Oleh. Rijal A. Mohammadi
Dalam pepatah Latin dikatakan bahwa
suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei). Dengan demikian,
kedaulatan rakyat tidak boleh dikom-promikan dengan apa dan siapa pun, kehendak
rakyat seakan-akan kehendak Tuhan. Di samping itu, ada juga pepatah yang
mengatakan kekuasaan rakyat adalah hukum yang paling tinggi (salus populi
supreme lex). Oleh karena itu, dalam demokrasi ditetapkan bahwa hukum yang
paling tinggi adalah kehendak rakyat (Rais, 1998:7). Demokrasi adalah salah satu bentuk
pemerintahan yang dinilai buruk oleh sebagian filosof. Pemerintahan yang
didasarkan asas demokrasi adalah pemerintahan yang pemimpinnya ber-asal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Akan tetapi, demokrasi seperti ini hampir sulit
didapatkan; yang tampak di hadapan mata adalah segelintir orang menentukan atau
mengendalikan orang banyak. Aristoteles (w. 347 SM) (2000) menjelaskan tiga
hal, yaitu pemegang kekuasaan tertinggi, tujuan pemerintah-an, dan bentuk
pemerintahan. Menurut-nya, jumlah pemegang kekuasaan tertinggi, yaitu (1)
kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan satu orang;
(2) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di tangan beberapa
orang; dan (3) kekuasaan tertinggi dalam menyelenggarakan negara berada di
tangan banyak orang.
Tujuan pemerintahan dibedakan oleh
Aristoteles menjadi dua, yaitu (1) pemerintahan yang bertujuan untuk membentuk
kebaikan, kesejahteraan umum, dan pemenuhan kepentingan umum (tujuan baik); dan
(2) pemerin-tahan yang bertujuan untuk membentuk kebaikan, kesejahteraan, dan
pemenuhan kepentingan pemegang kekuasaan itu sendiri (tujuan buruk,
penyimpangan). Bila dilihat dari segi kuantitas, pemegang kekuasaan tertinggi,
dan tujuan negara Aristoteles pun
mengkla-sifikasikan bentuk pemerintahan menjadi dua, yaitu pemerintahan yang
baik dan pemerintahan yang buruk. Menurut Aristoteles, bentuk-bentuk
pemerintahan yang baik adalah monarki, yaitu kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara berada di tangan satu orang dengan tujuan pemerintahan
untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum; aristokrasi,
yaitu kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan
beberapa orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan,
dan kesejahtera-an umum; politeia (negara), yaitu kekuasaan tertinggi dalam
penyeleng-garan negara berada di tangan banyak orang dengan tujuan pemerintahan
untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum (Rapar,
1993:44-46).
Bagi Aristoteles, bentuk negara yang
paling ideal adalah monarki. Selain itu, ia menjelaskan tiga bentuk
pemerintahan yang buruk, yaitu tirani (sebagai kebalikan dari monraki). Tirani
adalah kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara berada di tangan satu
orang dengan tujuan pemerintahan untuk memenuhi kepen-tingan, kebaikan, dan
kesejahteraan penguasa; oligarki5 adalah kekuasaan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara berada di tangan beberapa orang dengan tujuan
pemerintahan untuk memenuhi kepentingan, kebaikan, dan kesejah-teraan penguasa;
demokrasi adalah kekuasaan yang berada di tangan orang banyak yang berasal dari
kalangan tertentu yang dominan, digunakan lebih banyak untuk memenuhi
kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan kelompok pendukungnya (Campbell,
1994:18-19). Amin Rais dalam jurnalnya menjelaskan bahwa esensi demokrasi,
yaitu kebebasan menyatakan pendapat; kebebasan beragama; ke-bebasan dari rasa
takut; kebebasan untuk sejahtera; kebebasan rakyat dalam berpartisipasi politik
untuk menentukan nasibnya sendiri; dan berjalannya keseimbangan (check and
balances), serta tegaknya hukum (Rais, 1998: 6).
