
provinsi Banten. Penulis harus berani mengatakan benar sebagai kebenaran dan
salah sebagai kesalahan dalam hal ini. Pengadopsian rezim Soeharto telah lama
terjadi di wilayah Banten. Ditakutkan bahwa peluang potensi daerah akan
terkuras pada masa pemerintahan dinasti H. Chasan Choib, sama seperti halnya 32
tahun kekuasaan Soeharto di Indonesia yang meninggalkan banyak utang dan aib
bagi Indonesia.
Jadi
pada pion kesimpulan ini, penulis lebih singkat memaparkan bagaimana
pemerintahan provinsi Banten dikuasai oleh H. Casan Choib. Karena penulis yakin
bahwa masalah ini dapat lebih mage untuk diikut sertakan dalam
materi politik kebudayaan dalam Indonesian Domestical.
Diterbitkan Pada Minggu, 08 Juli 2012
[1] Abdullahi
Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler : Menegosiasikan Masa Depan
Syari’ah, Bandung : Mizan Pustaka, 2007 : 29
0 komentar:
Posting Komentar