Minggu, 08 Juli 2012

Politik Dinasti Tb Chasan Sohib


Oleh. Rijal A. Mohammadi
Persoalan negara dan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi issue yang relevan dibelahan dunia manapun termasuk Indonesia dan dalam rentang waktu kapan pun. Tuntunan agar Negara mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan bagian yang inheren dari manifestasi kedaulatan Negara meliputi daerah-daerahnya. Kesejahteraan masyarakat merupakan bagian dari indicator keberhasilan Negara menjalankan kedaulatannya. Negara bertindak sebagai agen perubahan institusional yang diinginkan, bukan berarti bahwa Negara adalah entitas otonom yang bisa bertindak sendiri terbebas dari kekuatan politik dan social di dalam masyarakat atau terbebas sama sekali dari hambatan-hambatan sumber daya atau factor lainnya.[1]
Dewasa ini Indonesia banyak sekali mengalami jatuh bangun dalam hal integrasi nasional. Masalah integrasi nasional ini dilihat sebagai bersangkutan dengan adanya hal-hal seperti (a) soal tidak adanya korelasi yang erat antara kesukuan dan agama, (b) soal pengaruh perbedaan social dan ekonomi terhadap perbedaan kesukuan dan agama, (c) soal pembagian (penjatahan) kekuasaan politik yang ada, dan (d) soal adanya unsur-unsur fanatisme di dalam golongan –golongan agama yang berbeda-beda”. (LIPI, 1970:158)
Kemudian hal serupa dapat merambah ke daerah-daerah yang ada di seluruh Indonesia dari sabang-merouke. Layaknya penyakit yang semakin di biarkan semakin menjadi-jadi. Telah lama Indonesia diakui oleh dunia luar sebagai Negara yang terkenal dengan kemajemukan warga negaranya (suku, agama, ras dan bahasa) yang dari setiap aspeknya sama-sama ingin ditonjolkan. Seperti halnya Banten yang terkenal dengan pelabuhan penyebrangan Merak dan kekentalan nilai Islam. Banyak segi positif dan negatif yang berada di Banten itu sendiri, seperti halnya kebanggaan kaum muslimin. Banten merupakan provinsi yang didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam, disamping itu diakhir tahun 2007 dibanten telah ditemukan pabrik produksi barang-barang narkoba. Jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang berada di Indonesia, Banten menduduki posisi kedua setelah Aceh dengan kebudayaan Islam terkuat didalamnya. Kemudian timbul pertanyaan jika kita kenal bahwa Aceh memang sebagai serambi mekah dan mengapa Islam di Banten dapat mendominasi? Tentu ini mendapatkan poin lebih dari segi pemimpin daerah dan wilayah.
Pada penulisan paper ini, penulis hendak mengulas sedikit tentang keluarga H. Chasan Choib dalam pemerintahan setingkat daerah dan wilayah di provinsi Banten, yang nantinya akan menjadi refensi bersama tentang alur politik daerah dalam pendominasian.
Pembahasan
Bertahun-tahun Indonesia mengalami system perentihan sejak demokrasi terpimpin yang digawangi oleh Soekarno dalam pendeklarasian presiden seumur hidup diteruskan dengan demokrasi pancasila yang digawangi oleh Soeharto bertahan sampai lebih dari 30 tahun dengan pembungkaman aspirasi rakyat Indonesia, sampai banyak para ahli menilai demokrasi pancasila ini jelas bertentangan dengan konsep demokrasi sebenarnya. Kemudian dengan turunnya Soeharto dalam tragedy reformasi diteruskan dengan demikrasi pasca reformasi. Indonesia dalam hal ini dapat dikatakan banyak makan garam, karena berliku-likunya pengalaman yang dilalui dalam sejarahnya.
Masih membekas pasti saat 32 tahun pemerintahan Soeharto yang dijadikan pobia oleh seluruh rakyat Indonesia. Sehingga bangsa Indoesia belum berani melakukan aktifitas diluar garis kewajaran kapasitas yang dimiliki Indonesia. Rezim Soeharto banyak meninggalkan banyak luka yang mendalam, salah satu contoh yaitu maraknya budaya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Sehingga dijadikan contoh bagi pemerintahan Indonesia pascanya. Keikut sertaan militer dalam politik dalam negeri dengan GOLKAR sebagai tunggangannya merambak kedesa-desa, hal ini sama halnya yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dalam menyebarkan pahamnya ditengah rakyat Indonesia. Hanya saja Soeharto menggunakan kekuasaannya dalam melakukannya.