Pasca reformasi gairah perpolitikan di
Indonesia mulai berkembang lagi, partai politik yang dulu tidak berdaya ketika
berhadapan dengan penguasa mulai saat itu mulai menampakkan kekuatanya sebagai
pengontrol jalannya kekuasaan. Sebenarnya gairah seperti ini pernah muncul
diawal kemerdekaan sebagai buah dari revolusi panjang sebuah negara dalam
melawan penindasan kolonial. Euforia kebebasan politik waktu itu sangat
tergambarkan oleh muncul banyak sekali partai politik dengan segala
identitasnya. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilu pertama merupakan
pemilu yang paling demokratis, dengan banyaknya peserta pemilu dan asas jurdil
yang relatif bisa dipertanggung jawabkan karena penguasaa belum mempunyai
kekuasaan dalam mempengaruhi jalannya pesta demokrasi dan hal seperti ini yang
pada saat sekarang menjadi persoalan tersendiri dimana penguasa masih dapat
mempengaruhi proses pemilu, baik melalui mobilisasi pemilih untuk memilih
partai penguasa, politik uang, permainan data pemilih dan juga permainan dari
penyelenggara pemilu sendiri dalam memenangkan kandidat (Pemilu Legislatif) tertentu.
Saat pemilu pertama pada tahun 1955 diikuti oleh 172 partai politik, hal ini
menunjukan bagaimana eforia kebebasan berpolitik benar-benar terjadi setelah
lamanya terbelenggu oleh penjajahan.
Dibawah Orde Baru partai politik hanya
dijadikan legitimasi penguasa saat itu untuk memperlihatkan pada dunia
internasional bahwa Indonesia taat dalam menjalankan asas demokrasi, dimana
partai politik merupakan salah satu pilar atau penanda bahwa demokrasi itu ada
di negara tersebut. Partai tidak berdaya ketika berhadapan dengan penguasa,
partai politik tidak bisa memainkan perannya sebagai alat kontrol bagi
penguasa, partai politik tidak bisa menjadi alternatif bagi masyarakat yang
menginginkan perubahan. Bahkan adanya yang menyebutkan bahwa partai saat itu
(nonGolkar) seperti PPP diartikan sebagai partai pelengkap pembangunan,
sedangkan PDI dikatakan sebagai partai damai itu indah. Pandangan itu sangat
wajar ketika parti tersebut tidak mempunyai kekuatan apapun untuk mempengaruhi
kebijakankebijakan penguasaa saat itu. Bagaimana tidak, penguasa mampu
mengendalikan partai-partai tersebut dengan mempengaruhi pemenangan elit partai
yang akomodatif terhadap pemerintah untuk menjadi ketua umum partai.
Selepas lengsernya kekuasaan Orde
partai politik menemukan nafasnya lagi dalam kehidupan politik. Ruang yang
begitu luas diberikan melalui undang-undang untuk membuat partai politik dan
kondisi semacam yang terjadi diawal kemerdekaan dengan munculnya banyak sekali
partai politik waktu itu dengan 171 partai politik peserta pemilu. Dengan
banyaknya partai politik hal ini menandakan bahwa partisipasi masyarakat untuk
berpolitik tinggi. Dengan tidak diberlakukannya asas tunggal pancasila sebagai
ideologi maka hal memberikan ruang yang cukup bebas bagi masyarakat membuat
partai yang berbeda. Ideologi merupakan hal yang terbuka bagi setiap individu,
setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda tentang suatu hal, setiap orang
mempunyai impian tentang masyarakat yang ideal.
Ideologi
Ideologi merupakan
kata yang angker untuk didengar dan dipelajari saat pemerintahan orde baru,
karena saat itu tidak diperolehkan ada ideologi selain pancasila. Tentunya hal
tersebut membuat kita semakin penasaran tentang apa itu ideologi. Pada dasarnya
ideologi berasal dari bahasa latin yang terdiri dari dua kata, yaki ideo
artinya pemikiran; logis artinya logika, ilmu, pengetahuan. Dapat bahwa
didefiniskan ideologi merupakan ilmu mengenai keyakinan dan cita-cita (Ali
Syariati dalam Firdaus. 2007:238). Pengertian yang lebih luas menurut Steger
(dalam Firmansyah. 2011:96) mendefiniskan ideologi sebagai suatu sistem sebaran
ide, kepercayaan yang membentuk sistem nilai dan norma serta peraturan ideal
yang diterima sebagai fakta dan kebenaran oleh kelompok tertentu.
Sedangkan menurut
Lane (dalam Firmansyah, 2011:97) ideologi dicirikan oleh; pertama,
ideologi politik berkaitan dengan pertanyaan siapa yang akan menjadi pemimpin?
Bagaimana mereka dipilih, dan dengan prinsip-prinsip apa mereka memimpin? Hal
ini akan berkaitan dengan seperti apa pemimpin yang layak untuk memimpin
masyarakat banyak, apakah yang dipertimbangkan masalah religiusitasnya, jiwa
sosialnya, kekayaanya, kemampuan akademiknya, fisik atau penampilnya, suku atau
etnisnya, laki-laki atau perempuan, selain itu bagaimana untuk medapatkan
pemimpin dengan kriteria tersebut? Apakah berdasarkan keturunan (stratifikasi
tertutup) ataukah tidak mempersoalkan keturunan asalkan ada beberapa kriteria
seperti yang telah dijelaskan diatas. Kedua, ideologi mengandung banyak
sekali argumen untuk persuasi atau melawan (counter) ide-ide berlawanan.
Ketiga, ideologi sangat mempengaruhi banyak sekali aspek kehidupan manusia,
mulai aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, dan sebagainya.
Dalam gagasan yang ada dalam ideologi tersebut tentunya akan berawal dari
ide/gagasan tentang masyarakat seperti apa yang ingin diwujudkan. Dari sudut
ekonomi, hal akan berkaitan dengan persoalan kekayaan, kemudian bagaimana
distribusi kekayaan yang ada, apakah masyarakat diberikan ruang
sebebas-bebasnya dalam mengejar kekayaan.
Seperti yang
diungkapkan oleh (Deliarnov. 2006:16) bahwa Manusia adalah makhluk rasional
yang didorongan kepentingan pribadi (berproduksi, membeli dan menjual) baik itu
barang maupun jasa. Apakah manusia perlu dibatasi dalam mengejar kekayaan tadi,
dan kemudian dengan batas-batas seperti apa? Selanjutnya bagaimana distribusi
dari kekayaan tersebut serta bagaimana mewujudkan kesejahteraan, ketika kita
berbicara masyarakat maka didalam masyarakat akanada kaya, menengah, miskin,
mayoritas dan minoritas. Kemudian bagaimana hubunganya mereka?bagaimana cara
mengatur hubungan tersebut (ketika mereka yang mempunyai ideology tertentu
mempunyai kekuasaan untuk melakukanya). Keempat, ideologi sangat terkait
dengan hal-hal penting dalam kehidupan sosial, baik mengajukan program ataupun
menentangnya. Dalam ideologi tersebut terdapat ide-ide ataupun gagasan
bagaimana masyarakat hidup dan diatur oleh norma-norma yang diyakini maka hal
ini dijadikan landasan dalam menyusun rencana berupa kebijakan ataupun program
yang tepat dan sesuai kepentingan untuk masyarakat tersebut. Di lain pihak
dengan ide-ide tersebut dapat juga dijadikan dasar untuk merespon dan bahkan
menentang tatkala
muncul kebijakan-kebijakan yang dirasa membahayakan atau merugikan dari tatanan
masyarakat yang dicita-citakan. Kelima, ideologi mencoba merasionalisasikan
kepentingan kelompok sehingga kepentingan tersebut sangat beralasan dan layak
diperjuangkan. Hal ini berkaitan dengan ciri yang keempat, dengan adanya
ide/gagasan atau cita-cita tatanan masyarakat yang diinginkan yang didalam
menyangkut masalah ekonomi atau kesejahteraan masyakat banyak maka hal tersebut
dijadikan landasan yang mantap untuk melindungi atau mempertahankan masyarakat
yang memang manjadi basis. Keenam, ideologi berisikan hal-hal yang bersifat
normatif, etis, dan moral. Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa
ideologi adalah sebuah tatanan masyarakat yang didalamnya menyangkut sistem
ekonomi, politik, sosial dan budaya yang citacitakan oleh individu, kelompok,
golongan atau masyarakat luas yang kemudian menjadi landasan untuk bertindak.
Partai Politik
Dalam kehidupan
yang demokrasi seperti di Indonesia sekarang ini, partai politik merupakan
instrumen yang wajib ada disuatu negara yang menjalankan demokrasi. Bahkan
pendapat yang ekstrim yang mengatakan bahwa tidak ada demokrasi ketika tidak
ada partai politik didalamnya, karena partai politiklah yang memainkan peranan
penting dalam sistem demokrasi. Dengan adanya partai politik maka masyarakat
akan merasakan mempunyai negara/pemerintah, karena ketika tidak ada kekuatan
penyeimbang dari penguasa maka kecenderungannya adalah kekuasaan tersebut akan
digunakan secara berlebihan dan tentunya masyarakatlah disini yang akan selalu
dirugikan melalui kebijakan-kebijakanya. menurut Carl J. Friedrich (Miriam
Budiarjo: 404) mendefiniskan partai politik adalah sekompok manusia yang
terorganisir sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan
yang bersifat idiil serta materiil.