Begitupun dengan pemerintah provinsi Banten dalam melaksanakan masa baktinya seolah mengambil dan mengkonsumsi budaya dalam pemerintahan rezim Soeharto. Hal itu terbukti jika kita kupas bersama satu persatu tentang kasus yang ada di pemerintahan provinsi Banten. Rezim yang berkuasa di provinsi Banten dikenal dengan rezim keluarga Haji Hasan, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kasus nepotisme yang kuat dalam perekrutan stek holder pemerintahan provinsi banten, baik itu tingkat kota maupun provinsi. Kemudian jika dilihat dari dari tingkat kasus korupsi, provinsi Banten menduduki posisi 3. Hal ini dapat dibuktikan dengan ABPD yang dimiliki oleh provinsi Banten, hanya 15% untuk infrastruktur public. Dapat kita bandingkan dengan banyaknya pabrik-pabrik industry minyak dan lain-lain di banten dengan keadaan infrastruktur yang tidak memadai. Kemudian diteruskan dengan kolusi, tingkat kolusi yang berada di provinsi Banten kian menguat karena didukung dengan banyaknya kerja sama dengan pihak asing di berbagai perusahaan, yang mana pemukiman warga dan lahan garapan tani direlakan dalam pembangunan perusahan-perusahaan tersebut.
Letak Geografis
Banten adalah sebuah provinsi di Pulau JawaIndonesia. Provinsi ini dulunya merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun dipisahkan sejak tahun 2000, dengan keputusan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000. Pusat pemerintahannya berada di Kota Serang. Wilayah Banten terletak di antara 5º7'50"-7º1'11" Lintang Selatan dan 105º1'11"-106º7'12" Bujur Timur, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2000 luas wilayah Banten adalah 9.160,70 km². Provinsi Banten terdiri dari 4 kota, 4 kabupaten, 154 kecamatan, 262 kelurahan dan 1.273 desa.
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat Sunda merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat dilalui kapal besar yang menghubungkanAustralia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia Tenggara misalnya ThailandMalaysia, dan Singapura. Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah Tangerang raya (Kota TangerangKabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan) merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.
Kerajaan Bisnis dan Politik di Banten
Tahun 1960-an, nun jauh di pe­dalaman Banten, seorang jawara bernama Tubagus Chasan Sochib melakukan pengawalan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Tak cukup hanya meng­awal, sang jawara mulai merin­tis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan logistik bagi Kodam VI Siliwangi (Gandung Ismanto, Asasi, Nov-Des, 2010). Kodam Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Ko­dam IV Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum dan sesudah tragedi 1965 (Agus Sutisna (ed.), 2001).
Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di Banten, Chasan Sochib men­dapat­kan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi dan Peme­rintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bi­dang konstruksi banyak diberi­kan kepada Chasan Sochib. Tahun 1967, Chasan Sochib mendirikan PT. Sinar Ciomas Raya yang sampai saat ini merupa­kan perusahaan terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya (van Zorge Report, Januari 21, 2010). Untuk me­man­tap­­kan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah Banten, Ga­bung­an Pengusaha Konstruksi Nasio­nal Indonesia Banten, dan Lem­baga Pengembangan Jasa Kon­struk­si Nasional Indonesia Banten.
Ketika terjadi reformasi, Chasan Sochib mampu mentransformasi diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. Meminjam kerangka teoritis Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), Chasan Sochib adalah the old predator yang mampu mereor­gani­sir kekuasaannya sehingga dia tak lenyap digerus arus perubah­an. Chasan Sochib mampu menjelma menjadi the new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten. Bahkan, dalam kasus Banten, Chasan Sochib jauh lebih ber­kuasa saat ini dibandingkan dengan­ era Orde Baru.