Sedangkan menurut
Sigmund Neumann (Miriam Budiarjo:404) mengatakan bahwa Partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu
golongan atau golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian
kalau kita melihat Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik
memberikan definisi sebagai berikut; Partai politik adalah organisasi yang
bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan
membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara serta
memelihara keutuhan Negara Kesatuan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
tahun 1945.
Dari
definisi-definisi yang telah diuraikan diatas dapat kita simpulkan bahwa partai
politik adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat dewasa dengan landasan
kepercayaan tentang nilai-nilai tertentu tentang masyarakat yang
dicita-citakan. Selanjutnya organisasi tersebut digunakan untuk menciptakan
masyarakat yang cita-citakan melalui cara-cara yang sah yaitu dengan
mendapatkan kekuasaan dibidang politik. Dengan dimilikinya kekuasaan tersebut
maka mereka akan lebih mudah untuk menciptakan masyarakat yang dicita-citakan
melalui kebijakankebijakan yang dibuat.
Ideologi dan Partai
Politik
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi merupakan hal wajib bagi partai politik,
dengan ideologinya sebuah partai politik akan terlihat bentuknya. Bentuk disini
adalah kemana arah partai politik ini akan memainkan fungsinya, apa yang akan
disosialisaskan ke masyarakat, sikap dan orientasi politik seperti apa yang
akan dibentuk, masyarakat seperti apa yang menjadi basis perjuangan partai,
dengan nilai-nilai seperti apa perjuangan itu akan dilakukan, bentuk masyarakat
seperti apa yang akan dibentuk dan lain sebagainya. dengan dasar ideologilah
partai itu akan begerak melalui program kebijakan partai yang kemudian akan
menjadi program kerja nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat.
Berawal dari program kerja inilah kemudian cita-cita untuk mewujudkan atau
membentuk masyarakat yang diimpikan akan terwujud. Ideologi digunakan sebagai
arah ataupun ukuran kemudian ketika menyikapi persoalan yang ada didalam
masyarakat. Di dalam ideologi disitu terkandung hal-hal yang sifatnya formal
dan ideal tentang banyak hal, ideologi akan menyangkut bagaimana ekonomi dan
politik itu akan dijalankan, bagaimana distribusi nilai-nilai itu akan
dilakukan. Nilai-nilai disini berkaitan dengan kesejahteraan, pendidikan,
kesehatan, ketenangan, kenyamanan masyarakat yang akan diciptakan ketika partai
tersebut mendapatkan kekuasaan.
Dengan cita-cita
tentang masyarakat ideal tadi, hal tersebut dapat digunakan sebagai landasan
partai politik untuk menyikapi setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
(ketika partai tersebut ber opoisisi) yang ditujukan kepada masyarakat ketika
kebijakan-kebijakan tersebut merugikan ataupun mengahambat tercapaiinya
masyarakat yang ideal tadi. Dalam setiap memberikan tanggapan apakah itu kritik
ataupun penolakan terhadap suatu kebijakan sebagai pelaksanaan fungsi kontrol
partai politik tentunya dapat dirasionalisasikan baik secara akademis dan
politis sehingga bisa dipertanggungjawabkan kepada masyakat yang menjadi basis
perjuangan ataupun pihak yang berlawanan.
Dengan ideologinya
masing-masing partai politik itu akan mempunyai identitas yang jelas, hal
tesebutlah kemudian yang memudahkan partai politik tersebut dalam mendapatkan
massa pendukung. Di sisi yang lain masyarakatpun akan lebih mudah untuk
menentukan partai mana yang sesuai dengan keinginan yang memang memperjuangkan
nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat.
Tabel 1
Ideologi partai politik
(partai dengan perolehan suara teratas pemilu 2009)
Sumber: diolah dari
berbagai sumber.
Untuk masa sekarang
dengan begitu banyak partai politik yang muncul kita mengalami kebingungan
untuk mengidentifikasikan penggolongan partai berdasarkan ideologi. Hal yang
paling mudah kita bisa melihat dari asas partai yang secara formal tercantum
pada AD/ART partai. Dengan melihat hal tersebutpun kita belum sampai pada
analisa yang sifatnya substantive tentang partai tersebut karena pada tataran
empiris kadang tidak sejalan antara azaz, platform partai dengan perilaku elit,
pemilih, serta program-program partai. Sedangkan Asep Nurjaman mengelompokan
ideologi partai politik, kedalam empat kategori, yaitu partai yang berideologi
Islam, Partai yang berideologi Nasionalis Sekuler, Partai yang berideologi
Nasionalis Religius, serta partai yang berideologi Kristen seperti yang
ditunjukkan tabel berikut.
Tabel 2
Peta ideologi partai Poltik
(Versi Asep Nurjaman)
Sumber
: Asep Nurjaman, ejournal.umm.ac.id
Memang untuk
penggolongan sangat debateble karena penggolangan-penggolongan akan
berbeda ketika menggunakan indikator yang berbeda pula. Ideologi Islam di situ
digunakan ketika suatu partai menggunakan istilah-istilah Islam dalam
AD/ART-nya, sedangkan untuk nasionalisme religius disitu walaupun tidak
menyebutkan Islam secara eksplisit tetapi dalam AD/ ART mencantumkan
nilai-nilai agama dan moral. Sedangkan Nasionalisme, ketika AD/ART tidak
menyebutkan istilah-istilah Islam, moral, nilai-nilai ajaran agama. Dan
terakhir Kristen ketika di dalam AD/ARTnya secara eksplisit mencantumkan
nilai-nilai, istilah atau ajaran-ajaran dalam agama kristen.
Partai Politik dan
Pemilu
Salah satu
instrumen paling penting dalam pemilu adalah dengan adanya peserta pemilu,
yaitu partai politik. Partai politiklah yang berkompetisi baik partai politik
itu sendiri ataupun anggota partai yang mencalonkan menjadi anggota legislatif
ataupun menjadi presiden. Pemilu merupakan arena bagi partai politik dalam
bersaing dengan partai politik lainya untuk mendapatkan kekuasaan yang sah
sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Pada tataran teoris partai politik
bersaing dengan ideologi yang kemudian termanistasikan ke dalam kebijakan
partai dan selanjutnya munculah program partai. Program-program tersebutlah
yang kemudian menjadi aksi nyata yang langsung dapat diamati dalam rangka untuk
mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan. Partai politik hadir dengan menawarkan
berbagai program yang diyakini akan mampu menyelesaikan persoalan bangsa
ataupun akan memperjuangkan sesuatu bagi masyarakat banyak sesuai dengan
ideologi yang diyakininya.
Dengan hadirnya
begitu banyak partai politik tentunya membuat pemilu semakin meriah, baik itu
partai lama (partai yang telah pemilu sebelumnya) ataupun partai baru (termasuk
partai pecahan partai lama). Persaingan antar partai politik akan semakin
sengit dalam mendapatkansuara, apa lagi dengan munculnya partai baru yang
tentunya mempunyai warna baru dan harapan baru. Partai politik hadir dengan asa
yang dibawa, yaitu ingin memperjuangkan atau mewujudkan masyarakat yang
didam-idamkan. Yaitu dengan menawarkan banyak harapan, bagaimana cara
mewujudukan, tipe masyakat yang mana akan menjadi basis perjuangan; apakah
petani, buruh, atau nelayan, masyarakat yang ada diperkotaan atau pedesaan dan
sebagainya.
Seperti fungsi
partai politik yaitu sebagai sarana rekruitmen, bahwa rekrutmen politik ialah
seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok
orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan
pemerintah pada khususnya. Dengan hadirnya sistem pemilihan langsung baik untuk
tingkat nasional ataupun di daerah maka fungsi rekrutmen yang dilakukan partai
politik semakin penting peranannya. Penting disini adalah dari proses
kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik maka akan muncul caloncalon
pemimpin yang memang telah teruji (kemampuan teoritis atau konsep dan praktek)
baik itu kerja-kerja organisasi ataupun dalam bermasyarakat. Partai politik
dapat dikatakan sebagai tempat mencetak kader yang dapat dijadikan calon-calon
pemimpin baik di tingkat pusat ataupun di daerah. Ketika negara kita
sederhanakan menjadi organisasi, peran pemimpin merupakan hal yang pokok, dari
pemimpin iniliah kemudian akan muncul keputusan-keputusan yang diarahkan untuk
tercapai cita-cita organisasi (negara). Kader-kader dari partai inilah yang kemudian
menjadikan cerminan dari partai politik terkait dengan ideologi, yang
diharapkan kelak ketika menjadi seorang pemimpin dapat membuat kebijakan-kebijakan
sesuai dengan ideologi partai, tidak bersebrangan dengan ideologi partai.