Pada awal perubahan di Banten, Chasan Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru. Chasan Sochib khawatir bahwa perubahan ini akan mengancam keberlangsung­an relasi bisnis dan politiknya dengan­ pejabat di Provinsi Jawa Barat. Namun seiring dengan makin membesarnya arus gerakan pembentukan Provinsi Banten, Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif.
Perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansialnya, Chasan Sochib membantu gerakan peme­kar­an dan mendapatkan peng­akuan sebagai tokoh pembentuk­an Provinsi Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai lebih agresif me­nyusun kekuatan politiknya. Dulu pada masa Orde Baru, Chasan Sochib hanya bertindak sebagai client capitalism (meminjam istilah Richard Robison, 1990) yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer, tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat. Dengan adanya struktur politik yang baru, Chasan Sochib bertindak secara aktif menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.
Bermula dari upaya memaju­kan Ratu Atut sebagai calon wakil gubernur dan sukses memenang­kan­nya, Chasan Sochib me­ran­cang anggota keluarga besar­nya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan bu­daya. Hasil­nya sangat sukses (lihat ilustrasi di atas). Chasan Sochib memang tak me­megang jabatan publik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah “gubernur jenderal” menunjukkan bahwa dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten.
Keadaan Sosial
Masalah social memang sangat sering dibicarakan dalam setiap gejala-gejala kehidupan social, melihat dari status manusia sendiri sebagai mahluk yang tanpa bisa hidup sendiri. Kehidupan bermasyarakat lebih erat kaitannya dengan bidang ekonomi dan politik sebagai hasilnya, yang mana akan terbukti dilihat dengan tingkat kepuasan dalam berkehidupan. Seperti halnya dengan kesejahteraan hidup. Salah satu cara untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah Negara adalah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical Quality of Life Indekx). Tolak ukur PQLI ini diperkenalkan oleh Moris yang menggunakan tiga indicator, yakni: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun (2) rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata prosentasi buta dan melek huruf.[1]
Dalam catatan jumlah rata-rata masyarakat sipil Banten yang berstatus social miskin pada tahun 2011 mencapai 6.32%, data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik provinsi Banten. Hal ini berbanding terbalik dengan harapan kita semua bahwa seharusnya dengan letak yang strategis Banten mempunyai peluang besar dalam memajukan dunia bisnis, jika dapat kita masukan bahwa Banten termasuk wilayah industry. Hal ini karena dapat dilihat hasil dari industry-industri yang berada di Banten.
Kesimpulan
Pemaparan yang dituliskan oleh penulis diatas sebenarnya sudah mewakili penjelasan dalam poin kesimpulan ini. Ironis memang melihat kuatnya nepotisme yang ada di provinsi Banten. Penulis harus berani mengatakan benar sebagai kebenaran dan salah sebagai kesalahan dalam hal ini. Pengadopsian rezim Soeharto telah lama terjadi di wilayah Banten. Ditakutkan bahwa peluang potensi daerah akan terkuras pada masa pemerintahan dinasti H. Chasan Choib, sama seperti halnya 32 tahun kekuasaan Soeharto di Indonesia yang meninggalkan banyak utang dan aib bagi Indonesia.
Jadi pada pion kesimpulan ini, penulis lebih singkat memaparkan bagaimana pemerintahan provinsi Banten dikuasai oleh H. Casan Choib. Karena penulis yakin bahwa masalah ini dapat lebih mage untuk diikut sertakan dalam materi politik kebudayaan dalam Indonesian Domestical.

Diterbitkan Pada Minggu, 08 Juli 2012


[1] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, hal. 5




[1] Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler : Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, Bandung : Mizan Pustaka, 2007 : 29

0 komentar:

 

Copyright © Goresan Pena Design by O Pregador | Blogger Theme by Blogger Template de luxo | Powered by Blogger