Tentunya kebijakan ini tidak sebatas kebijakan pemerintah pusat melalui
presiden, tetapi juga gubernur, walikota ataupun bupati. Seiring dengan otonomi
daerah dimana kemudian daerah mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur rumah
tangga dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dengan besarnya
kewenangan yang bergitu besar maka hal menjadi kesempatan yang bagus untuk partai
politik membuat kebijakan sebagai bentuk manifestasi ideologi partai di daerah
melalui kepala daerah.
Dengan semakin
banyak partai politik hal ini membawa implikasi bahwa masyarakat semakin bingung
untuk memilih partai mana yang dipercaya dapat memperjuangkan atau mewujudkan kepentinganya.
Dengan semakin banyak partai poltik hal ini seakan menutup kemungkinan untuk
salah satu partai memenangkan pemilu secara mutlak. Sehinga dengan kondisi seperti
ini maka, kemungkinan untuk melakukan kerjasama atau koalisi dalam pemenangan
calon eksekutif nbaik pusat maupun daerah. Secara teoritis dalam melakukan koalisi
partai politik akan melihat siapa yang akan diajak berkoalisi? Tentunya partai
politik yang sepaham (seideologi). Karena dengan begitu maka akan lebih mudah
untuk bekerjasama ketika banyak kesamaan nilai-nilai yang terkandung dalam
ideologi. Sebagai contoh partai yang berideologi Islam dengan nilainilai Islam
yang menjadi landasan kebijakan akan berkoalisi dengan partai yang berideoligi liberal
dengan nilai kebebasan yang menjadi landasan kebijakan partai, tentunya hal ini
akan sangat sulit menyamakan persepsi tentang banyak hal. Banyak hal disini
seperti; bagaimanan sistem ekonomi, sosial ini akan dijalankan, bagaimana
seharusnya pemerintah dalam melakukan fungsi terkait hal tersebut?
Fenomena sekarang
yang terjadi di Indonesia perbedaan partai politik sudah semakin kabur. hal ini
mungkin disebabkan tidak ada perbedaan yang ekstrim antar partai politk.Terjadi
pergeseran secara ideologi yaitu mengkombinasikan nasionalis dan Islam yang
kemudian muncul istilah Nasionalis-Religius. Selain itu dipengaruhi basis masa
yang akan dibidik, sebagai contoh; walaupun berhaluan nasionalis tetapi ingin
membidik golongan islam untuk mendulang suara, sehingga hal ini kemudian
memaksa untuk membuat organisasi keagamaan (Islam) atau semacamnya yang
terafiliasi dengan partai tersebut.
Koalisi
partai-partai politik yang dilakukan sifatnya jangka pendek, yaitu bagaimana
mendapatkan kekuasaan. Yang seharusnya arah koalisi partai politik dilandasi
oleh ideology partai yang kemudian menjadi identitas yang termanifestasi pada
program partai tetapi yang terjadi adalah partai apapun dimungkinkan melakukan
koalisi selama hal itu menguntungkan. Yang terjadi adalah bukan persoalan jika
kemudian bekerjasama dengan partai yang berbeda ideologi, asalkan hal itu
mempermudah untuk mendapatkan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari koalisi
partai politik, dimana tidak ada keseragaman koalisi baik ditingkat pusat
maupun didaerah. Ditingkat pusat, Partai demokrat berkoalisi dengan PPP, PAN,
PKB, PKS, dan Golkar yang berseberangan dengan oposisi yang terdiri dari PDI-P,
Gerindra, Hanura. Tetapi di daerah terjadi koalisi yang beragam, kalau memang
koalisi kemudian tidak berdasarkan ideologi tetapi berdasarkan komando
kepemimpinan partai pusat itu masih menunjukkan arah kebijakan elit partai.
Tetapi yang terjadi adalah tidak ada keberagaman terkait koalisi antara pusat
daerah, pada tingkat pusat antara PDI-P dan Demokrat tetapi di daerah sangat
dimungkinkan untuk terjadi koalisi antar kedua partai tersebut. Kenderungan
koalisi lebih pada kombinasi antara partai Islam dan Nasionalis dan hal
tersebut tidak seragam, bisa berkoalisasi dengan partai Islam atau Nasionalis
manapun asalkan koalisi tersebut memberi keuntungan yang cepat.
Kesimpulan
Dengan dimungkinkan
untuk pemilihan langsung baik presiden, Gubernur, Walikota dan bupati
perpolitikan Indonesia semakin meriah, masyarakat semakin sering terlibat
dengan kegiatan politik dalam arti sempit (pemilu). Ideologi lebih
terkesampingkan oleh peran ketokohan, ketokohan kemudian yang menjadi
pertimbangan masyarakat umum ketika menentukan pilihanya bukan pada ideologi
apa yang dipeganganya hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung.
Ketokohanlah yang kemudian menjadi incaran atau yang dikejar ideologi melalui
partai politik dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kekuasaan
politik. Politik pencitraanlah kemudian yang menonjol dalam tarik menarik
mencari dukungan dalam pemilu. Dengan peran media yang begitu besar baik media
cetak maupun elektonik. Di satu sisi masyarakat lebih mudah mengenali sang
kandidat melalui apa yang dilihat melalui media, tetapi disisi yang lain
masyarakat luas mudah terkecoh dengan pencitraan yang mereka bangun. Kondisi
seperti inilah yang kemudian sering menyebabkan kekecewaan di masyarakat
dikemudian hari.
Disisi lain terjadi
pergeseran peran ideologi, ideologi yang seharus dijadikan landasan partai
politik beserta kadernya dalam melakukan kerja-kerja politik yang menyangkut
banyak hal tetapi ideologi dijadikan konten pencitraan yang acapkali
manipulatif. Ideologi kemudian hanya menjadi aksesoris dari partai politik,
ideologi dikalahkan oleh kepentingan jangka pendek elit-elit partai politik
dalam mengejar kepentingan pribadi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya elit
partai politik berpindah dari satu partai ke partai yang lain. Ideologi tidak
bisa mengikat perlaku elit-elit partai politik, perilaku elit kadang tidak
mencerminkan ideologi partai politik, baik dari tindakan asusila, korupsi, atau
kebijakan yang bertentangan dengan ideologi partai ketika ia menjadi pejabat
negara. Tentunya fenomena menyulitkan untuk mendapatkan calon yang tepat, bukan
karena keterbatasan infomasi tetapi karena banyaknya informasi yang ditawarkan
tokoh dengan pencitraannya melalui media yang ada, diharapkan kita lebih
hati-hati dalam menentukan pilihan (dalam pemilu).
Daftar Pustaka
Buku
·
Budiardjo, Miriam, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta.
Gramedia Pustaka Utama.
·
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik; Mencangkup berbagai teori dan
konsep yang kompreshensif. Jakarta. Erlangga.
·
Firmansyah. 2011, Mengelola partai politik, Komunikasi dan
positioning idelogi politik di era demokrasi. Jakarta, Yayasan pustaka obor Indonesia.
·
Surbakti, Ramlan. 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta.
Grasindo.
·
Syam, Firdaus, 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta. Bumi
Aksara
·
Syaukani, H et all, 2002. Otonomi Daerah dalam negara
kesatuan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
·
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik
·
Rais,
M. Amin. 1998. “Masalah-masalah yang Dihadapi Bangsa Indonesia,” Milenium:
Jurnal Agama dan Tamaddun, Nomor 1 Tahun 1, Januari-April 1998.
·
Rapar,
J. H.1993. Filsafat Politik Aristoteles. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
·
Aristotle.
2000. Politics. terj. Benjamin Jowet, direproduksi oleh Cik Hasan Bisri.
Bandung: Lembaga Penelitian IAIN SGD.
Website
·
Nurjaman, Asep, http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/view/126
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.golkar.or.id/pages-tentang/15/ad-art/
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.pdiperjuangan.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=135&Itemid=91
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.pk-sejahtera.org/content/falsafah-dasar-perjuangan-dan-platform-kebijakanpembangunan-pks
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.ppp.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=173&Itemid=203
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.pan.or.id/platform.html
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.dpp.pkb.or.id/index.php?option=com_content&view=section&layout=
blog&id=17&Itemid=294 [diakses pada tanggal 05 Desember 2012]
·
http://www.demokrat.or.id/wp-content/uploads/2011/07/Anggaran-Dasar.pdf
[diakses pada tanggal 05 Desember 2012]